Tradisi Kupatan di Saat dan Usai Lebaran

Author:kombi / Date:22-08-2013 / Tag: Ensiklopedi Upacara Adat / Upacara Adat

Tradisi Kupatan di Saat dan Usai Lebaran

Selain tradisi ketupat yang dirayakan tepat pada hari raya Lebaran, ada sebagian masyarakat yang merayakan lebaran ketupat tepat sepasar “lima hari” atau seminggu usai lebaran Hari Raya Idul Fitri. Lebaran ketupat yang dilaksanakan usai hari Lebaran, sering disebut “Bakda Kupat” atau “Bakda Cilik”.

Tradisi Ketupat di Saat dan Usai Lebaran, foto: Suwandi/Tembi
Suasana jual-beli selongsong ketupat di Pasar Bunder Sragen

Umumnya, tradisi ketupat dirayakan saat Lebaran tiba, di hari Raya Idul Fitri, pada hari pertama dan kedua. Pada saat itu, sebagian masyarakat Nusantara, seperti di Yogyakarta, menikmati lebaran ketupat. Hampir di setiap keluarga yang merayakannya, hidangan utama di hari itu adalah ketupat, yang dipadukan dengan hidangan lain, seperti opor ayam, sambal goreng, ayam goreng, rendang, kerupuk, dan lain sebagainya. Ketupat, kiranya tidak pernah absen di hari Lebaran itu. Makanya, Lebaran identik dengan menu ketupat.

Tentu, sebelum merayakan lebaran ketupat, masyarakat berbondong-bondong membeli selongsong ketupat untuk dijadikan menu ketupat. Selongsong ketupat dijual di pasar-pasar tradisional, di sekitar pasar maupun di jalan-jalan protokol menuju pasar-pasar tradisional. Sebagian warung-warung tradisional juga banyak yang menjual selongsong ketupat. Selongsong ketupat itu dijual dua hari atau sehari menjelang Lebaran. Harga selongsong ketupat biasanya dijual rata-rata Rp 7.000 per 10 buah. Sementara menu ketupat biasanya dibuat sendiri.

Tidak semua masyarakat dan keluarga yang merayakan lebaran ketupat bisa membuat selongsong ketupat sendiri. Selain itu, tidak semua dari mereka itu juga memiliki pohon kelapa tempat tumbuh daun muda bahan utama selongsong ketupat atau yang disebut janur. Maka langkah efektif satu-satunya adalah dengan cara membeli di pasar tradisional. Memang menjelang lebaran ketupat, banyak masyarakat pedesaan yang mempunyai bahan baku janur dan memiliki kemampuan membuat selongsong ketupat berbondong-bondong menuju kota untuk memenuhi kebutuhan selongsong ketupat bagi masyarakat kota.

Ada beberapa pilihan bentuk dan nama ketupat yang dikenal masyarakat Jawa dan Nusantara lainnya, seperti ketupat sinta, ketupat luwar, ketupat tumpeng, dan ketupat bata. Masing-masing daerah biasanya memiliki nama sendiri. Semakin banyak variasi yang bisa dibuat oleh penjual selongsong ketupat, biasanya akan semakin laris, karena pembeli akan mempunyai banyak pilihan. Ketupat Luwar bentuknya agak lonjong. Sementara ketupat sinta bentuknya seperti layang-layang, ketupat bata bentuknya kotak, dan ketupat tumpeng, bentuknya seperti gunung. Setiap penjual biasanya sudah hafal dengan nama –nama selongsong ketupat.

Usai membeli selongsong ketupat, setiap warga masyarakat yang merayakan Lebaran kemudian sibuk membuat nasi ketupat. Selongsong ketupat biasanya diisi dengan beras yang sudah “dipususi” atau dibersihkan. Agar nasi ketupat bisa lebih awet tidak basi dan agak keras, ada sebagian masyarakat yang memberinya dengan sedikit “enjet” atau air kapur. Dengan ramuan ini, nasi ketupat bisa awet 3 hari dalam posisi digantungkan atau diangin-anginkan. Selongsong ketupat yang sudah diisi dengan separo beras, kemudian dimasak hingga 1 jam lebih hingga matang. Tandanya selongsong ketupat sudah terisi penuh nasi dan lunak saat ditusuk atau ditekan.

Tradisi Ketupat di Saat dan Usai Lebaran, foto: Suwandi/Tembi
Selongsong ketupat siap dijual

Seperti diuraikan di atas tiap daerah memiliki menu beraneka ragam dan berbeda-beda. Ada yang dipadukan dengan menu sambal goreng, opor ayam, rendang, ayam goreng, telur, dan krupuk. Ada pula yang dipadu dengan menu makanan lainnya, yang disesuaikan dengan tradisi kuliner masing-masing daerah.

Selain tradisi ketupat yang dirayakan tepat pada hari raya Lebaran, ada sebagian masyarakat yang merayakan lebaran ketupat tepat sepasar “lima hari” atau seminggu usai lebaran Hari Raya Idul Fitri. Seperti yang terjadi di Karesidenan Surakarta yang meiliputi wilayah Kota Surakarta, Klaten, Sragen, Wonogiri, Karanganyar, Boyolali, dan Sukoharjo. Di daerah ini, lebaran ketupat yang dilaksanakan usai hari Lebaran, sering disebut “Bakda Kupat” atau “Bakda Cilik”. “Bakda Kupat” artinya Lebaran Ketupat, sementara “Bakda Cilik” artinya “Lebaran Kecil”.

Bakda Cilik bagi masyarakat di Karesidenan Surakarta dilaksanakan pada hari ke-5 hingga ke-7 usai Lebaran. Di berbagai daerah tersebut, banyak anggota masyarakat yang menjual selongsong ketupat. Begitu pula banyak masyarakat yang membeli untuk melakukan tradisi “bakda kupat” atau “bakda cilik”.

Banyak warga masyarakat yang masih merayakan “bakda kupat” ini, walaupun boleh dikatakan tidak seramai masyarakat yang merayakan lebaran ketupat di hari pertama Idul Fitri.

Masyarakat di Karesidenan Surakarta yang merayakan “bakda cilik” membuat ketupat yang dipadukan dengan masakan lain juga, seperti sambal goreng, opor ayam, ayam goreng, rendang, dan krupuk. Bahkan kadang terbiasa ditambah dengan bubuk kedelai hitam. Dalam menyajikan, bubuk kedelai hitam ditaburkan di nasi ketupat yang telah penuh dengan kuah opor ayam dan sambal goreng. Menu ketupat ini biasanya disantap dan dinikmati oleh anggota keluarga dan tamu yang merayakan lebaran ketupat.

Ada kebiasaan bagi masyarakat setempat di masa lalu, saat merayaan lebaran ketupat, sebagian ketupat yang telah masak, tidak semuanya dijadikan hidangan makan, akan tetapi untuk sesaji bagi arwah leluhurnya. Dengan cara, ketupat-ketupat yang baru saja turun dari dandang ini digantungkan di kanan kiri semua pintu rumah. Masing-masing tempat digantungkan sebuah atau dua buah ketupat. Usai didiamkan sehari semalam, ketupat-ketupat itu ada yang kemudian dijadikan santapan makan, ada juga yang tetap digantungkan hingga beberapa hari kemudian, lalu dibuang.

Nah itulah kepercayan bagi warga setempat yang merayakan “bakda kupat” seminggu sesudah Idul Fitri, khususnya di daerah Karesidenan Surakarta pada zaman dulu.

Suwandi

Ensiklopedi Upacara Adat Source Link: Jakarta

Latest News

  • 16-07-14

    Denmas Bekel 16 Juli

    more »
  • 16-07-14

    Dapur Empu Keris di

    Pembuatan foto ini merupakan upaya yang brilian dari sang fotografer atau pemrakarsanya sebagai bentuk pendokumentasian akan sebuah fenomena unik... more »
  • 16-07-14

    Penyair Pesantren Ta

    Para penyair muda pondok pesantren ini tidak hanya membaca puisi, tetapi yang menarik mereka menggarap puisi dengan musik terbangan, yang mereka... more »
  • 15-07-14

    Jembatan Neco, Salah

    Pembuatan jembatan konstruksi baja yang dipindahkan dari Manding itu sendiri tidak atau belum diketahui dengan pasti. Kemungkinan pada zaman kolonial... more »
  • 15-07-14

    Damas Sangaji Bertan

    Dengan karya, saya ingin menanyakan akan ‘kepekaan’ rasa kepada setiap orang yang melihat karya saya. Apakah kadar ‘kepekaan’ dari setiap orang yang... more »
  • 15-07-14

    Lading, Si Peracik B

    PJ Zoelmulder mendasarkan pada cuplikan teks yang bersumber pada naskah Abhimanyuwiwaha (AbhW) 30.13 yang berbunyi “…hana kadhuwak caluk badhama len... more »
  • 15-07-14

    Slamet Riyadi Sabraw

    Slamet Riyadi Sabrawi memang sudah lama bergelut dengan puisi. Pada masa mudanya, ketika dia masih sebagai mahasiswa Kedokteran Hewan di UGM, Slamet... more »
  • 14-07-14

    Meracik Acara Museum

    Banyak mahasiswa hadir dalam seminar “Museumisme” ini karena dimeriahkan komedian yang sekarang baru digandrungi anak muda yaitu Ge Pamungkas, dan... more »
  • 14-07-14

    Runtuhnya Hindia Bel

    Judul : Runtuhnya Hindia Belanda  Penulis : Onghokham  Penerbit : Gramedia, 1989, Jakarta  Bahasa : Indonesia  Jumlah... more »
  • 14-07-14

    Pidato Kebudayaan Pa

    Meski secara formal ia pensiun dari majalah Suara Muhamadiyah, tetapi Mustofa masih aktif sebagai redaksi di majalah kebudayaan ‘Sabana’. Mustofa pun... more »