Para Senior Baca Puisi di Rumah Nasirun

05 Jun 2015

Pada acara ‘Kebangkitan Penyair Senior’ di rumah perupa Nasirun, di Kasongan, Kasihan, Bantul, baru-baru ini, yang tampil adalah para penyair yang aktif sejak masa Persada Studi Klub, sehingga batasan senior menjadi terasa jelas, usia lebih dari 60 tahun, atau mendekati 60 tahun.

Di Yogyakarta masih ada banyak penyair senior yang tak berhenti menulis puisi, bahkan sudah menerbitkan sejumlah antologi puisi. Penyair senior ini bisa dilihat dalam dua generasi, yaitu penyair yang menulis puisi awal tahun 1970-an dan penyair yang menulis puisi awal tahun 1980-an.

Pada generasi penyair yang aktif awal tahun 1970-an, atau setidaknya ketika Orde Baru mulai melangkah tahun 1967, kebanyakan aktif di komunitas yang dikenal dengan nama Persada Studi Klub. Penyair sesudahnya aktif menulis puisi awal tahun 1980-an, yang pada saat itu media cetak memberi ruang sastra, khususnya puisi dan cerpen, untuk memajang karya-karya penyair yang mulai tumbuh.

Pada acara ‘Kebangkitan Penyair Senior’ di rumah perupa Nasirun, di Kasongan, Kasihan, Bantul, Yogyakarta, baru-baru ini, yang tampil adalah para penyair yang aktif sejak masa Persada Studi Klub, sehingga batasan senior menjadi terasa jelas, usia lebih dari 60 tahun, atau mendekati 60 tahun. Penyair seperti Teguh Ranusatro Asmara sudah berumur 70 tahun. Iman Budhi Santosa sekarang berusia 66 tahun. Sutirman Eka Ardana, dan Slamet Riyadi Sabrawi bermur 62 tahun, yang lebih muda dan memasuki 60 tahun Mustowa W Hasyim dan Wadie Mahaarif.

Para penyair senior tersebut, secara bergantian membaca satu atau dua puisi, berupa puisi baru, atau bukan puisi lama yang ditulis tahun 1970-an atau 1980-an. Slamet Riyadi Sabrawi misalnya, membaca puisi dengan judul ‘Kampret’. Sutirman Eka Ardana, Mustowa dan Wadie, masing-masing membaca 2 puisi.

Iman Budhi Santosa tidak membaca puisi, melainkan melakukan pidato kebudayaan. Dalam pidato tersebut Iman mendorong para penyair yang hadir, baik yang senior maupun penyair muda, untuk terus menulis puisi dengan menghadirkan latar lokal, dimana mereka berasal.

“Saya membayangkan Eka Ardana yang sudah puluhan tahun tinggal di Yogya, dia menulis puisi dengan tema tanah kelahiran di Riau, atau setidaknya menulis menyangkut nenek moyangnya di sana,” kata Iman Budhi Santosa.

Selain para penyair senior, beberapa pembaca puisi diantaranya perupa dan wartawan. Effi Wijono Putra, wartawan dari harian Kedaulatan Rakyat membacakan puisi karya Iman Budhi Santosa, wartawan dari harian Bernas dan Metro TV juga tampil membaca puisi karya penyair senior.

Selain itu ada pentas musik yang menggubah puisi menjadi lagu, seperti dilakukan oleh Yoyok dan Ana Ratri. Yoyok memetik gitar dan Ana mengalunkan lagu puisi. Ada group musik dari Jaringan Anak Bahasa (Jab) Universitas Ahmad Dahlan. Tampil pula kelompok musik dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).

Nasirun, perupa dan pemilik rumah Pendapa Nasirun di Kasongan, tampil terakhir dengan membacakan puisi berjudul ‘Kepada Hendro Suseno’. Hendro, bagi Nasirun adalah nama yang sangat akrab, karena sahabatnya yang sudah meninggal itu, adalah seorang perupa, yang kuliah di ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) Yogya, yang sekarang dikenal dengan nama ISI (Institut Seni Indonesia) Yogya, dan merupakan senior Nasirun.

“Saya rasa, puisi ini mewakili persahabatan saya dengan Hendro Suseno, yang tak pernah akan saya lupakan,’ ujar Nasirun.

Kita sertakan puisi “Kepada Hendro Suseno” yang dibacakan oleh Nasirun.

Kepada Hendro Suseno

Wajahmu pucat di kanvas 
tapi senyumu penuh bahagia 
kepada siapa saja bersahabat 
tak ada beda, tak ada sekat

Karya terakhir adalah potretmu 
tanpa kanvas dan pigura 
penuh pesona di hadapan Tuhan 
sungguh kita merasa kehilangan

Wajahmu tak lagi di kanvas 
padamu ingatanku tak pernah lepas

Yogyakarta, 2013

Ons Untoro

Teguh Ranusartro Asmara tampil membaca puisi dalam acara Kebangkitan Penyair Senior, foto: Ons Untoro Teguh Ranusartro Asmara tampil membaca puisi dalam acara Kebangkitan Penyair Senior, foto: Ons Untoro SENI PERTUNJUKAN

Baca Juga

Artikel Terbaru

  • 11-06-15

    Hujan Terakhir di Ke

    Puisi karya Slamet Riyadi Sabrawi berjudul “Hujan Terakhir di Kelopak Mei” digubah menjadi lagu dan digarap model orkestra oleh ‘Alfries and Friends... more »
  • 11-06-15

    Sebuah Buku Penting

    Buku koleksi Perpustakaan Tembi ini tergolong lama, terbitan tahun 1955. Buku berbahasa Belanda ini termasuk salah satu referensi penting dalam studi... more »
  • 10-06-15

    Mahasiswa Wisma Baha

    Mereka start dari gerbang Tembi masuk menyusuri sawah-sawah yang kala itu padi sedang tumbuh menghijau, kemudian masuk ke desa-desa yang pernah... more »
  • 10-06-15

    Denmas Bekel 10 Juni

    Denmas Bekel 10 Juni 2015 more »
  • 10-06-15

    Buku yang Komprehens

    Buku ini berisi berbagai hal tentang Sumatra dari abad ke-16 sampai saat ini. Di dalamnya mengungkap tentang kehidupan elit kerajaan, masyarakat... more »
  • 09-06-15

    FMT 2015: Pertunjuka

    Hanyaterra, kelompok kolektif musik keramik dari Jatiwangi Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, tampil memukau dalam Festival Musik Tembi (FMT) 2015,... more »
  • 09-06-15

    FMT 2015: Proses Men

    Berdasarkan penilaian pengamat musik dan audiens, diputuskan lima terpilih yang masuk dalam album kompilasi MTB 2015 adalah Kemlaka, Kelu, Ruas Bambu... more »
  • 09-06-15

    #SaveMusicIndonesia

    Gerakan ini sebagai salah satu apresiasi terhadap musik, musisi, dan industri musik Indonesia. Pembajakan, minimnya musik anak, perizinan pemutaran... more »
  • 08-06-15

    Mereka Juga Meramaik

    Para pembaca puisi ini kebanyakan sudah berulang kali datang menghadiri Sastra Bulan Purnama (SBP), sehingga memang sudah mengenal acara ini. Namun... more »
  • 08-06-15

    Sandy Thema Pamerkan

    Merek perhiasan lokal, Pistos dengan desainernya Sandy Thema mempersembahkan koleksi perhiasan terbarunya ‘Archipelago’. Terinspirasi dari kekayaan... more »