Perjalanan Panjang Batik Sedari Masa Klasik
Berdasarkan periodisasi, sejarah perkembangan batik dapat dibagi menjadi tiga yaitu Masa Klasik (78-1512 M), Masa Islam (1512-1945) dan Masa Indonesia Merdeka (1945-sekarang). Perkembangan batik pada Masa Klasik menjadi dasar perkembangan batik pada masa sesudahnya.
Arca Prajnaparamita, arca perwujudan Ken Dedes,
menjadi salah satu sumber sejarah batik
Batik merupakan salah satu kekayaan budaya Bangsa Indonesia sudah diakui sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO. Pengakuan ini tentu saja tak lepas dari sejarah batik yang sudah sedemikian lama menjadi bagian dari perjalanan bangsa yang di kemudian hari bernama Indonesia.
Berdasarkan periodisasi, sejarah perkembangan batik dapat dibagi menjadi tiga yaitu Masa Klasik (78-1512 M), Masa Islam (1512-1945) dan Masa Indonesia Merdeka (1945-sekarang). Perkembangan batik pada Masa Klasik menjadi dasar perkembangan batik pada masa sesudahnya.
Untuk mengetahui sejarah perkembangan batik pada Masa Klasik mengacu pada 3 sumber pokok yaitu Prasasti, Arca dan Kitab Sastra.
Pertama Prasasti. Dari prasasti Masa Klasik yang jumlahnya puluhan, diketahui ada 3 jenis kain batik yang ada pada saat itu yaitu kalamwi haji, singhel dan wdihan. Kalamwi haji adalah pakaian yang dikenakan seorang raja maupun pemuka agama saat menghadiri upacara penetapan desa perdikan. Singhel adalah kain penutup badan yang bagian ujungnya menjuntai. Sedangkan wdihan adalah selembar kain penutup badan, yang cara memakainya mirip dengan cara memakai kain bebed.
Diantara ketiganya, wdihan memiliki corak terbanyak. Misal wdihan ganjar patra sisi, ganjar patra, ganjar haji, jaro haji, bwat kling putih, bwat pinilai, bwat lwitan, kalyaga, angsit, rangga, tapis, siwa kidang, bira, hanarawu, sulasih, yuga, suswan brat, salari kuning dsb. Dari motifnya, kita dapat mengambil contoh batik wdihan rangga misalnya , motif yang digunakan adalah ceplok bunga bakung. Kemudian wdihan sulasih menggunakan kembang kemangi sebagai motif utama.
Kain motif kawung brendi dikenakan Ken Dedes
Dari fungsinya, wdihan dapat dipilah menjadi tiga yaitu sebagai pakaian ratu, para pembesar kerajaan misalnya ganjar haji patra sisi (Prasasti Taji 901 M), ganjar patra, salari kuning (Ramwi 882 M), ganjar haji (Wuatan Tija 880 M), kalyaga (Lintakan 919 M). kemudian fungsi sebagai hadiah bagi tamu undangan saat upacara penetapan desa perdikan, misal wdihan bira (Prasasti Ratawun I 881 M), Sulasih (Lintakan 919 M), pilih angsit (Ramwi 882 M). Terakhir fungsi sesaji dalam upacara penetapan desa perdikan, misal wdihan rangga (Kwak II 879 M).
Jenis wdihan juga menjadi penanda status sosial bagi yang mengenakannya. Misal wdihan ganjar haji patra sisi penanda derajat kebangsawanan. Kemudian wdihan rangga menjadi penanda kedudukan dalam tata pemerintahan.
Adakalanya wdihan digunakan juga oleh rakyat kebanyakan, khususnya oleh rakyat yang berjasa pada raja maupun kerajaan. Juga oleh rakyat yang di desa tempat tinggalnya terdapat bangunan suci keagamaan.
Dengan kata lain penggunaan wdihan bagi rakyat kebanyakan merupakan anugerah seorang raja bagi rakyatnya. Tradisi tersebut sampai saat ini masih berlangsung di lingkungan keraton, misal menantu seorang sultan di Keraton Yogyakartadiperbolehkan mengenakan motif parang dengan ukuran kecil.
Acuan kedua sejarah batik Masa Klasik adalah Arca. Secara umum arca yang berasal dari masa klasik bisa dipilah dalam dua bagian. Satu dalam rupa arca dewa dewi seperti Arca Dewa Wishnu, Shiwa, Brahma, Dewi Sri Laksmi, Saraswati, Bodhisatwa Amitabha, Manjusri, Sudhanakumara dsb. Satunya lagi dalam rupa Arca perwujudan seorang raja yang sudah meninggal. Semacam potret diri. Misal arca Dewa Wishnu naik Burung Garuda merupakan arca perwujudan Prabu Airlangga, Arca Joko Dolog merupakan arca perwujudan Kertanegara.
Kain motif Banji Kasut dikenakan Ganesha,
patung ini asal Boro, Blitar
Dari sekian arca yang ada, kita dapat mengetahui corak batik yang dikenakan. Misal Arca Shiwa Mahadewa, arca perwujudan Anusapati Raja Singasari, berasal dari Candi Kidal Malang yang kini tersimpan di Museum Royal Tropical Institute Amsterdam. Motif kain batik yang digunakan putra Tunggul Ametung tersebut adalah motif sawunggaling. Arca Hari Hara, arca perwujudan R Wijaya, berasal dari Candi Sumberjati Blitar. Motif kain batik yang dikenakan pendiri kerajaan Majapahit tersebut adalah motif kawung brendi picis.
Arca Prajnaparamita, arca perwujudan Dyan Narishwari Ken Dedes, beberapa saat sempat menghiasi Museum Leiden. Motif kain batik yang dikenakan permaisuri Ken Arok tersebut adalah motif kawung brendi. Arca Durgamahisasuramardini asal Candi Singasari, kini tersimpan di Museum Ethnograpisch Leyden. Motif kain yang digunakan istri Dewa Shiwa saat triwikrama tersebut adalah motif kerton. Arca Ganesha dari Dusun Boro Blitar, motif yang dikenakan putra Dewa Shiwa tersebut adalah motif kawung banji kasut. Arca Sudhanakumara asal Candhi Jago Malang, kini tersimpan di Museum Nasional No Inventaris 247A. Motif kain yang digunakan adalah banji kasut.
Diantara motif tersebut ada beberapa yang masih digunakan hingga saat ini dengan perbedaan penyebutan. Misal motif sawunggaling kini lebih dikenal dengan sebutan motif kawung. Motif kerton kini lebih dikenal dengan sebutan motif truntum yang digunakan untuk keperluan upacara pernikahan.
Sumber ketiga adalah Kitab Sastra. Ada beberapa kitab sastrayang dapat digunakan sebagai acuan untuk mengetahui motif batik yang ada pada saat itu. Misal dalam kidung Harsa Wijaya, kitab sastra zaman Majapahit, disebutkan motif kain yang digunakan para bangsawan. Seperti motif Limur dikenakan oleh istri Jayakatwang. Motif gringsing, kawung, cepuk kembang dikenakan Sang Rani Dewi. Motif kadali, manjeti, gadhung, gringsing ringgit dikenakan Permaisuri R wijaya. Motif tepus dikenakan Dara Petak istri Jayanegara. Motif patrawala dikenakan Raden Galuh. Motif kampuh dikenakan Puspawati dari Singasari. Sedangkan motif kain batik yang dikenakan rakyat kebanyakan adalah motif awun-awun.
Kemudian dalam Serat Angling Darma disebutkan beberapa motif kain yang dikenakan. Seperti cindhe, cindhe jalamprang, lemur, gadhung mlati, cemukiran, winandara, bangun tulak, udaraga, kemitir, cakar ayam dan raga bali.
Kain motif kawung dikenakan R Wijaya
Dari sekian motif, baru beberapa saja yang diketahui corak penggambarannya seperti cakar ayam dengan motif ceplok, cemukiran seperti motif parang, gadhung dengan motif pohon gadhung, gringsing dengan motif sisik ikan dengan ciri titik di bagian tengahnya, kadali dengan motif pohon pisang, tepus dengan motif sulur-suluran, bangun tulak dengan motif gelang, awun-awun dengan motif hujan rintik-rintik. (*)
Nakah & foto:Hugo M Satyapara
Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net - Rumah Sejarah dan Budaya
Baca Juga Artikel Lainnya :
- Seri Alat Dapur, Klenthing Spesial Tempat Air (1)(26/07)
- Seri Alat Dapur, Parud Sebagai Pengukur Kelapa (2)(20/07)
- Seri Alat Dapur, Parud Sebagai Pengukur Kelapa (1)(06/07)
- Tampah, Alat Multi Fungsi (2) (Seri Alat Dapur)(28/06)
- Tampah, Alat Multi Fungsi (1) (Seri Alat Dapur)(13/06)
- Cething, Tempat Nasi Dihidangkan-2 (Alat Dapur-13)(20/05)
- Cething, Tempat Nasi Dihidangkan (Alat Dapur-13)(09/05)
- Kukusan, Tempat untuk Menanak Nasi (Alat Dapur-12)(29/04)
- Tempuran Sungai Bedog-Progo, di Yogyakarta, Salah Satu Petilasan Ki Ageng Mangir(25/04)
- Kendhi, Tempat Air Pelepas Dahaga (2) (Alat Dapur-11)(11/04)