Tembi

Berita-budaya»KISAH CANDIK ALA 1965 DARI TINUK YAMPOLSKY

30 Jun 2011 08:05:00

KISAH 'CANDIK ALA 1965' DARI TINUK YAMPOLSKYPeristiwa 1965 merupakan peristiwa gelap. Karena tidak pernah ada ‘titik terang’ yang mengungkap peristiwa itu secara gamblang. Informasi samara-samar mengenai peristiwa 1965, tidak memberikan ‘kegamblangan’ malah membuat orang menduga-duga. Para korban 1965 dan keluarga, sampai hari ini tidak mengerti benar mengapa dirinya menjadi korban.

Tinuk Yampolsky, melalui novel yang berjudul ‘Candik Ala 1965’ berkisah mengenai pertistiwa 1965 dari sudut anak kecil pada masa itu. Tokoh ‘Nik’ dalam novel ini, pada masa peristiwa 1965 masih berusia 7 tahun dan tidak mengerti akan peristiwa yang terjadi. Yang kelak dikemudian hari, ‘Nik’ mempunyai beban sejarah, kenapa tetangganya yang dulu dikenal, setelah peristiwa 1965 tidak kelihatan lagi.

“Mengapa mengambil tokoh, Nik, anak usia 7 tahun?” tanya Tembi.

“Karena saya ingin mengatakan, peristiwa 1965 merupakan beban sejarah bagi generasi muda, yang pada waktu itu masih kecil seperti Nik” kata Tinuk Yampolsky waktu melakukanKISAH 'CANDIK ALA 1965' DARI TINUK YAMPOLSKYtalkshow di radio eltira, Jum’at (26/6) lalu.

Rupanya, Tinuk hendak bercerita mengenai generasi muda yang dibebani sejarah gelap, yang sampai sekarang belum juga (di)jelas(kan). Semasa rezim orde baru, bahkan sampai orde reformasi yang sudah berjalan 13 tahun ini, upaya untuk menjelaskan peristiwa 1965, termasuk korban-korbannya yang hingga sekarang tidak kembali, dan tidak tahu di mana mereka, tidak pernah tuntas dijelaskan.

Untuk membandingkan kisah yang sama, misalnya di Kamboja, setelah rezim Pol Pot yang komunis jatuh, pemerintah penggantinya menyampaikan para korban pembataian yang dilakukan oleh Pol Pot. Di museum Tul Sleng, foto-foto korban dipajang, sehingga keluarga dan khalayak pada umumnya bisa mengerti bagaimana nasib keluarganya.

Dengan cerita yang mengalir, Tinuk Yampolsky mengkisahkan peristiwa 1965 dan enak untuk diikuti. Tinuk, seperti mengajak pembacanya tidak mKISAH 'CANDIK ALA 1965' DARI TINUK YAMPOLSKYenghentikan dalam membaca sebelum usai

Goenawan Mohamad, penyair dan esais merespon dengan baik atas karya Tinuk Yampolsky dengan mengatakan seperti berikut bisa dibaca:

“1965 adalah tahun yang traumatik dalam sejarah Indonesia. Beberapa karya fiksi dan non fiksi ditulis. Niat: menghadirkan kembali pergolakan politik yang gemuruh dan berdarah itu.

Tapi ‘Candik Ala’ punya sesuatu yang istimewa: peristiwa yang menakutkan itu dikisahkan dari mata seorang anak, yang kemudian tumbuh, di sebuah kampung di Solo: sebuah dunia yang lugu yang dibenturkan dengan pergolakan yang buas.

Tinuk Yampolsky menuturkannya dengan sederhana, lurus, tanpa kelokan-kelokan literer. Bersama warna lokal yang menyusup dalam dialog-dialognya, novel ini mirip sebuah film dokumenter, dan mengasyikan bagi mereka yang ingin tahu bagaimana kehidupan berjalan di sebuah kota di Jawa Tengah di pertengahan 1960-an yang terguncang dan berdarah-darah itu”.

Sebagai generasi yang pada masa itu usia Tinuk seperti usia ‘Nik’, 7 tahun, dalam novel ini, akhirnya ‘mendapatkan’ jawabannya dan dikisahkan pada bagian penutup dari novel ini.

Ons Untoro




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta