'Emergency Code' Dari Tiga Perupa
Seringkali kita menemukan tajuk pameran yang diselenggarakan, pameran tungal atau pameran bersama menggunaksn istilah asing, sehingga , seolah, pameran seni rupa tersebut mempunyai ‘nuansa global’. Judul-judul karya yang tertera dan ditempel di dekat karya rupa, juga menggunakan bahasa asing. Jadi lengkaplah, nuansa asing ‘dihadirkan’ di tengah publik domestik, yang mungkin hanya ada beberapa orang asing hadir dalam pembukaan pameran. Seringakali pula, konsep yang dipresentasikan dalam tajuk pameran, secara operasional tidak ditemukan pada karya seni rupa yang dipamerkan. Tajuk yang dihadirkan, agaknya, sekedar untuk menadai pameran yang dilakukan.
Ini ada satu pameran, yang mencoba merespon dari persoalan di atas. Pameran tersebut mengambil tajuk ‘Emergency Code’ menampilkan tiga perupa, Hery Kris, Herly Gaya dan Sri Pramono. Pameran dilakukan di Sangkring Art Project, Nitiprayan, Yogyakarta, berlangsung dari tanggal 13-27 September 2012.
Masing-masing perupa, dari tiga perupa yang melakukan pameran bersama, hadir dengan ekspresi dan visual yang berbeda. Ketiganya, melalui karya-karyanya seperti sedang memberi tanda pada persoalan yang dilihatnya. Tentu saja, ‘hasil’ dari penglihatan, atau mungkin malah ‘pembacaan’ persoalan, ketika divisualkan dalam karya seni rupa memiliki bentuk dan makna yang tidak sama.
Menyangkut tema pameran ‘Emergency Code’ ketiganya sengaja mengadopsi tema tersebut berdasarkan pengalaman yang mereka miliki. Bagi ketiga perupa, selama ini sudah banyak pameran seni rupa yang kurang adanya kedekatan esensi antara konsep pemikiran karya yang dipamerkan dengan konteks tema dalam sebuah pameran seni rupa terutama pada saat pameran bersama atau kelompok.
“Ada beberapa sebab yang mendasari munculnya hal tersebut salah satunya yaitu: Lebih mengedepankan kepentingan komersial yang dibalut dengan paradigma yang terdengar indah di telinga” tulis ketiga perupa: Heri Kris, Herly Gaya dan Sri Pramono.
Ada bermacam tanda-tanda yang dihadirkan dalam pameran tiga perupa yang mengambil tajuk ‘Emergency Code’, ada batu-batu, ada tangga warna merah, ada kepala manusia, ada kapal, ada sosok manusia yang berdiri di atas tangga merah, dan tanda-tanda lain. Tanda-tanda itu, agaknya telah menjadi code bagi perupanya. Code untuk diirinya sendiri, sekaligus menandai relasinya agar bisa mengerti. Tanda-tanda itu menyebar tidak hanya di ruang pamer, tetapi sekaligus menyelinap di ingatan relasi yang melihat tanda-tanda yang dibuat oleh ketiga perupa tersebut.
“Pada haketanya pameran seni rupa Emergency Code yang kami hadirkan ingin memberikan jeda sesaat terhadap refleksi pameran seni rupa dengan segala carut marutnya yang sudah kita lakukan bersama selama sekilan puluh tahun. Bukan juga pameran ini secara arogan untuk memberikan pencerahan, akan tetapi lebih bermaksud sebagai penanda dalam keadaan dan situasi seni rupa yang kurang bernasib baik” lagi-lagi tulis ketiga perupa: Heri chris, Herly Gaya dan Sri Purnomo.
Barangkali, dari teks yang ditulis ketiga perupa itu, penting untuk ditelisik ialah siapa yang dimaksud ‘kita?’. Apakah ‘kita’ adalah ketiga perupa, atau yang dimaksudkan semua peupa, sehingga perlu ditambah kata ‘sekian puluh tahun’.
Namun agaknya, yang utama, pameran ini, seperti mereka katakan, sekadar sebagai penanda dari satu situasi yang ‘kurang bernasib baik’. Dari tiga kata terakhir tersebut, tentu orang bisa masih terus bertanya, apa yang dimaksud ‘kurang bernasib baik? Mungkin secara ekonomi, karya-karya seni rupanya tidak laku. Atau mungkin kualitas karyanya kurang bermutu?. Pada yang terakhir, tentu, tidak berkaitan dengan ‘nasib baik’ melainkan menyangkut kemampuan teknis dan kemampuan menafir kenyataan.
Rasanya, ‘Emergency Code’ yang dimaksud untuk ‘kita kaum perupa’ sesungguhnya hanya menunjuk mereka bertiga. Namun baik juga ‘didengarkan’ oleh ‘kita’ semua.
Ons Untoro
Artikel Lainnya :
- JUDUL BUKU(22/07)
- 31 Agustus 2010, Kabar Anyar - RENDAHNYA APRESIASI MASYARAKAT TERHADAP MUSEUM(31/08)
- 24 September 2010, Figur Wayang - Pandhawa Muksa(24/09)
- 20 Oktober 2010, Perpustakaan - Mengenal Secara Mudah dan Lengkap Kesenian Karawitan Gamelan Jawa(20/10)
- Pangeran Prangwedono, Kolonel Kepala Legiun Mangkunegaran(21/11)
- Kazavi, Menguak Sejarah Dengan Gitar 17 Nada(04/06)
- Nicholas Saputra, Arsitek itu Dekat Dengan Film(01/10)
- Mata Jendela(21/03)
- Penyair Empat Generasi Baca 40 Karya di Yogyakarta(31/01)
- 9 Maret 2011, Kabar Anyar - ILMU HUMANIORA PENTING DI ERA GLOBALISASI(09/03)