Tembi

Bale-dokumentasi-resensi-buku»Pesta Emas Sastra Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta (Geguritan, Crita Cekak, Macapat, Siteran)

11 Nov 2009 01:40:00

Perpustakaan

Judul : Pesta Emas Sastra Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta (Geguritan, Crita Cekak, Macapat, Siteran)
Penyunting : Linus Suryadi AG, Danu Priyo Prabowo
Penerbit : Pustaka Pelajar, 1995, Yogyakarta
Bahasa : Jawa
Jumlah halaman : xvi + 214
Ringkasan isi :

Bila diperhatikan sastra Jawa dan sastrawan Jawa di Yogyakarta selama lima puluh tahun, dari tahun 1945 sampai 1995 dapat diumpamakan mencari jarum dalam tumpukan jerami. Artinya tidak ada dokumentasi yang pasti/teratur yang bisa dipakai sebagai sarana bagi siapa saja untuk mengetahui dunia dan aktifitas sastrawan pada masa tersebut. Setelah tahun 1945 sastra Jawa pernah diramaikan oleh karya sastra jenis “hiburan” sampai ratusan judul. Sayang setelah itu banyak penulis karya sastra tersebut yang tidak terlacak keberadaannya.

Di dunia geguritan (puisi berbahasa Jawa) keadaannya tidak jauh berbeda dengan sastra gancaran (cerkak). Artinya dari panggurit (penulis puisi) ini memang tidak ditemukan dokumennya yang pasti. Sehingga panggurit yang terhimpun dalam antologi ini kebanyakan setelah tahun 1950-an.

Alasan yang dipakai untuk menentukan karya-karya yang dimuat dalam antologi ini adalah, satu untuk “merangkum” karya pengarang Jawa selama lima puluh tahun (1945-1995), kedua bisa menggambarkan keadaan keadaan sastra Jawa di Yogyakarta selama lima puluh tahun. Dengan begitu sastra Jawa di Yogyakarta diharapkan semakin lama semakin berbobot dan berkembang.

Dalam antologi berjudul “Pesta Emas Sastra Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta” ini, tidak hanya berisi sastra Jawa modheren (geguritan dan cerkak) saja, tetapi juga macapat dan siteran, sebagai bagian dari rangkaian tradisi sastra Jawa kuna dan yang berkesinambungan dalam kontiunitas waktu. Tembang macapat dalam antologi ini tidak hanya bersumber dari teks macapat yang sudah terkenal seperti kitab babad dan kitab sastra karya pujangga masa lalu, tetapi ada juga karya sendiri. Hal ini membuktikan bahwa tradisi macapat tidak hanya hidup di dalam komunitas Jawa sebagai sastra tulis warisan, tetapi juga tetap hidup dalam dalam aktualitas kreatifitas penggemarnya.

Sebenarnya sastra Jawa (yang terbagi menjadi tiga periode jaman kuna, jaman madya, dan jaman modern) kaya sumber bahan untuk dipelajari atau dikaji dari berbagai aspek. Paling tidak, bahan-bahan yang diketemukan dalam buku ini ikut menggambarkan kembali wawasan tentang harta benda yang tersimpan dalam kitab-kitab kuna, instrumen-instrumen gamelan kuna, relief-relief candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur, kostum dan aksesori seni pertunjukan Jawa, sastra Jawa yang tidak tertulis yang tersimpan dalam hati komunitas-komunitas Jawa. Adanya teks sastra dalam perkumpulan siteran dapat menjadi tanda yang kuat dan sebagai alat adanya hubungan antara sastra dan musik dalam kesenian Jawa.

Teks atau tulisan tentang geguritan, cerita cekak, macapat dan siteran, dalam antologi ini sebenarnya adalah gambaran tentang “kehidupan” manusia, di kala senang atau susah, sedang mendapat anugerah atau pun musibah. Bila dicermati lebih dalam sesungguhnya berisi ajaran tentang budi pekerti, apa yang seharusnya dilaksanakan dan apa yang seharusnya dihindarkan dalam kehidupan sehari-hari.

Misalnya geguritan berjudul Panembah karya RM. Wisnoe Wardhana berisi ajaran tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Tembang macapat berbentuk dhandhanggula karya Rohadi Hadi Haryono dari kabupaten Bantul, berjudul Dirgahayu Indonesia, menggambarkan perjalanan bangsa Indonesia sejak jaman kerajaan-kerajaan di Nusantara sampai pemerintahan Presiden Soeharto (Orde Baru).

Tembang dalam siteran berbentuk sinom karya Ki Darman Gondodarsono yang dipetik dari Kitab Darsono Kawedar, bercerita mengenai wayang (yang penuh pitutur luhur/ajaran tentang kebaikan), sebagai gambaran manusia sejak lahir sampai mati.

Teks : M. Kusalamani


Artikel Lainnya :


Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta