Asu Gedhe Menang Kerahe
Catatan yang tertinggal dalam Pameran Sujarwo

Asu Gedhe Menang KeraheMelalui karya seni lukis, Sujarwo, sorang guru dan sekaligus seniman, mencatat beberapa peristiwa yang berkaitan dengan situasi sosial masyarakat yang ada. Catatan catatan yang berupa 24 buah lukisan cat minyak di atas kanvas yang rata-rata berukuran dua meteran tersebut dipamerkan di Bentara Budaya Jogyakarta pada 17 Pebruari 2012 sampai dengan 25 Pebruari 2012.

Menurut Sujarwo bahwa cacatan-catatan yang digelar ini merupakan bagian proses kreatif yang dilakukan penuh dedikasi dan pengabdian dengan kejujuran dan tanggungjawab atas apa yang dilihat dirasakan atas peristiwa kejadian disekitarnya. Ada suka, duka, keprihatinan, kecewa, dan lainnya yang pantas untuk direnungkan.

‘Catatan yang Teringgal’, demikian tajuk pameran tunggal Sujarwo yang pertama, mungkin bagaikan debu diudara, sesuatu yang biasa dilupakan bahkan diabaikan orang diAsu Gedhe Menang Kerahesela-sela gemuruhnya senirupa Indonsesia saat ini.

Jujur, sederhana, apa adanya, tidak dibuat-buat, itulah kesan yang kemudian muncul ketika melihat karya-karya Sujarwo. Dari corak lukisan yang realis, dan judul karya yang realis pula, seperti misalnya: Dept Collector, Nasib TKI, Kehujanan, Doa untuk Indonesia, Momong, Derita Lembah Merapi, Pengungsi Merapi, Gas Maut, Capres Kampanye, Jatilan, memungkinkan para pengunjung yang diantaranya adalah para guru, siswa dan masyarakat awam dibidang senirupa dapat memahami maksud yang ingin disampaikan pelukis pada setiap lukisannya.

Menurut Suwarno Wisetrotomo dalam katalog pameran, bahwa Sujarwo berperan sebagai sang perekam peristiwa. Ia memilih peristiwa yang ‘mengganggu’ dirinya. Karena dengan kekuatan daya ganggunya itu, ia berkewajiban menyuarakan lagi dengan ”bahasa” lukisan kepada lebih banyak orang, agar mereka tersentuh, agar mereka mikir, atau agar merekaAsu Gedhe Menang Kerahetergugah kesadarannya.

Oleh karenanya, dimungkinkan bahwa Jujur, sederhana dan apa adanya merupakan pilihan Sujarwo, agar karyanya mudah di apresiasi oleh banyak orang termasuk kalangan awam.

Sejalan dengan hal tersebut Sujarwo dalam sambutan pembukaannya mengatakan bahwa dirinya sebagai sosok guru bertekad untuk mengajarkan kesenian, khususnya senirupa serta mentransfer nilai-nilai yang ada di dalamnya, yaitu jujur, sederhana apa adanya kepada anak didiknya. Ia berkeyakinan jika murid-murid khususnya, dan para pengapresiasi lukisannya pada umumnya, berminat untuk mentransfer nilai-nilai tersebut dan mengetrapkan dalam kehidupan, dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan jika kelak menjadi pemimpin tidak bakal korupsi.

Namun jika saja catatan-catatan yang tertinAsu Gedhe Menang Keraheggal tersebut dianggap sebagai debu di udara yang dalam sekejab hilang ditiup angin dan dilupakan orang, maka benarlah apa yang dikatakan Sujarwo bahwa catatan yang tertinggal itu benar-benar ditinggalkan orang.

Sehingga dengan demikian catatan tinggalah catatan. Tanpa adanya energi di dalamnya untuk membangkitkan kesadaran, betapa berharganya nilai dari sebuah kejujuran dan kesederhanaan.

“Asu Gedhe Menang Kerahe.” adalah salah satu contoh catatan yang ditinggalkan, diabaikan, dianggap debu di udara. Ungkapan yang seharusnya merupakan catatan untuk membangunkan kesadaran bahwa tidak sepantasnya seorang pemimimpin itu ‘kerah’ (bertengkar berebut materi), karena sejatinya perilaku ‘kerah’ hanya pantas dilakukan oleh seekor anjing. Namun toh pada kenyataannya sebagian besar dari para pemimpin masih ‘kerah,’ mengumbar ketamakannya.

Pameran yang dihadiri oleh para guru, siswa, seniman dan masyarakat pada umumnya, di buka oleh Ibu Dian Anggraeni

tulisan: Herjaka, Foto: Wuryani




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta