Keraton YogyakartaSebagai Replika Kosmos
Keberadaan kedhaton kilen inilah yang menjadi dasar seorang sultan dapat dipandang sebagai pusat keraton (center of palace) dan juga pusat alam semesta (center of the universe), selain dipandang sebagai raja.
Axis mundi : pandangan dari Bangsal Manguntur Tangkil menuju Tugu
Sama halnya dengan arketip keraton-keraton yang pernah berdiri di Pulau Jawa, secara filosofis keberadaan Keraton Yogyakartadipahami sebagai replika kosmos, yang organisasi tata bangunannya dirancang menurut skema kosmos. Skema ini memusat pada keraton yang lazim disebut Cepuri, yang dirancang atas dasar filosofi Rta I, filosofi kuna yang berasal dari zaman Brahmana di India pada abad 2000 SM.
Menurut konsep tersebut keberadaan Gunung Mahameru dipandang sebagai pusat alam semesta atau makrokosmos. Di puncak gunung tersebut tinggallah para dewa, termasuk astadewa lokapala yaitu dewa berjumlah 8 penjaga arah mata angin.
Mereka adalah Dewa Indra penjaga timur, Agni tenggara, Yama selatan, Surya barat daya, Waruna barat, Bayu barat laut, Kuwera utara, serta Candra timur laut.
Posisi keraton dikelilingi oleh samudera berlapis tujuh dengan pembatas berupa gunung melingkar-lingkar, dengan batas terluar berupa lingkaran besar terbuat dari besi.
Di dalam keraton, filosofi tersebut tercermin dalam bangunan di dalam cepuri yang menjadi pusat dari bangunan keraton secara keseluruhan. Bangsal Prabayeksa merupakan represantasi Gunung Mahameru.
Sultan Hamengku Buwana sebagai center of universe
Istilah prabayeksa dapat dimaknai sebagai cahaya yang memancar terus-menerus tiada henti seperti layaknya cahaya yang memancar dari pucuk Gunung Mahameru. Keberadaan cahaya tersebut dilambangkan dalam bentuk lampu minyak kelapa bernama Kyai Wiji. Nyalanya terus terjaga sejak berdirinya keraton hingga saat ini.
Di dalam Bangsal Prabayeksa terdapat bagian ruang yang disebut kedhaton kilen, sebagai tempat tinggal sultan yang bertahta beserta permaisuri sejak zaman Sultan HB I sampai HB VIII. Sesudahnya kedaton itu kosong, karena Sultan HB IX tinggal di Gedong Kuning (gedhong jene), sementara Sultan HB X tinggal di keraton kilen.
Keberadaan kedhaton kilen inilah yang menjadi dasar seorang sultan dapat dipandang sebagai pusat keraton (center of palace) dan juga pusat alam semesta (center of the universe), selain dipandang sebagai raja.
Hal tersebut tercermin dalam nama gelar Hamengku Buwana yang disandangnya, yang artinya menjadi penopang sekaligus pemelihara dunia nan maha luas ini. Kata hamengku juga erat terkait dengan kata hamangku, serta hamengkoni.
Istilah hamangku terkait dengan watak kepribadian ber-budi bawa leksana. Dalam pengertian ini seorang sultan lebih banyak memberi daripada menerima serta menjadi batu sandaran bagi yang berkesusahan.
Istilah hamengku terkait dengan watak ambeg adil paramarta. Artinya ia bisa merengkuh serta memberikan pengayoman kepada siapa saja.
Sedang hamengkoni terkait dengan watak gung binathara. Artinya seorang raja agung yang memiliki watak layaknya para dewa, sehingga pantas diteladani. Watak tersebut menjadi cerminan dari watak asta dewa lokapala dalam rupa ajaran Astabrata, yakni asas kepemimpinan bagi seorang sultan yang bertahta.
Abdi dalem keparak menjaga Bangsal Prabayeksa
Dalam posisi sebagai center of palace inilah, seorang sultan memiliki hak prerogatif untuk menata sekalian gerak budayayang ada di dalam lingkungan keraton. Mulai dari pakaian, tata atur pisowanan, upacara adat budaya, beksa bedhaya srimpi, tata bahasa untuk komunikasi sampai pada acara adat lainnya.
Di dalam Bangsal Prabayeksa terdapat pula ruang Pasareyan dan Mandragini. Ruang ini digunakan untuk menyimpan pusaka keraton yang memiliki nilai historis, seperti tombak Kangjeng Kyai Ageng (KKA) Pleret serta KKA Bahru, keris KKA Jaka Piturun, KKA Kopek serta KKA Sengkelat, pusaka KK Al Quran serta KK Suryaraja.
Keberadaan Bangsal Prabayeksa dikelilingi oleh halaman yang luas sebagai simbol samudera yang mengelilingi Gunung Mahameru. Sedangkan Bangsal Kencana tempat sultan duduk di atas singgasana dihadap para abdi merupakan representasi Maliyarata. Ini sebutan bagi Istana Batara Indra, pemimpin para dewa penjaga mata angin (astadewa lokapala).
Secara keseluruhan tata letak bangunan keraton ditata menurut skema kosmos dengan satu axis yaitu utara selatan sebagai axis pokok upacara sakral dalam rupa upacara Grebeg dan penobatan seorang putra mahkota menjadi Sultan Hamengku Buwana.
Saat duduk di atas singgasana di Bangsal Manguntur Tangkil pandangan mata sultan dalam nuansa samadi tertuju pada garis lurus ke utara sampai pada titik akhir pandangan dalam rupa Tugu.
Tata letak bangunan keraton yang berposisi lurus
dengan Tugu dan Gunung Merapi
Naskah & foto:Hugo M Satyapara
Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net - Rumah Sejarah dan Budaya
Baca Juga Artikel Lainnya :
- Candi Klodangan Sleman, Masih Minim Informasi(25/10)
- Gereja GPIB Marga Mulya, Salah Satu Gereja Kuno di Yogyakarta (2)(18/10)
- Mitos Gunung Sangga dan Ruwatan Sudamala(17/10)
- Keyakinan pada Keberadaan Kangjeng Ratu Kidul(14/10)
- Gereja GPIB Marga Mulya Salah Satu Gereja Kuno di Yogyakarta (1)(11/10)
- Panepen Gunung Lanang, Di sinilah GPH Hangabehi Mendapatkan Wahyu Keprabon(07/10)
- Pendakian Rohani ala RNg Ranggawarsita(05/10)
- Candi Dawangsari di Prambanan, Candi Budha yang Belum Selesai Direkonstruksi(02/10)
- Jejak Legenda Nyai Makukuhan di Gunung Sindara, Temanggung, Jawa Tengah(30/09)
- Arca Ganesa Raksasa di Dawangsari Prambanan Nan Merana(27/09)