Tembi

Berita-budaya»NEGERI TANPA MIMPI

22 Sep 2011 07:23:00

NEGERI TANPA MIMPI‘Negeri Tanpa Mimpi” salah satu judul sajak yang dibacakan dalam acara sastra yang diberi tajuk ‘100 Puisi Slamet Riyadi Sabrawi’ Jum’at (16/9) di Karta Pustaka, Yogyakarta. Memang, seperti nama tajuknya, jumlah puisi karya Slamet Riyadi Sabrawi yang dibukukan dengan judul ‘Tiba-tiba Ingatanku Menjalari Tubuhmu’, jumlahnya ada 100 puisi. Namun tidak semuanya dibacakan. Masing-masing pembaca memilih sendiri puisinya dan tidak lebih dari 5 puisi. Landung Simatupang misalnya, yang telah memilih 5 puisi tidak semua dibacakan, karena pilihan Landung ternyata dibacakan penyair lain yang tampil membaca lebih dulu.

Selain Landung, yang tampil membaca adalah penyair Hamdy Salad yang membacakan 2 puisi. Dua judul yang dipilih HamdyNEGERI TANPA MIMPISalad ialah ‘Sajak Api Untuk Lilin’ dan ‘Kepada Kedua Pencatat’. Penyair lainnya, Boedy Ismanto membacakan dua puisi, yaitu ‘Cemara hilang Diliputan Kenangan’ dan ‘Tahun Baru’. Cerpenis Ikun Sri Kuncoro membacakan 4 puisi, masing-masing berjudul ‘Pulanglah ke rumahmu dalam dua petang’, ‘Selalu kangen disepanjang malam’, ‘Do’a kesepian menjelang pagi’ dan ‘Jalan Mangkubumi’, Pengamat sastra dan novelis, Krisbudiman membacakan dua sajak yang berjudul ‘Sajak Peragu’ dan ‘Kopi pahit tak habis beribu kureguk’.

Selain dibacakan, dua sajak karya Slamet Riyadi Sabrawi digubah menjadi lagu oleh Krishna Encik, yang dinyanyikannya sendiri, dan satu puisinya dinyanyikan oleh Ade Tanesia. Slamet Riyadi Sabrawi, melihat dua puisinya dinyanyikan Krishna Encik, merespon dengan senang, bahkan tidak menduka, puisinya bisa ‘dilagukan’.

Acara membaca ‘ 100 sajak Slamet Riyadi Sabrawi’ sebelumnya diawali curhat puisi oleh Halim HD. Bagi Halim, yang sudah cukup lama ‘bergaul’ dengan puisi, melihat fenomena puisi sekarang yang ditulis oleh anak-anak muda, merasa memiliki persoalan dalam dirinya, karena puisi-puisi sekarang sulit masuk kedalam diri Halim. Persoalannya, demikian Halim, bukan pada puisi karya anak-anak muda, tetapi lebih pada diri saya.

“SelamNEGERI TANPA MIMPIa ini, bahkan sampai hari ini, saya terbiasa dengan puisi-puisi Goenawan Mohamad, Sitor Situmorang dan lainnya. Puisi-puisi mereka akrab dalam diri saya. Mungkin karena puisi sekarang berbeda dengan puisi masa lalu saya, yang membuat saya mengalami problematik dalam menikmati puisi hari-hari ini” kata Halim.

Tetapi sajak-sajak karya Slamet Riyadi Sabrawi, yang dia kenal sejak masih aktif di PSK (Persada Studi Klub) asuhan Umbu Landu Paranggi, bagi Halim, tidaklah asing sajak-sajak Slamet Riyadi Sabrawi dan ia tidak mengalami problem dalam menikmatinya.

Sajak demi sajak dibacakan oleh para penyair Yogya, selain nama-namanya sudah disebutkan di atas. Ada nama lain yang belum disebutkan misalnya, Helga Korda, yang dimasa mudanya sering membacakan puisi-puisi karya penyair lain. Pada acara ‘100 sajak Slamet Riyadi Sabrawi’ Helga membacakan sajak-sajak yang berjdul, ‘Mencatat malam, meringkas siang: DariNEGERI TANPA MIMPIbuku ke rindu’, ‘Ladang’, ‘Celoteh’, ‘Buku Tua Kulupa’. Sedang penyair Hari Leo, membacakan dua sajak yang berjudul ‘Sajak Jakarta’ dan ‘Hari Duka’. Penyair perempuan lain yang ikut yampil ialah Evi Idawati.

Pada spontanitas muncul beberapa pembaca puisi yang lain, misalnya Yantoro, Ariyoko, Iman Budi Santosa dan beberapa orang lainnya.

Di Yogya, pembacaan puisi kerapkali dilakukan. Bahkan pada tahun 1970-an, kegiatan sastra sempat mendominasi aktivitas di Yogya. Apa yang dilakukan Jum’at malam lalu di Karta Pustaka, setidaknya bisa mengingatkan kegiatan sastra di Yogyakarta 40 tahun yang lalu.

“Kegiatan seperti ini atau lebih luasnya kajian buku, penting untuk terus dilakukan di Yogya, bukan hanya dikerjakan ‘sekali lewat’” ujar Halim HD.

Ons Untoro




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta