Deru Ugo Untoro di Taman Budaya Yogya

Ugo melakukan eksplorasi atas penemuan dan penaklukan manusia atas kuda menjadi kendaraan, yang bisa dikatakan sebagai titik awal revolusi manusia atas diri dan kebudayaannya.

‘Deru’ seni rupa karya Ugo Untoro dipamerkan di Taman Budaya Yogya pada acara Biennale Jogja XII, Equator#2, foto: Ons Untoro
Deru, karya Ugo Untoro

Beberapa pasang kaki kuda menempel di langit-langit ruang pamer Taman Budaya Yogyakarta, jl Sriwedari 1, Yogyakarta. Visual kaki kuda itu diberi judul ‘Deru’ karya Ugo Untoro, yang dipamerkan dalam Biennale Jogja XII ‘Equator #2’, yang berlangsung dari 16 November 2013 – 6 Januari 2013.

Melalui visual kaki kuda, Ugo Untoro melakukan eksplorasi ‘jejak’ kendaraan yang tangguh pada suatu masa yang lalu. Ugo membayangkan deru ribuan kaki kuda seperti suara panser. Pada masa lalu, kuda merupakan kendaraan perang pasukan.

Imajinasi Ugo Untoro memang sangat liar sehingga melihat karya Ugo, selalu seperti diajak ‘melompati’ waktu sekaligus ruang. Dalam berkarya, Ugo tidak berhenti dalam satu ruang, tetapi melompati ruang-ruang, sehingga kita diajak untuk membuka ruang imajinasi kita.

Dalam katalog dijelaskan bahwa melalui karya berjudul ‘Deru’, Ugo melakukan eksplorasi atas penemuan dan penaklukan manusia atas kuda menjadi kendaraan, yang bisa dikatakan sebagai titik awal revolusi manusia atas diri dan kebudayaannya.

“Dengan kuda-kuda yang cepat, gesit, dan tangguh, manusia mulai mengubah dunia, menaklukkan wilayah-wilayah yang belum dikenal. Kebudayaan lahir dan musnah, silih berganti. Mata rantai perubahan menaklukkan dan menguasai,” tulisanya pada katalog.

Tajuk pameran Biennale Jogja XII Equator#2 ialah ‘Not a dead end’ (bukan jalan buntu), dan sekaligus untuk menandai perjumpaan Indonesia dengan kawasan Arab. Mengawali catatan kuratorialnya, Agung Hujatnikajennong, menuliskan:

“Salah satu metafor yang bisa saya tangkap dari konsep Biennale Jogja seri Equator adalah ‘perjalanan’. Tahun ini, Biennale Equator singgah di negara-negara Arab, tetapi selama tujuh tahun ke depan, ia masih akan terus ke Barat, singgah dari satu kawasan ke kawasan lainnya”.

Bagi Agung, istilah ‘Arab’ sekilas berpotensi menyediakan pilihan jalan masuk yang menarik. Akan tetapi, ternyata cukup sulit untuk menarik hubungan yang jelas terkait praktik seni rupa kontemporer antara kedua kawasan.

“Sepanjang riset saya, tak ada satu pun dokumentasi atau informasi tentang kegiatan yang memperlihatkan hubungan historis antara medan seni rupa Indonesia dengan kawasan Arab,” kata Agung Hujatnikajennong.

100 Moving Numbers karya Syagini Ratna Wulan dipamerkan di Taman Budaya Yogyakarta pada acara Biennale Jogja XII, Equator#2, foto: Ons Untoro
100 Moving Numbers, karya Syagini Ratna Wulan

Selain Ugo Untoro, tiga perupa lainnya yang memajang karyanya, ialah Samuel Indratma, Restu Ratnaningtyas dan Syagini Ratna Wulan, semuanya dari Indonesia. Perupa lainnya, memajang karya di venue Biennale seperti Jogja Nasional Museum di Jalan Amri Yahya 1; Langgeng Gallery, di Jalan Suryodiningratan 37; Sarang Building, Dusun Kalipakis, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul; dan Honfablab, jl Tamansiswa 59.

Syagini Ratna Wulan, menyajikan karya yang berjudul ‘100 Moving Numbers’. Dalam karya ini, ia mengajak para pemirsa untuk turut serta bermain-main, memberikan kartu pos-kartu pos bernomor dan 100 karakter membimbing jalan mereka, untuk menciptakan narasi sendiri.

Karya Syagini ini menyajikan seratus buah loker berwarna putih berisi berbagai obyek seni berbeda serta instalasi yang menggambarkan jukstaposisi antara angka dengan istilah-istilah dalam eksistensialisme.

“Syagini bermain-main dengan berbagai asosiasi kata-kata, angka-angka dan benda-benda dan membiarkan penontonnya melakukan performans dari satu lokasi pameran ke lokasi lainnya,” tulis Agung dalam katalog.

Ruang pamer Taman Budaya Yogyakarta tidak terlalu padat karya seni, karena memang hanya menampilkan karya dari empat perupa. Dari karya ini kita bisa mengamati sekaligus menelusuri gejala seni rupa di Yogya yang terus mengembangkan diri, bukan hanya dari segi teknis, melainkan juga dari segi visual.

Naskah & foto:Ons Untoro



Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net - Rumah Sejarah dan Budaya


Baca Juga Artikel Lainnya :




Radio KombiRadio Kombi [ ON AIR ] Sign Up| Lost Password
What is Kombi?
Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta