Home, Ruang Kreasi I Wayan Upadana
Author:editorTembi / Date:08-11-2014 / Dalam konteks karya Wayan, Home bukan hanya rumah tinggal, tetapi merupakan suatu ruang yang saling terpisah, tetapi masing-masing memberi energi kreatif pada Wayan, sehingga dimanapun dia tinggal di satu ruang, dia merasa akan bertemu di ruang lain lagi.
Feel’s Like In Paradise
“Home”, merupakan tajuk pameran seni rupa karya I Wayang Upadana, yang diselenggarakan pada 1-8 November 2014 di Bentara Budaya, Jl. Suroto 2, Kotabaru, Yogyakarta. Beberapa karya Wayan dihadirkan yang semuanya menyajikan kisah, secara samar-samar, apa yang dimaksud sebagai hilangnya ‘Home’.
Dalam konteks karya Wayan, Home bukan hanya rumah tinggal, tetapi merupakan suatu ruang yang saling terpisah, tetapi masing-masing memberi energi kreatif pada Wayan, sehingga dimanapun dia tinggal di satu ruang, dia merasa akan bertemu di ruang lain lagi.
Maka, Bali sebagai ruang, dalam diri Wayan tak dilepaskan dari Yogya sebagai ruang. Keduanya memberi dukungan pada Wayan Upadana, dan kontribusi setiap ruang pada karya Wayan memiliki tekanan yeng berbeda-beda.
Dengan demikian, sesungguhnya Wayan Upadana tidak bisa meninggalkan home, karena dimanapun dia melaju, artinya dia memasuki satu home ke home yang lain, dan dia akan menemukan home yang lain lagi. Maka, pameran yang dia lakukan, adalah bentuk dari pemberhentian pada satu ruang, di mana Wayan dan relasinya bisa saling berinteraksi, di satu ruang, yang dia sebut sebagai home.
Pada karya yang berjudul”feel’s Ini Paradise’, yang menyajikan visual dua ekor babi, warna pink, sedang santai di satu ruang, yang bagi babi mungkin keseharian, tapi ruang itu, yang kita kenali sebagai wastafel, bukan ruang milik babi. Karyanya terasa sarkastis karena dua ekor babi sedang duduk santai di wastafel, laiknya di kolam renang: wajah Bali kini.
Silence Proses
Atau juga karya lain, yang diberi judul ‘Silence Proses’, menyajikan visual seorang laki-laki yang sedang duduk dalam posisi meditasi. Kepala orang mengenakan topeng, dan di dadanya, ada satu ruang kecil, yang memberikan kisah dinamika kehidupan, mungkin maksudnya ruang hati manusia, tempat ‘silence proses’ terus berlangsung.
Sujud Danarto, yang memberi pengantar pada katalog, melihat dua ruang saling berinteraksi dalam karya Wayan Upadana, ialah ruang sakral dan profran. Dalam kata lain, ‘home’, pada tajuk pameran bukan sekadar wilayah profan, melainkan bisa saling ulang-alik antara keduanya.
Di Bali, Wayan setiap hari akan menemukan dua ruang saling bertemu dan tumpang tindih, ialah ruang sakral dan profran. Pada rumah tempat tinggal orang Bali, selalu tersedia ruang sakral untuk berdoa, tetapi kapan berjalan dalam beberapa langkah ke luar rumah, orang Bali akan bersentuhan dengan ruang profan. Dari dua ruang ini, agaknya Wayan membangun kisah karyanya dan dipamerkan serta diberi tajuk “home’.
Sujud menuliskan bahwa Upadana adalah individu sosial yang hidup dalam budaya sehari-hari di Bali. Dari ruangnya yang personal, Upadana mengekspresikan situasi ambang profan dan sakral. Dalam situasi ambang ini, seseorang nyaris tidak memiliki pilihan. Bukan hanya cara komunikasi yang diambil alih oleh bahasa pariwisata, namun juga cara pandang yang mengesensikan Bali pada situasi yang tidak kurang lebih sama saat era Pitamaha.
“Sebuah neo-firdaus Bali dengan berbagai ekspresi artifisialnya. Upaya untuk pulang ke ‘rumah’ yang dibayangkan Upadana barangkali tidak akan pernah bisa. Yang kini ia lakukan adalah melakukan sebuah ungkapan meditatif, dari batas ambang sakral dan profan dengan bahasa seni,” kata Sujud Danarto, kurator seni rupa.
Silence Journey
Dalam kata lain, melalui pameran yang diberi tajuk ‘Home’, Wayan Upadana menggulirkan kegelisahan mengenai ruang, di mana dia membangun kreativitas sekaligus menjalankan aktivitas religi, sudah bergeser sangat jauh, ‘Home’ tidak lagi rumah tempat dia, atau orang Bali pulang, tetapi justru ‘tempat orang asing’ menikmati hidup.
Maka, melalui karya seni rupa Wayan Upadana menyajikan kisah guguatan. Tidak heroik memang, tetapi nada gugatan itu sangat terasa.
Naskah dan foto: Ons Untoro
Berita budayaLatest News
- 24-12-14
Rumah Kebangsaan. Da
KRT Jayadipura adalah salah satu tokoh gerakan kebangsaan. Karena itu, tidak heran apabila dalem Jayadipuran sering dipakai untuk pertemuan atau... more » - 24-12-14
Cuplikan dari Festiv
Kirab atau pawai ini merupakan awal atau pembukaan Festival Seni Budaya Klasik yang diselenggarakan oleh Pura Paku Alaman pada tanggal 17-20 Desember... more » - 23-12-14
Gladhen Tembang Maca
Pada Gladhen 22 ini tembang yang dipakai untuk belajar adalah tembang Asmarandana yang dilagukan dengan notasi Slobok. Sedangkan teks tembang,... more » - 23-12-14
Pembacaan Puisi untu
Jalan menuju Desa Kedunggubah sedikit terjal, dan terasa agak terpencil, jauh dari pusat kota. Jalann menuju desa bukan hanya berlubang, tetapi juga... more » - 23-12-14
Pameran Tunggal Visu
Bulan Desember 2014 ini Ong ditantang untuk berpameran tunggal oleh Bentara Budaya Yogyakarta, yang sempat membuat dirinya ragu-ragu, antara meng-iya... more » - 22-12-14
Ini Buku Akutansi Za
Perpustakaan Tembi, yang terbuka untuk umum, menyimpan buku kuno ini yang berisi tentang pengantar ilmu dagang. Istilah sekarang akuntansi. Buku... more » - 22-12-14
“Kecubung Pengasihan
Perkumpulan Seni Nusantara Baca (PSBN) menggarap cerpen karya Danarto itu menjadi sebuah pertujukan, yang memadukan antara musik, alunan dan... more » - 22-12-14
Tangis Gandrik dalam
Lakon Tangis yang merupakan naskah karya almarhum Heru Kesawa Murti yang berjudul Tangis, memang menyuguhkan kritik sosial tentang pusaran tipu-tipu... more » - 20-12-14
Denmas Bekel 20 Dese
more » - 20-12-14
Sothil, Teman Setia
Sothil sendiri dalam proses menggoreng berfungsi untuk membolak-balik lauk yang digoreng agak matangnya merata dan tentu saja agar tidak gosong.... more »