Ramayda Akmal dalam 'Jejak Pemikiran Budaya'

Bahwa yang imajiner adalah segala sesuatu yang gagal diterjemahkan dalam bahasa. Yang imajiner, demikian Ramayda melanjutkan, bisa dirunut dalam konsep Lacan tentang tahap cermin, yakni keterpisahan antara dirinya dengan imaji mengenai dirinya.

Ramayda Akmal, seorang penulis novel dan sekaligus pengajar menjadi narasumber dalam diskusi ‘Jejak Pemikiran Budaya’ di PSK-UGM, foto: Balairung-Press
Buku karya Ramayda Aknal, foto: Balairung-Press

Diskusi ‘Jejak Pemikiran Budaya’ yang diselenggarakan Pusat Studi Kebudayaan (PSK) UGM, Selasa 25 Juni 2013 di ruang diskusi PSK, Kompleks Bulaksumur, Yogyakarta menghadirkan Ramayda Akmal, seorang penulis novel sekaligus pengajar. Ia mengulas pemikiran Slavoj Zizek, seorang filsuf dan pemikir budaya dari Ljubjana, Slovenia, dengan menyajikan makalah berjudul ‘Subjek dan Kapitalisme Kultural’.

Menyimak pemikiran Zizek, demikian pemikir dari Ljubjana ini sering disebut, Ramayda Akmal melihat konsep segitiga Lacan, ialah apa yang dikenal sebagai sesuatu yang riil, imajiner dan simbolik.

“Yang riil secara sederhana dipahami sebagai dunia sebelum ditangkap oleh bahasa atau arena yang masih belum terbahasakan. Yang riil bukan yang simbolik melainkan justru yang menegasikan yang simbolik dan yang imajiner,” kata Ramayda Akmal.

Yang simbolik, demikian Ramayda menjelaskan adalah apa yang yang kita kenal sebagai realitas yang (telah) terbahasakan.

“Kita tidak bisa keluar dari yang simbolik karena segala realitas dikenali melalui bahasa. Ideologi (kapitalis misalnya), dalam banyak aspek, merupakan turunan dari yang simbolik dan bekerja dengan cara relatif sama terhadap subjek,” ujar Ramayda Akmal.

Menunjuk apa yang disebut sebagai yang imajiner, Ramayda menjelaskan, bahwa yang imajiner adalah segala sesuatu yang gagal diterjemahkan dalam bahasa. Yang imajiner, demikian Ramayda melanjutkan, bisa dirunut dalam konsep Lacan tentang tahap cermin, yakni keterpisahan antara dirinya dengan imaji mengenai dirinya.

“Kesadaran akan keterpisahan yang abadi itu mencapai puncaknya dalam trauma, yang kemudian menjembatani atau bahkan disebut sebagai hard core resisting symbolization, menjadi semacam tangan yang riil dalam melepaskan diri daru yang simbolik,” ujar Ramayda Akmal.

Slavoj Zizek, seorang pemikir budaya dari Ljubjana, Slovenia, pemikirannya menjadi bahan kajian dalam diskusi ‘Jejak Pemikiran Budaya’, foto: Wikimedia
Slavoj Zizek, foto: Wikimedia

Ramayda menyampaikan, dalam kaitannya dengan ketiga konsep tersebut, yakni ‘yang riil’, ‘yang imajiner’ dan ‘yang simbolik’, Zizek memahami bahwa ketika yang simbolik menemui keterbatasan, maka ada surplus dalam yang riil. Artinya, demikian kata Ramayda, betapapun hebatnya kekuatan alienasi ataupun interpelasi ideologi sebagai bagian dari yang simbolik, alienasi itu tidak akan bekerja dengan penuh.

“Akan tetapi, karena subjek selalu berada dalam yang simbolik, ia hanya mampu menghadirkan kekosongan terhadapnya, mengacaukan atau menghindarinya. Subjek selalu menjawab dan merespons pertanyaan, walau dengan jalan negatif, walau berakhir dengan kekosongan,” kata Ramayda.

Ramayda melihat, bagaimana sebuah ideologi bekerja pada level tindakan, dan menghadirkan ilusi dalam pikiran bisa dirunut pada kondisi masyarakat kapitalis, yang bagi Zizek, kapitalisme kini adalah kapitalisme kultural.

“Apa yang dihadirkan oleh ideologi kapitalisme kultural ini adalah konstruksi realitas yang mengamankan kita dari rasa bersalah, dari kengerian yang riil, yang muncul melalui gejala-gejalanya dalam kehidupan sehari-hari,” kata Ramayda.

Ayda, demikian panggilan Ramayda, menunjukkan bahwa sumbangan sebagai suatu kategori moral sudah dicaplok sedemikian rupa menjadi bagian dari ideologi itu. Bahkan sudah menjadi semacam kenikmatan.

“Oleh karenanya, untuk bisa lepas, tidak bisa lagi digunakan motif-motif etik ataupun moral. Zizek menyarankan kapitalisme harus dihadapi dengan situasi-situasi kosong yang tidak dibebani oleh moralitas apapun. Yang paling radikal adalah tindakan penghancuran diri yang berpotensi mengubah situasi dan batas-batas tertentu,” kata Ramayda.

Ons Untoro



Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net/


Baca Juga Artikel Lainnya :




Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta