Daun Pintu yang Terbuka

Daun Pintu yang Terbuka

Pameran Komunitas Daun Pintu di Tembi Rumah Budaya telah berlangsung sejak 12 Juli lalu. Dibuka oleh Heri Dono, seniman kontemporer yang belum lama ini tiba dari dari Jerman.

Pameran yang berlangsung hingga 25 Juli ini mengambil tajuk ‘Indah dalam Kebersamaan’. Karya-karya yang dipamerkan cukup beragam. Kalau mau mencari kekhasan pameran ini, agaknya keberagaman itulah. Jadi kalau dibaca secara komplit, tajuk pameran ini adalah indahnya keberagaman dalam kebersamaan, bukan kebersamaan yang homogen. Keberagaman dalam latar pendidikan, usia, media, gaya, aliran, dan lainnya.

Pameran ini diikuti oleh 20 peserta, yakni: Amin Syahlevi, Bambang Siswanto, Darmianto (Kelik), Djoko Novanto, Djoko Sardjono, Jati "Wigeg"Munandar, Joseph Praba, Kadir Supartini, Lea Istika, Lukman Riadus S., Lulus Santoso, M. Aris, Nur Kuntolo, Ridi Winarno, Sartono, Slamet Widodo (Fredi), TJ. Yoewono, Tri Suharyanto, Victor Sarjono, dan Yudiantono.

Kita bisa menyaksikan lukisan ‘nyeleneh’ Lulus yang menggambarkan pengumbaran nafsu syahwat. Lukisan bergaya kartun Kelik, disainer Dagadu, yang menampilkan 4 punakawan di tengah keriuhan modernitas Yogya, berjudul khas ‘Bungah Susah Jogja Tetap Istimewah’. Lukisan naturalis Lea. Lukisan abstrak Victor Sardjono dan Amin Syahlevi. Lukisan realis yang beragam gaya, mulai dari penari tayubnya Djoko Sardjono, Borobudur yang ditengadahi sarung tangan Levi’s Wegig yang simbolik, sampai sepasang sepatu kets (kanan merah dan kiri putih) Yoewono yang hiperrealis.

Daun Pintu yang Terbuka

Lukisan abstrak Joseph Praba didominasi warna kuning, pink, merah dan kelabu tua. Sejumlah kabel transparan menjadi lintasan lampu-lampu. Ada gerak terpatah-patah yang kontinyu.Lampu-lampu ini menyala ketika pengunjung terkena sensor laser yang dipasang di dekat lukisan, disertai bunyi alarm serta bunyi flute yang riuh sengkarut. Lukisan audio berjudul ‘Warning’ karya seniman jebolan sekolah musik ini seperti meluapkan kegelisahan yang mengatasi keheningan.

Karya Bambang Siswanto ‘Panen Terakhir’ yang rapi dan manis sebenarnya menyimpan kegelisahan juga meski tak divisualkan secara ekspresif. Dibagi dalam kotak-kotak halus yang berefek optikal, dengan cermat Bambang melukiskan secara realis para perempuan yang sedang memetik hasil panen. Ditambahkan balok-balok rumah yang turut mengesankan kekakuan, beserta stilisasi awan-awan yang mengingatkan pada motif batik mega mendung yang melambangkan kesuburan. Warna hijau, biru dan kuning yang melatari langit berawan, lantas warna kuning cerah yang melatari pemetik padi, ditabrakkan dengan warna merah pada balok-balok rumah. Kegelisahan atas terus berkurangnya lahan sawah akibat tumbuhnya perumahan, dan dengan begitu juga berkurangnya petani.

Bisa kita nikmati pula karya-karya 3 dimensi. Ikan garapan Sartono yang mencekam dengan wajah tengkoraknya dalam ekspresi beringas. Sapu lidi bertuliskan ‘philosophy’ yang berujung baling-baling, dilengkapi roda untuk bergerak cepat karya Tri Suharyanto. Pusaran yang terus bergerak dengan tubuh koyak-moyak karya Nur Kuntolo. Begitu pula karya-karya 3 dimensi Fredi yang rapi dan telaten dalam guratan-guratan kayunya yang penuh. Separuh batok kepala kayu berisi daun-daun kering yang dibuatnya dari tembaga. Tangan kokoh dengan guratan yang rapi merupakan karyanya yang lain, sebagai tangan menara yang melambangkan kekuatan Indonesia.

Daun Pintu yang Terbuka

Salah satu hal yang menarik --seperti diungkap oleh M. Dwi Marianto dalam pengantar pameran-- sebagian peserta pameran ini adalah artisan, yakni profesi yang melaksanakan order dari seniman untuk mewujudkan karyanya. Mereka, dalam penuturan Dwi, “beraktivitas dalam bayang-bayang seniman yang memanfaatkan ketrampilan mereka; telah bekerja mengikuti order dari seniman klien mereka. Mereka menjadi eksekutor, tukang sketsa, atau mengisi bidang-bidang lukisan orang lain. Bahkan ada di antara mereka yang sesungguhnya harus bekerja ekstra keras dan berpikir suntuk, karena mereka hanya berpatokan pada sketsa, atau gambar rencana yang tidak detil, sehingga harus mengeluarkan kemampuan mereka secara optimal. Tidak jarang yang muncul adalah improvisasi kreatif mereka.”

Sebagian lain, kata Dwi, telah bertahun-tahun bekerja sebagai pelaksana di bawah “merek” seniman lain. Cukup banyak seniman-seniman yang telah dibantu oleh seniman underground ini, meraih sukses, dan jadi selebritis sehingga bisa kemana-mana membawa dan memamerkan karya-karya yang dikerjakan oleh artisan underground tadi.

Ada pula peserta lain, lanjut Dwi, yang dulu pekerjaannya hanya melayani pesanan, membuat suatu karya dengan target yang ditentukan oleh sang pemesan. Setelah jadi karya itu milik sang pemesan.

Maka ada saatnya ketika para artisan ini tidak lagi berkarya dalam bayang-bayang orang lain atau mengerjakan order orang lain tapi tampil sebagai diri sendiri sebagaimana dalam pameran kali ini. Banyak karya mereka yang patut disimak serius, bukan hanya konsep dan tema tapi juga hasil eksekusi garapan.

Daun Pintu yang Terbuka

Selain apresiasi karya, semangat keberagaman Komunitas Daun Pintu patut dipuji karena butuh ekstra energi untuk mewujudkannya. Kita berharap daun pintu komunitas ini akan selalu terbuka sehingga semakin kaya menawarkan karya yang dihasilkan.

Teks: Barata
Foto: Sartono




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta