Lambang Kotapraja di Hindia Belanda Awal Abad ke-19

18 Mar 2016 Berikut ini adalah lambang dari sejumlah kotapraja di Hindia Belanda, yaitu Batavia, Soerabaja, Semarang, Makassar, Medan, Padang, Amboina, Manado, Palembang, Bandoeng, Malang, Buitenzorg (Bogor), Cheribon (Cirebon), Magelang, Madioen, Pasoeroehan, Blitar, dan Salatiga. Lambang tersebut dalam bahasa Belanda disebut “wapen” atau “wapens” (jamak).

Lambang-lambang ini terdapat dalam buku Geillustreerde Encyclopaedie van Nederlands-Indie yang diterbitkan di Leiden, Belanda, pada tahun 1934 oleh NV Leidsche Uitgeversmaatschappij. Buku disusun oleh GFE Gonggrijp  (pernah menjadi gubernur Sumatera Barat)  bersama 5 orang lainnya yakni W.K. Boogh (kapiten infanteri KNIL), EA Douglas (insinyur kepala tambang batu bara Bukit Asam), GJ du Merchie Sarvaas (pernah menjadi residen dan inspektur Jawatan Agraria dan Rodi), A. Neijtzell de Wilde (pernah menjabat sebagai ketua Volksraad, dan J Th Petrus Bloomberger (pernah menjabat sebagai asisten residen).

Mungkin lambang kotapraja ini tidak dikenali lagi di zaman sekarang. Gambarnya pun tidak, apalagi makna dari lambang-lambang tersebut. Salah satu contoh lambang dari kotapraja Semarang ternyata berhubungan dengan Perang Diponegoro (1825-1830). Wapen berbentuk perisai ini menggambarkan wanita bergaun putih dengan tangan kirinya memegang sauh (jangkar) sementara tangan kanannya memegang kepala singa yang tengah menjulurkan lidah. Lambang ini ditetapkan oleh Gubernur Jenderal Du Bus de Gisignies pada tanggal 29 Mei 1827.

Lambang kotapraja Semarang ini dimaksudkan sebagai tanda penghargaan bagi pasukan sipil dan sukarelawan dalam perang melawan Pangeran Diponegoro. Demikian seperti yang dituliskan oleh Drs P Swantoro dalam bukunya “Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu,” Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2002. Gambar singa melambangkan negara Belanda (sekalipun Belanda tak punya habitat singa ). Singa di sini melambangkan kekuasaan dan keagungan raja. Di sisi bawah lambang itu dituliskan semboyan dalam bahasa Prancis dan Belanda: “Je Maintiendrai-Ik zal handhaven”, saya akan mempertahankan (membela).

Gambar lambang-lambang kotapraja ini ternyata menjadi tonggak yang sangat penting bagi seorang anak kecil, P Swantoro, yang kala itu masih duduk di bangku Sekolah Rakyat. Keterpikatannya pada gambar itu mendorong dia untuk lebih banyak mengetahui dan belajar sesuatu yang berkaitan dengannya hingga melebar menjadi keingintahuan yang besar pada sejarah budaya bangsanya dan dunia. Mungkin hal ini pulalah yang kemudian menjadikan dirinya sebagai sejarawan sekaligus wartawan di kelak kemudian hari.

Lambang kotapraja ini barangkali menjadi semakin menarik jika kita bandingkan dengan lambang-lambang kabupaten/kota di Indonesia yang ada sekarang. Di samping gambar/logonya berbeda, tentu saja makna filosofi (simbol) yang terkandung di dalamnya juga berbeda. Akan tetapi dengan mengetahui hal itu kita bisa membandingkan dan menarik sejumlah kesimpulan yang mungkin kemudian menjadi bekal bagi kita untuk semakin cerdas, bijaksana, sekaligus arif.

Historia docet pada intinya memang menjadi hakikat dari belajar tentang sejarah. Selain itu, seperti yang dituliskan P Swantoro dalam buku ini: “In het heden ligt het verleden, in het nu wat komen zal.” (Di masa kini terletak masa lalu, di masa sekarang terkandung masa depan). Tidak meleset pula jika Tembi Rumah Budaya pun memiliki semacam semboyan: Masa lalu selalu aktual.

a.sartono

Gambar lambang kotapraja di Hindia Belanda, difoto dari buku karya P. Swantoro, Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu, terbitan Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2002, difoto: Jumat, 11 Maret 2016, foto: a.sartono EDUKASI

Baca Juga

Artikel Terbaru

  • 22-03-16

    Ajaran Luhur dalam S

    Pendidikan budi pekerti bagi masyarakat Jawa menjadi hal yang penting dan diprioritaskan. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya serat Jawa dan buku... more »
  • 22-03-16

    Berekspresi dan Bere

    Bagi anak-anak, musik merupakan hal yang sangat melekat dan identik dengan keceriaan. Tak sedikit orangtua yang memperkenalkan musik sejak dini,... more »
  • 21-03-16

    Pergantian Pengurus

    Pergelaran wayang kulit semalam suntuk hasil kerja bareng Tembi Rumah Budaya dengan paguyuban dalang muda Sukra Kasih kembali dilakukan pada hari... more »
  • 21-03-16

    Serba Ikan dengan Na

    Selain Es Timun Ijem dan Es Timun Emas, pada bulan Maret 2016 ini Warung Dhahar Pulo Segaran Tembi Rumah Budaya juga menawarkan menu promo serba ikan... more »
  • 21-03-16

    Sastra Bulan Purnama

    Sastra Bulan Purnama edisi ke-54 akan melaunching antologi puisi ‘Negeri Laut’, yang menampilkan 175 penyair dari berbagai daerah di Indonesia.... more »
  • 19-03-16

    Napi Perempuan Memba

    Kita sudah terbiasa melihat penyair membaca puisi. Tapi, rasanya, kita jarang, atau mungkin belum pernah, melihat napi –narapidana--, lebih-lebih... more »
  • 19-03-16

    Selasa Legi Hari Tid

    Pranatamangsa masuk mangsa Kasanga (9), umurnya 25 hari, mulai 1 s/d 25 Maret, curah hujan mulai berkurang. Masa birahi anjing dan sejenisnya.... more »
  • 19-03-16

    Wisrawa (2): Dewi Su

    Begawan Wisrawa yang kemudian menduduki tahta, karena menjadi suami Dewi Lokawati sang pewaris tahta, sangat menyadari posisinya. Bahwa dirinya... more »
  • 19-03-16

    Pameran Temporer Yog

    Yogyakarta pernah menjadi Ibukota Negara Republik Indonesia selama kurang lebih 4 tahun (4 Januari 1946—27 Desember 1949). Selama itu pula,... more »
  • 18-03-16

    Warna-Warni Seribu T

    Ini memang bukan topeng tradisi, yang “pakemnya” sudah dikenali, misalnya topeng Cirebon dan seterusnya. Tapi merupakan topeng kreasi karya murid-... more »