Film Dokumenter Di Balik Frekuensi,
Menyingkap Kendali Kepentingan Politik dalam Media Televisi

Film ini bercerita tentang Luviana, jurnalis Metro TV yang “dirumahkan” karena membentuk serikat pekerja dan mengkritisi kerja redaksi dan sistem perlakuan pekerja di stasiun televisi tersebut.

Pemutaran film dokumenter Di Balik Frekuensi, di Komunitas Dokumenter Indonesia Yogyakarta, Maret 2013, foto: Alia Damaihati
Layar tancep ala Komunitas Dokumenter Yogyakarta saat menyaksikan Di Balik Frekuensi

Sebuah film dokumenter bertajuk “Di Balik Frekuensi”, telah di perkenalkan di beberapa daerah di Indonesia, salah satunya di Yogyakarta. Pemutaran film dan diskusi, yang di selenggarakan di garasi rumah Komunitas Dokumenter Indonesia, dihadiri oleh kurang lebih 65 penonton, pada tanggal 17 Maret 2013.

Film ini bercerita tentang Luviana, jurnalis Metro TV yang “dirumahkan” karena membentuk serikat pekerja dan mengkritisi kerja redaksi dan sistem perlakuan pekerja di stasiun televisi tersebut. Juga dengan Hari Suwandi bersama Harto Wiyono, salah satu korban lumpur Lapindo, yang mengambil tekad berjalan kaki dari Porong Sidoarjo sampai Jakarta, sebagai bentuk keprihatinan atau protes terhadap penanganan kasus yang belum terselesaikan atas lumpur Lapindo.

Kasus mereka merupakan poin utama yang diangkat dan ditujukan dalam menelaah industri media, sistem dan pola konsumsi masyarakat terhadap sebuah tontonan.

Di Balik Frekuensi, mengajak penonton untuk menyaksikan bagaimana konglomerasi media pascareformasi bermain dalam domain politik publik. Simbol-simbol ketika merekam scene para demonstran dengan topeng foto Surya Paloh, jelas menjadi satir untuk mengkritik sebuah kondisi, kelemahan dan keburukan sistem (media) yang ada saat ini.

Banyaknya media baik televisi, radio, cetak bahkan virtual, diketahui hanya dimiliki oleh beberapa grup media yang berkaitan erat dengan dunia politik, khususnya pemilik stasiun televisi swasta nasional di Indonesia.

Keterkaitan media dengan politik, membuat televisi menjadi bagian dari ‘kendaraan’ kepentingan politik masing-masing pemiliknya. Pengadaan jam siar khusus untuk iklan politik, ketika menjelang pemilu baik gubernur maupun presiden, merupakan salah satu contoh transaksi yang jelas atas perlakuan pemilik media (modal) dan pelaku politik.

Tidak berbeda dengan TVRI yang seharusnya menjadi media elektronik satu-satunya yang membebaskan ketika rezim Orde Baru namun justru menjadi tangan panjang sistem yang berlaku kala itu. Berhadapan dengan modal dan rezim, bukan perkara baru, namun akan menjadi dinamika yang selalu ada dan menimbulkan korban-korban lain dalam putaran perkara ini, yang tentu saja mengajak keberpihakan publik terhadap korban.

Selama 144 menit penonton dilibatkan melihat peran media yang semakin “bebas” diwacanakan dalam pengertian sosial; hiburan, informasi atau kepentingan. Sekalipun sampai saat ini tidak ada hal yang benar-benar membebaskan.

Melalui serangkaian rekam gambar yang telah dipetakan dalam film ini, bagaimana media dan orang-orang di baliknya menyuguhkan tontonan hiburan dan informasi yang dikonsumsi oleh masyarakat dan perlu dipertanggungjawabkan, ketika semuanya berdasarkan dan melibatkan publik untuk menentukan rating di masing-masing program di stasiun televisi yang berbeda.

Pemutaran film dokumenter Di Balik Frekuensi, di Komunitas Dokumenter Indonesia Yogyakarta, Maret 2013, foto: Alia Damaihati
Di Balik Frekuensi dalam gambar

Berkembanganya media elektronik yang beragam, menipiskan batas antara ruang informasi publik dengan hiburan yang harus dikonsumsi oleh masyarakat. Keberpihakan film ini dalam menginformasikan di balik sistem media, terlihat melalui nara sumber yang diangkat dan menjadi ‘jalan’ masuk penonton dalam memahami isu di dalamnya.

Keterlibatan publik sebagai penonton dan pembahasan di berbagai media juga ruang diskusi, serta banyaknya data audio-visual, omongan narasumber dan pihak-pihak yang berkenaan dengan isu ini, mutlak menguatkan film ini sebagai film advokasi.

Alia Damaihati

Di Balik Frekuensi |Sutradara : Ucu Agustin | Produser : Ucu Agustin dan Ursula Tumiwa | Editor : Darwin Nugraha | Sinematografer : Darwin Nugraha dan Affan Diaz.



Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net/


Baca Juga Artikel Lainnya :




Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta