Keris sebagai Warisan Budaya Dunia
Author:editorTembi / Date:20-11-2014 / Keris bukan hanya unggul pada sisi fisik dan teknologi metalurgi, namun juga dalam di sisi filosofinya. Mengenakan keris dengan berbagai posisi pun memiliki nilai-nilai simbolik tersendiri.
Pembicara dan moderator dalam Yogya Semesta seri ke-72, dari kiri Ki Juru Bangunjiwa,
Ir. Herman Suparno, Ir. Nino Guritno, GBPH. H. Drs. Yudhaningrat,
Martha Sasongko, dan Hari Dendi
Keris telah menjadi bagian dari warisan budaya dunia berdasarkan pengakuan UNESCO sebagai The Masterpiece of the Oral and Intangible of Humanity pada tanggal 25 November 2005. Pengakuan dari UNESCO itu hendaknya mendorong masyarakat perkerisan Indonesia untuk berpartisipasi melestarikannya. Dalam rangka itu pula Komunitas Budaya Yogya Semesta menggelar diskusi budaya dengan tema Mangayubagya Keris Indonesia sebagai Karya Adiluhung Warisan Kemanusiaan, Dialog Budaya dan Gelar Seni “Yogya Semesta” Seri ke-72. Seperti biasa, diskusi dilaksanakan di Pendapa Wiyatapraja, Kompleks Kepatihan, Danurejan, Yogyakarta, beberapa waktu lalu.
Diskusi menghadirkan narasumber antara lain GBPH. H. Drs. Yudhaningrat, MM., Ir. Herman Suparno, Ki Juru Bangunjiwa (Sugeng Wiyono), dan Ir. Nino Guritno dengan moderator Hari Dendi dan Martha Sasongko. Acara tersebut juga dimeriahkan dengan pergelaran Ensamble Musik Gesek IENA dengan pimpinan dan music director, Wisnu Samudra yang menghadirkan repertoar The Piece Warrior diiringi Tari Balet “Keris” yang melibatkan 15 orang prajurit TNI Korem-072 Pamungkas, Empowering Light, Mahameru, The Thousanda Padma’s, The Golden Wall, dan beberapa repertoar lain.
Tari Balet “Keris” dari 15 orang prajurit TNI Korem-072 Pamungkas
ikut memeriahkan diskusi Yogya Semesta seri-72
Semangat pelestarian keris Indonesia perlu terus dilakukan bukan dengan alasan karena ada penghargaan dari UNESCO, namun karena kesadaran diri bahwa keris mengandung nilai-nilai luhur, karya luar biasa dari bangsa Indonesia.
Keris memiliki nilai seni tinggi dan diciptakan dengan teknologi tinggi yang dimiliki oleh para empu. Keris juga merupakan simbol nilai peradaban. Keris dibuat sejak berabad-abad yang lampau (diperkirakan sejak abad ke-7 Masehi) dan terus hidup hingga kini dan menjadi bagian identitas atau simbol peradaban masyarakat pendukungnya. Selain itu, keris juga mempunyai nilai sosial tinggi, nilai politis, dan juga nilai ekonomis.
Secara khusus GBPH. H. Yudhaningrat menyatakan bahwa keris merupakan bagian dari kelanjutan budaya adiluhung yang wajib dilestarikan. Selain itu, ada empat cara pandang terhadap keris menurut Gusti Yudha, yakni keris untuk pisowanan, keris untuk acara mirunggan, keris sebagai warisan, dan keris sebagai barang yang diperjualbelikan.
Peserta diskusi Yogya Semesta seri ke-72
Keris untuk pisowanan biasanya adalah keris pusaka yang terbaik yang dimiliki oleh seseorang. Sedangkan keris untuk acara mirunggan (khusus/tertentu) dapat dicontohkan misalnya keris untuk perang atau ijab adalah keris yang memang dikhususkan untuk keperluan tersebut. Misalnya Kanjeng Kyai Kopek adalah keris yang sering disimbolkan sebagai wakil atau sosok yang dapat menggantikan kehadiran raja Yogyakarta. Sementara keris sebagai warisan adalah keris yang diterima seseorang dari orang lain (orang tua/leluhur) keberadaannya wajib dipelihara/dirawat. Sedangkan keris sebagai barang yang diperjualbelikan adalah keris yang memang keberadaannya dipandang sebagai barang yang dapat dijual dan dibeli dengan nilai tertentu berdasarkan kesepakatan.
Keris demikian erat kaitannya dengan kultur Jawa karena di dalamnya menyimpan nilai-nilai filosofi, rentang sejarah, keunggulan teknologi, estetika, etika, dan lain-lain. Secara filosofis konsep manunggaling kawula Gusti tertera dalam ungkapan curiga manjing warangka, warangka manjing curiga. Segala wujud visual dari keris entah itu warangka, pamor, dhapur, luk, ricikan, deder, mendhak, pendhok, ganja, bahkan kayu yang digunakan untuk membuat warangka, mengandung nilai filosofi yang dalam.
pengisi acara diskusi Yogya Semesta ke-72
Jadi, keris bukan hanya unggul pada sisi fisik dan teknologi metalurgi, namun juga dalam di sisi filosofinya. Mengenakan keris dengan berbagai posisi pun memiliki nilai-nilai simbolik tersendiri. Hal inilah yang membedakan keris dengan pedang, pisau, belati, dan lain-lain.
Naskah dan foto: A. Sartono
Berita budayaLatest News
- 24-12-14
Rumah Kebangsaan. Da
KRT Jayadipura adalah salah satu tokoh gerakan kebangsaan. Karena itu, tidak heran apabila dalem Jayadipuran sering dipakai untuk pertemuan atau... more » - 24-12-14
Cuplikan dari Festiv
Kirab atau pawai ini merupakan awal atau pembukaan Festival Seni Budaya Klasik yang diselenggarakan oleh Pura Paku Alaman pada tanggal 17-20 Desember... more » - 23-12-14
Gladhen Tembang Maca
Pada Gladhen 22 ini tembang yang dipakai untuk belajar adalah tembang Asmarandana yang dilagukan dengan notasi Slobok. Sedangkan teks tembang,... more » - 23-12-14
Pembacaan Puisi untu
Jalan menuju Desa Kedunggubah sedikit terjal, dan terasa agak terpencil, jauh dari pusat kota. Jalann menuju desa bukan hanya berlubang, tetapi juga... more » - 23-12-14
Pameran Tunggal Visu
Bulan Desember 2014 ini Ong ditantang untuk berpameran tunggal oleh Bentara Budaya Yogyakarta, yang sempat membuat dirinya ragu-ragu, antara meng-iya... more » - 22-12-14
Ini Buku Akutansi Za
Perpustakaan Tembi, yang terbuka untuk umum, menyimpan buku kuno ini yang berisi tentang pengantar ilmu dagang. Istilah sekarang akuntansi. Buku... more » - 22-12-14
“Kecubung Pengasihan
Perkumpulan Seni Nusantara Baca (PSBN) menggarap cerpen karya Danarto itu menjadi sebuah pertujukan, yang memadukan antara musik, alunan dan... more » - 22-12-14
Tangis Gandrik dalam
Lakon Tangis yang merupakan naskah karya almarhum Heru Kesawa Murti yang berjudul Tangis, memang menyuguhkan kritik sosial tentang pusaran tipu-tipu... more » - 20-12-14
Denmas Bekel 20 Dese
more » - 20-12-14
Sothil, Teman Setia
Sothil sendiri dalam proses menggoreng berfungsi untuk membolak-balik lauk yang digoreng agak matangnya merata dan tentu saja agar tidak gosong.... more »