- Beranda
- Acara
- Berita Budaya
- Berita Tembi
- Jaringan Museum
- Karikatur
- Makan Yuk
- Temen
- Tentang Tembi
- Video Tembi
- Kontak Kami
Berita-budaya»NONTON FILM DOKUMENTER DI Tembi
13 Apr 2011 03:37:00Sesekali Bu Kasinem tertawa, agak tersipu. Pertanyaan antropolog dan jurnalis Hilde Janssen membuat perempuan kelahiran Kemuning Jawa Tengah tahun 1931 ini agak jengah. Hilde mengulangi lagi pertanyaannya, Bu Kasinem tersenyum. Dengan kalimat yang berbeda, pertanyaan serupa kembali diajukan, dan Bu Kasinem pun menjawab pendek sambil memeluk Hilde.
Bahasa tubuh perempuan sepuh ini mengindikasikan bahwa pertanyaan yang disodorkan Hilde sifatnya sangat personal dan mungkin termasuk tabu. Pertanyaan apakah dia tidur dengan serdadu Jepang. Tapi inilah bagian dari sejarah kelam dirinya pada masa pendudukan Jepang, sisi pahit yang dialami para jugun ianfu.
Pada periode kelam itu, Bu Kasinem dan jugun ianfu lainnya diangkut paksa dan dimasukkan ke dalam barak tentara Jepang. Rata-rata mereka bertugas di dapur. Namun sorenya, dimana seharusnya mereka beristirahat usai bekerja, telah menunggu kewajiban lain yang tak bisa ditolaknya jika nyawanya ingin selamat. Mereka harus melayani nafsu seksual para serdadu Jepang. Dalam sehari mereka diperkosa berulang kali. Bukan oleh satu orang tapi beberapa orang yang antri dengan memegang kupon antrian. Pekerjaan ini dilakukan mereka sampai penjajah Jepang hengkang dari Indonesia.
Kesaksian Bu Kasinem dan sejumlah jugun ianfu ini ditayangkan dalam film Omdat Wij Mooi Waren (Because We Were Beautiful) karya Frank van Osch. Sutradara berkebangsaan Belanda ini menyertai perjalananfotografer Jan Banning (peraih World Press Photo Award 2004) dan jurnalis/antropolog Hilde Janssen di Indonesia yang mendokumentasikan kesaksian jugun ianfu. Film ini diputar pertama kali pada tahun 2010, dan meraih Best Documentary di Big Muddy Film Festival.
Meski memaparkan pengalaman hidup pahit dan kelam, film ini tidak terjebak dalam dramatisasi yang berlebihan. Disamping pandangan sendu dan suara bergetar para narasumbernya, ada Bu Tugira yang menari sambil bernyanyi, mempraktekkan ‘odori’ yang pernah dibawakannya dulu. Sebagiannya lagi terkesan mampu mengatasi pengalaman traumatis ini, dan menggali ingatannya dalam tuturan yang lancar dan stabil. Pernak-pernik di jalan seperti kios bensin, angkutan umum, dan semacamnya, termasuk bertanya tentang arah ke Cimahi kepada orang di pinggir jalan, memberi variasi ringan yang agakmenyegarkan.
Kisah manusia dalam gejolak perang juga dialami para blasteran orang Jepang-Amerika yang tinggal di Amerika Serikat (AS). Pada masa Perang Dunia (PD) II sekitar 110.000 orang Jepang-Amerika diisolir dalam kamp relokasi tawanan. Salah satunya adalah Arthur Ishigo yang selama tiga tahun ditempatkan di Pomona, California, dan di Heart Mountain, Wyoming. Istrinya, Estelle Peck Ishigo, yang tidak berdarah Jepang dan karenanya tidak wajib masuk ke kamp, memilih untuk menemani suaminya. Kehidupan di kamp dipaparkan Estelle baik melalui foto, gambar dan tulisannya yang lantas diterbitkan menjadi buku Lone Heart Mountain. Berdasarkan buku ini, film berjudul Days of Waiting dibuat Steven Okazaki, dan meraih piala Oscar (Academy Award) dan Peabody Award pada tahun 1991.
Film ini diputar setelah rehat penayangan Because We Were Beautiful di Tembi Rumah Budaya, Maret lalu. Di tempat yang sama, setiap bulannya, pada Rabu sore minggu ke-4, Komunitas Dokumenter memutar film dokumenter secara reguler. Diselenggarakan sejak Januari 2011, penayangannya sudah kali ketiga. Pada bulan Januari diputar film 1000 Journals (sutradara Andrea Kreuzhage), lantas pada bulan Februari diputar The Rainbow Warriors of Waiheke Island (sutradara Suzanne Raes). Pemutaran film ini ditujukan untuk umum dan tidak dipungut biaya.
1000 Journals adalah film unik yang berangkat dari gagasan “gila”. Pada tahun 2000 seorang seniman disain grafis yang tinggal di San Fransisco menyiapkan 1.000 buku berhalaman kosong. Dengan telaten buku-buku itu dikemasnya dengan cover yang artistik, dan dibubuhi nomer urut. Seniman yang menyebut dirinya Someguy ini lantas menaruh buku inisatu persatu di tempat publik, dari bangku tangan sampai telepon umum. Sebagian lagi diposkan sesuai permintaan atas tawaran yang diajukannya di website. Jurnal itu laiknya memang harus diisi dengan catatan-catatan, bebas tanpa peraturan dan ketentuan.
Hampir tiga tahun kemudian, pada September 2003, jurnal bernomer 526 yang telah terisi penuh dikembalikan kepada Someguy. Bagaimana nasib jurnal-jurnal lainnya? Film ini melacak orang-orang yang mengisi jurnal itu di sejumlah kota di Amerika, Eropa dan Australia. Mereka diwawacarai tentang alasan dan prosesnya. Isi jurnal-jurnal yang ditulis tangan itu menarik, dengan tampilan yang tidak monoton. Kebebasan mengekspresikan diri menjadikan jurnal itu menjadi tempat curahan yang personal. Selain tulisan yang disusun horisontal, vertikal maupun diagonal, terdapat gambar, lukisan, foto, peta dan sebagainya. Selain sebagai catatan pribadi, jurnal-jurnal itu menjelma jadi karya grafis yangmenarik.
Film lainnya, The Rainbow Warriors of Waiheke Island memaparkan kesaksian dan kehidupan enam pendekar Greenpeace yang sempat bergabung di kapal Rainbow Warrior. Mereka adalah Rien Achterberg, Martini Gotje, Henk Haazen, Bunny McDiarmid, Susi Newborn, dan Hanne Sorensen. Dalam usia yang tidak bisa dikatakan muda, sekitar 50-60 tahunan, gairah dan semangat mereka masih memancar kuat.
Keenam aktivis lingkungan ini gigih memprotes perburuan ikan paus dan percobaan nuklir di Pasifik. Menggunakan kapal Rainbow Warrior kiprah mereka bergaung kencang, dan membuat khawatir sejumlah negara yang melakukan percobaan nuklir. Pada 1985, Rainbow Warrior diledakkan oleh dua agen rahasia Prancis. Seorang fotografer tewas. Rien dan kawan-kawannya sangat terpukul, dan menetap di di Waiheke, Selandia Baru.
Dalam film ini kita bisa melihat dan mendengar perasaan dan pikiran tentang kiprah mereka sebagai aktivis lingkungan. Juga rasa kehilangan atas tenggelamnya Rainbow Warrior. Martini sempat menjadi pemberang, dan Hanne menjadi traumatik. Film ini menuturkan pula kehidupan mereka sehari-hari. Gaya hidup mereka masih menyisakan kekhasan generasi bunga. Apalagi sebagiannya menikah di antara mereka sendiri. Rien menikah dengan Susi, dan Henk menikah dengan Bunny. Rata-rata rumah mereka sederhana tapi nyaman. Rumah Henk dan Bunny dibuat dari barang bekas dan ramah lingkungan. Untuk menyambung hidupnya, Rien membuat selai dari buah-buahan yang tumbuh di kebun organiknya. Selai ini dimasukkannya ke dalam botol-botol yang dipulung dan dibersihkannya, lantas dijual bertelekan meja kecil sederhana.
Kecuali Hanne, mereka masih aktif di Greenpeace. Pakar navigasi Martini kini sibuk di belakang komputernya untuk memantau ikan paus, kapal penangkap ikan ilegal, pengangkutan nuklir, melalui internet dan satelit. Penampilan ayah tunggal ini masih bohemian dengan kuciran rambut kudanya. Sedangkan Hanne yang mengalami trauma cukup parah,memilih keluar dari Greenpeace. Sebagai aktivis lingkungan dia membuat komunitas eco-village di tempat tinggalnya.
Kini pulau yang saat dtemukan Rien pada tahun 1983 masih alami dan sangat indah itu mulai dijadikan salah satu tempat wisata favorit. Selain semakin ramai, harga-harga juga meningkat yang berdampak pada kondisi keuangan para aktivis ini yang pas-pasan.
Melalui film The Rainbow, kita menyaksikan semangat menghargai alam dan menjaga lingkungan hidup, perjuangan tanpa kekerasan, dan konsistensi mempertahankan idealisme yang diusung selama puluhan tahun
Tayangan mendatang pada Rabu 27 April adalah The Cats of Mirikitanikarya Linda Hattendorf. Film ini memenangkan berbagai kategori di sejumlah festival, antara lain di Tribeca Film Festival, Tokyo International Film Festival, Tromso International Film Festival, Paris Cinema Film Festival, dan Durban International Film Festival.
The Cats mengisahkan kehidupan Jimmy Tsutomu Mirikitani, seniman jalanan kelahiran tahun 1920 yang tinggal di dekat dua menara World Trade Center, New York, AS. Setelah sebelumnya selamat dari kamp tawanan pada PD II, menarik untuk melihat kehidupan tunawisma ini pasca peristiwa 9/11. Sehari-harinya di pojokan Soho ia menggambar kucing, kamp tawanan pada PD II, dan kobaran api bom atom. Dilahirkan di Sacramento AS, Mirikitani sempat dibesarkan di Hiroshima, lantas kembali ke AS pada tahun 1938 untuk menjadi seniman dan menghindari wajib militer di Jepang. Motonya, “make art not war”.
Menonton film-film dokumenter ini ibaratnya menyaksikan realitas kehidupan manusia dalam konteks sejarah dan budaya, dalam narasi besar atau narasi kecil, yang meninggalkan kesan dan pesan untuk direnungkan.
barata
Artikel Lainnya :
- 14 Januari 2011, Pasinaon Basa Jawa - BANJIR LAN LARANG PANGAN(14/01)
- Lagi, Film Indonesia Tayang di Festival Dunia(15/08)
- KYAI TUMUT DAN TERJADINYA DUSUN TUMUT, MOYUDAN, SLEMAN(14/04)
- 2 Juni 2010, Yogya-mu - UPAYA PERLINDUNGAN IKAN DAN LINGKUNGANNYA(02/06)
- Dolanan Layangan-5 (Permainan Anak Tradisional-78)(03/04)
- Seni Pertunjukan Tradisional. Nilai, Fungsi dan Tantangannya(01/02)
- PEMBUATAN KERIS DI MASA LALU(20/10)
- Bijdragen(15/09)
- Selayang Pandang Seni Pertunjukan Bali(14/10)
- Denmas Bekel(22/12)