'Greget' dari 'Tanah Air Pusaka'

'Greget' dari 'Tanah Air Pusaka'

Dalan tahun yang berbeda, bahkan termasuk ketika kampusnya masih di Gampingan, jurusan seni lukis ISI Yogyakarta, pada angkatan yang berbeda selalu terbentuk kelompok. Nama kelompoknyapun berbeda-beda. Umumnya menggunakan nama angkatan, seperti angkatan 95, yang menamakan dirinya sebagai ‘Greget 95’. Masing-masing kelompok berdasarkan angkatan tersebut mempunyai kebiasaan melakukan pameran bersama. Setidaknya seperti ‘Greget 95’, selama 8 hari, terhitung mulai 12-20 Juni 2012 menyelenggarakan pameran di Bentara Budaya Yogyakarta dan mengambil tema ‘Tanah Air Pusaka’.

Menilik dari tahun angkatan, pastilah mereka sudah lama meninggalkan kampusnya dan menjadi perupa yang terus berkarya, atau entah menjadi apa, mungkin bukan perupa, melainkan memiliki profesi lain. 17 tahun yang lalu meraka memulai ‘belajar’ menjadi pelukis dan sekarang, sebut saja telah menjadi pelukis, setidaknya karena mereka berkarya dan dipamerkan bersama.

Lalu apa yang mereka maksud ‘Tanah Air Pusaka’ yang tak lain adalah penggalan baris lagu karangan Ismail Marzuki, yang berjudul ‘Indonesia Pusaka’?

Barangkali, komunitas angkatan 95 itulah tanah air pusaka, atau malah kampus ISI yang dimaksud sebagai tanah air pusaka. Kalau kampus ISI, artinya bukan hanya angkatan 95 yang memilikinya, tapi semua alumni ISI dari jurusan apapaun, adalah pemilik syah dari tanah air pusaka itu. Rasanya, komunitas angkatan 95, yang lebih pas dimaksud sebagai tanah air pusaka itu.

'Greget' dari 'Tanah Air Pusaka'

“Bagi kami lagu ‘Indonesia Pusaka’ mempunyai greget lagu yang selalu melekat dalam ingatan, dan akan terus menggetarkan semangat nasionalisme bangsa Indonesia, meskipun hanya dalam impian dan angan saja, namun inilah realitas yang harus dihadapi dan jalani bersama. Bahwa kita berdiri di atas ‘tanah’ dan ‘air’ yang menjadi sumber hidup kita” demikian pernyataan dari Greget 95.

Karya-karya dari ‘Greget 95’ yang dipamerkan ini, semua menoca menangkap semangat nasionalisme yang terkandung dari lagu ‘Indonesia Pusaka ‘ itu. Para perupa menafsirkan lagu itu untuk menjadi karya lukis. Maka dari itu, seperti halnya anggota kelompok terdiri dari beragam latar belakang etnis, sosial, keyakinan dan seterusnya, lukisan yang dipamerkan pun sangat beragam dari segi visual.

Dari segi teknis, lukisan yang dipamerkan memang menghasilkan karya visual yang, rasanya, cukup mencengangkan. Karena secara teknis para perupa ini sudah siap untuk memamerkan karya-karyanya.

Tapi orang tahu, lukisan bukan hanya soal teknis, melainkan memiliki ‘jiwa’ yang bisa menghidupkan karya seni, dalam konteks ini seni lukis. Para perupa muda ini, agaknya, secara bersama-sama sedang men’jiwai’ karya-karyanya. Hasil karya mereka, secara teknis bisa dikatakan sudah selesai, tetapi yang menyangkut ‘menghidupkan karya’ masih terus perlu dicari. Apalagi, seni lukis merupakan ‘pusaka’, sehingga perlu memiliki jiwa.

Hampir karya-karya ‘Greget 95’ mengalir dalam irama yang sama: figur dan warna ‘menguasi kanvas. Kanvas disapu warna dan figur ada ditengahnya, misalnya seperti yang berjudul ‘Identitas’ karya Gusmein Heriadi. Atau juga karya yang berjudul ‘Antara Aku, Pabrik-pabrik dan sawah terakhir’. Pada karya ini, pelukisnya, Muhammad Yusuf, seperti sedang memprotes kehidupan modern yang ditandai hasil produksi dari pabrik-pabrik.

'Greget' dari 'Tanah Air Pusaka'

Para perupa muda angkatan 95 ini, rata-rata lahir akhir tahun 1970-an. Ini artinya mereka dibesarkan oleh sistem orde baru dan mereka berkarya merespon keadaan sistem yang membesarkannya, bahkan sampai gejala sosial akhir-akhir ini.

Mereka memang terasa penuh greget dan semangatnya tidak padam. Hasil dari greget dan gelora semangat berkarya ditandai sebagai ‘Tanah Air Pusaka’.

Ons Untoro




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta