"Ini Tong Pu Hidup"
Pameran Foto Orang Papua
Bicara Papua akan selalu dikaitkan dengan konflik, dan tidak adanya keamanan. Padahal masih banyak yang bisa diceritakan dari Papua, contoh kecilnya adalah keindahan alamnya dan keramahtamahan penduduknya. Seperti yang diceritakan Mitu M.Pria pada peluncuran buku sekaligus pameran fotonya yang berjudul “Ini Tong Pu Hidup” di Galeri Cemara 6, Menteng beberapa waktu lalu. Mitu M.Prie merupakan lulusan Arkeologi Universitas Indonesia, pernah bekerja di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, sempat bekerja di bidang Public Relations dan kemudian bekerja sebagai relawan sampai konsultan komunikasi LSM lokal, yang akhirnya membawa ia bekerja di wilayah papua selama 10 tahun.
Ada tida hal yang terangkum pada pameran foto Mitu kemarin, pertama tentang profil keseharian orang papua yang beragam, kedua tentang keperkasaan perempuan papua yang sangat mengesankan Mitu dan ketiga tentunya keelokan dan keindahan alam Papua yang diibaratkan Mitu sebagai Tana Surga. Ini hanya sedikit dari pengalamanya selama 10 tahun bersentuhan dengan Tana Papua, bagaimana ia melihat realitas kehidupan sosial budaya, kesibukan bekerjasama dengan teman-teman dan warga setempat, juga berinteraksi dengan lingkungan disana.
Pada saat pembukaan yang dihadiri oleh Yeni Wahid, dan Arifin Panigoro, Yeni berbagai sedikit cerita ketika ayahnya Gus Dur yang pernah menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Ditengah konflik dan isu kekerasan yang kerap terjadi di Papua, Yeni dan keluarganya mengaku punya kedekatan yang unik ketika mereka mengunjungi Papua. “Waktu itu sedang kencang berita mengenai konflik Papua, namun ayah saya memilih untuk datang kesana dan merayakan Natal disana. Begitu sampai disana kami sangat terharu karena disambut di pinggir jalan oleh warga disana, karena saya sangat menghargai saya buka kaca mobil, begitu saya ingin menyapa, yang terdengar malah teriakan “Merdeka”, wah keliru ini,” katanya sambil tertawa.
Namun menurut Yeni, dengan kedatangannya bersama keluarga kesana, justru terjalin hubungan istimewa, karna pada waktu itu Gusdur membiarkan apa yang di inginkan warga disana. Misalnya saja mengibarkan bendera bintang kejora, dan mencoba berkomunikasi dengan baik. Intinya memanusiakan mereka, tidak hanya pendekatan secara ekonomi saja. Dan pada pameran Mitu, Yeni melihat ada upaya yang sama dilakukan Mitu. “Mereka berhak hidup dengan cara mereka sendiri,”. Pendapat lain datang dari Oscar Matuloh, kurator karya Mitu, menurutnya pada karya Mitu ada tajuk personal sebagai suatu komentar sekaligus sebagai representasi dari apa yang Mitu rasakan tentang orang Papua. Rangkaian visual Mitu yang terekam pada karya-karyanya ada respon perasaannya terhadap ketidakadilan penguasa terhadap kehidupan warga asli Papua.
Natalia S.
Artikel Lainnya :
- 14 Juli 2010, Bothekan - ULA MARANI GEBUK(14/07)
- 4 Oktober 2010, Suguhan - BAKSO KANTIN PAK SUPRI(04/10)
- Kaya Ngedegake Omah Ing Pawedhen(07/08)
- 19 Juni 2010, Denmas Bekel(19/06)
- 1 Februari 2010, Klangenan - BUDAYA TOLERAN DI YOGYA(01/02)
- SULITNYA MEMBANGUN PERADABAN BANGSA(25/05)
- 5 Januari 2011, Yogya-mu - BROWNIES SALAK PONDOH: OLEH-OLEH KHAS JOGJA YANG MASIH KINYIS-KINYIS (1)(05/01)
- RIBETNYA MENGENAKAN TUTUP KEPALA DI MASA LALU(04/11)
- CINTAI-LAH BAHASA INDONESIA(31/10)
- Denmas Bekel(04/06)