Pameran Karya Lukis Otok Bima Sidarta Di Tembi Rumah Budaya Tinggal Dua Hari Lagi

Karya-karyanya memang sederhana dan Otok mencoba menangkap apa yang dia mengerti sebagai orang Jawa. Otok seperti sedang ‘menggambarkan Jawa yang dia interpretasikan.

Otok Bima Sidarta memamerkan karya lukisnya di Tembi Rumah Budaya, Foto: Sartono
Otok Bima Sidarta

‘Nglokro’ adalah salah satu judul seni lukis karya Otok Bima Sidarta, yang dipamerkan di Tembi Rumah Budaya mulai Kamis 13 Juni sampai Rabu, 26 Juni 2013. ‘Nglokro’ merupakan kata Jawa yang dalam bahasa Indonesia bisa berarti tidak berdaya. Agaknya, karya ini merepresentasikan situasi yang dialami Otok selama ini. Karena itu ia ‘melawan’ kata itu dengan berkarya.

Lebih dari 30 seni lukis karya Otok Bima Sidarta mengisi ruang pamer Tembi Rumah Budaya, dalam ukuran besar dan kecil. Bahkan ada karya yang menggunakan media kayu berupa telenan dalam ukuran kecil. Tidak ada tema khusus yang ditampilkan, dan hadir dalam beragam visual, seperti ada bunga mawar merah dengan latar belakang warna putih dan sejumlah karya lainnya.

“Basic saya ini sebenarnya musik, tetapi gairah saya untuk melukis tidak bisa dihalangi,” kata Otok.

Karya-karyanya memang sederhana dan Otok mencoba menangkap apa yang dia mengerti sebagai orang Jawa. Otok seperti sedang ‘menggambarkan Jawa yang dia interpretasikan. Maka, pada karyanya bisa kita temukan ada yang menggunakan teknik batik. Pada karyanya ada gambar ‘kelompok bermain musik’, yang agaknya ia sedang menggambar dirinya sendiri.

Otok memang lahir dari keluarga seniman. Bapaknya, Bagong Kussudiardjo selain sebagai koreografer terkenal sekaligus sebagai pelukis. Dua adik laki-lakinya; Butet Kertarajasa, seorang seniman teater dan pementas monolog handal; dan Jadug Ferianto, seorang kreator musik. Otok sendiri, agaknya, mengikuti ‘jejak’ bapaknya, selain menari, otok lebih kental bermain musik kreatif, tapi tidak melupakan melukis.

Tentu saja, karya lukisnya tidak bisa disamakan dengan lukisan karya pelukis lainnya, yang memang khusus belajar di jurusan seni lukis, atau setidaknya bergulat di wilayah seni rupa. Karya lukis Otok lebih merupakan ekspresi dari kehidupannya dan mengambil seni lukis sebagai media.

Dalam kata lain, ekspresi Otok, dalam konteks ini, mungkin tidak bisa diwadahi melalui musik. Maka, dia mengambil seni lukis untuk menyalurkan ekspresi itu. Garis-garis pada karyanya seperti ‘memperlihatkan’ bahwa Otok sudah terbiasa melukis. Hanya pada pilihan warna, agaknya Otok lebih senang dengan warna cerah, misalnya warna pink.

Pada karya yang berjudul ‘Thek-thek Orkestra II’ rupanya Otok sedang ‘menggambar' kelompok musik Thek-thek yang sedang bermain. Tekniknya menggunakan batik, sehingga detail dari garis dan oranmen kelihatan menyerupai seni batik. Thek-thek merupakan kelompok musik yang menggunakan alat musik tradisional, tempat Otok tergabung di situ sekaligus memimpin dan membinanya.

'Nglokro' salah satu judul lukisan karya Otok Bima Sidarta yang dipamerkan Tembi Rumah Budaya, Foto: Sartono
Nglokro

Ada karya yang menarik berjudul ‘Lapakan’ yang agaknya untuk menggambarkan penjual barang-barang bekas, yang di Yogya dikenal dengan sebutan klithikan. Tetapi, visual yang ditampilkan bukan berupa barang-barang bekas, melainkan beberapa ikan yang tinggal tulang. Satu pilihan simbol yang ironis sekaligus kritis.

Pada karya berjudul ‘Nglokro’ ia memainkan warna hitam dan putih, yng terasa lebih kuat. Rasanya, Otok, sebagai perupa, akan memiliki gaya tersendiri jika dia hadir dengan warna hitam putih, yang kemudian mengeksplorasikan berbagai macam persoalan yang dia tangkap dan pahami.

“Saya juga merasa sreg dengan karya yang menggunakan warna hitam putih ini,” kata Otok.

Yang menarik dari karya Otok, selain visual pada karyanyanya, ialah bentuk pigura dan pilihan kayu. Otok menggunakan kayu jati sebagai pigura dan ukuran lebar piguranya besar laiknya kusen jendela, dan karena itu pigura jati memberikan tampilan seni lukisnya tambah kelihatan ‘aduhai’.

Hary Wahyu, atau yang lebih dikenal sebagai si Ong, seorang perupa dan teman dekat Otok Bima Sidarta, juga sahabat Butet Kertaredjasa dan Jadug Ferianto, memberikan ‘kesaksian’ mengenai Otok:

“Anak keempat atau lelaki tertua dari Bagong Kussudiahardja (alm) pada tahun 1980-an mempunyai kontribusi yang besar pada kesenian di Yogyakarta. Ia juga seorang penari dan pemusik khususnya musik pentatonik, beberapa eksperimentasi musik pernah ia lakukan yaitu penggabungan musik pentatonik dan diatonik di tahun 1980-an. Album pertamanya ‘Mubeng Beteng’ (1985) adalah eksperimentasi musik pentatonis dengan gaya guyonan segar dan unsur-unsur suara yang sederhana tapi tepat. Pengalaman perjalanannya ketika tur ke Eropa: Belanda, Swis dan Jerman membuatnya lebih terbuka wawasannya tentang dunia luar. Bahkan ia pernah tinggal di Amerika selama 3 tahun (1980-1983).

Di Amerika, Otok (panggilannya) bergabung dengan Gilang Ramadhan (drummer dari group Band Krakatau) 1982, menciptakan musik eksperimen dan mendapat sambutan yang bagus dari penonton dan media di sana. Beberapa karyanya ‘meja-meja’ tahun 1985 adalah musik eksperimen dari suara pukulan-pukulan meja yang dijajar memanjang, sebuah bangunan seni, perpaduan antara suara dan visual. ‘Sumo Blawong' ilustrasi musik untuk pentas Teater Gandrik (Gandrik Muda) 2010, ‘Rojah-Rejeh’ ilustrasi musik Teater Gandrik (Gandrik Muda) 2012.

Dari kontemplasinya selama ini Otok ingin lahir kembali membangun semangat berkeseniannya. Kini ia aktif melukis, beberapa hasil karya lukisnya yang bertemakan dunia Jawa yang mencerahkan, dengan pilihan warna hitam dan putih, yang menyiratkan kesederhanaan, kebersahajaan dan prasaja”.

Berbagai macam kalangan menghadiri pembukaan pameran Otok Bima Sidarta di Tembi Rumah Budaya, Foto: Sartono
Suasana Pameran Otok Bima Sidarta di Tembi Rumah Budaya

Naskah:Ons Untoro
foto:Sartono



Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net/


Baca Juga Artikel Lainnya :




Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta