Sastra Etnik Diantara Sastra Indonesia

Sastra Etnik Diantara Sastra Indonesia

Ada yang, agaknya ‘gigih’ memperjuangkan sastra etnik untuk ‘diterima’ ditengah kehidupan masyarakat, setidaknya yang mencintai sastra. Untuk di Yogya, sastra Jawa, sebagai jenis sastra etnik masih terus dihasilkan oleh para kreator yang memang menulis karya sastra menggunakan bahasa Jawa, seperti geguritan, cerkak (cerita cekak) atau cerbung (cerita sambung). Dalam konteks ini, sastra etnik ditandai menggunakan bahasa lokal.

Satu pertunjukan sastra etnik, Sabtu (12/5) malam lalu diselenggarakan di Amphytheater Taman Budaya Yogyakarta dengan menampilkan pembaca karya sastra, terutama puisi dan geguritan. Acara ini, sengaja menampikan sastra etnik yang menggunakan bahasa Indonesia, atau bahasa campuran lokal dan Indonesia. Tapi, Slamet Riyadi Sabrawi membaca puisi menggunakan bahasa Pekalongan. Untuk menunjukkan lokalitas dari segi bahasa maupun cerita.

“Kemis legi dinone. Slawe Agustus tahun 1622, hidikae Pekalongan lahir ho. Pas grebeg Maulud ning ora nganggo Sekatenan ok. Bupati sing pertama arane Kyai Mandoereredja, sing ngangkat dewek-e Sultan Agung Hanyrokokusumo, rojo Mataram Islam. Pantesan Pekalongan kuwi to ijik mambu2 Yogya ha ah po? Wong aku be lahire nang Kraton owk..! pas e nang deso Kraton lhur. Ajib ra”. Slamet Riyadi mengawali membaca puisi bahasa Pekalongan.

Sastra Etnik Diantara Sastra Indonesia

Selain Slamet Riyadi Sabrawi, Hari Leo membaca geguritan. Bambang Nursinggih mengawali sastra etnik membaca geguritan. Anisa Afzal membaca puisi dengan menggunakan bahasa Sunda dan Aryoko membaca puisi Indonesia. Bustan Basir Maras, tampil membaca puisi dengan menggunakan bahasa Mandar.

Yang mendapat perhatian adalah Syam Chandra Mantiek. Penampilan Syam selalu unik. Mengenakan ‘udeng’ (ikat kepala), yang membawa properti berupa dua ekor ayam hitam putih, sesuai judul puisi yang dibacakan ‘Hitam Putih’. Selain dua ekor ayam, Syam juga membawa kembang mawar yang sudah diletakkan dikeranjang kecil laiknya akan mengirim bunga ke makam.

Seperti bisa diduga, setidaknya oleh penggemar sastra yang pernah melihat penampilan Syam membaca puisi. Dua ekor ayam hitam putih itu dilepas saat dia membacakan puisinya dan supaya bisa ‘diperebutkan’ oleh hadirin. Dan begilah adanya, ketika dia mengucapkan kata ‘putih’ satu ekor ayam putih dilempar diantara penonton. Tentu saja, ayamnya lari dan dikejar beberapa penonton yang ingin mendapatkan ayam. Satu ekor yang lain, warna hitam dilempar ditengah penonton untuk diperebutkan.

Selain melempar dua ekor ayam, Syam juga melempar kembang, yang ternyata bukan hanya kembang yang ditaburkan, melainkan ada uangnya. Tentu saja, penonton ikut berebut untuk bisa mendapatkan kembang yang ada uangnya. Salah seorang penonton yang ikut berebut kembang dan mendapatkan uang adalah Catur Stanis.

“Saya mendapat dua puluh ribu rupiah dua biji’ kata Catur Stanis sambil tersenyum.

Etnisistas, memamh mengemuka ditengah perkembangan kebudayaan kita. Pada tahun 1980-an, dalam karya satra muncul istilah warna lokal, seperti bisa dilihat pada prosa liri ‘Pengakuan Pariyem’ karya (alm) Linus Suryadi, atau ‘Upacara’ novel karya Korie Layun Rampan dan sejumlah karya sastra lainnya.

Sastra Etnik Diantara Sastra Indonesia

Namun agaknya, kita perlu memahami apa yang dimaksud dengan etnik, karena tanda dari etnik bukan seedar bahasa, sehingga memadukan dua bahasa Indonesia dan lokal, agar disebut sebagai warna lokal pada satra tahun 1980-an dan sekarang dikenal dengan istilah etnik. Sebab etnisitas bukan hanya pada bahasa, tetapi menyangkut nilai dan tanda-tanda lain. Dengan demikian, kalau kita membaca geguritan, yang tak lain menggunakan bahasa Jawa, tetapi tema yang dihadirkan, atau nilai yang dikandungnya tidak menyentuh etnisitas, tetapi malah problem aktual, rasanya karya seperti itu bukan jenis sastra etnik. Melainkan karya sastra yang menggunakan bahasa Jawa dalam berkomunuikasi.

Maka, akan menjadi penting memahami etnisitas secara betul sebelum melangkah jauh untuk ‘memperjuangkan sastra etnik’ ke panggung yang lebih luas.

Ons Untoro




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta