Menikmati Semangkuk Sup Di Taman Budaya
15 Aug 2016 Judul naskahnya ‘Semangkuk Sup Makan Siang atau Cultuurstelsel’ karya Hedi Santosa yang dimainkan oleh Whani Dproject selama dua hari 10 dan 11 Agustus 2016 di Concert Hall Taman Budaya, jalan Sri Wedari 1, Yogyakarta.Dalam naskah hanya ada tiga orang pemain, dan tidak ada tokoh tunggal, meskipun pemeran pertama diberi nama tokoh, hanya sekadar untuk menandai perannya dan dua pemeran lainnya diberi tanda liyan 1 dan liyan 2. Semuanya laki-laki. Ketiganya saling berdialog dan merespon, tetapi sesungguhnya masing-masing berbicara sendiri.
Whani Darmawan dan Hedi Santosa, saya kira saling mengisi untuk menghidupkan teks naskah. Karena antara keduanya memiliki perbedaan dalam menikmati. Pada naskah kita disuguhi huruf-hurif, kata-kata, kalimat dan sejenisnya, yang jika dibaca sambil duduk bisa lekas jenuh, tetapi ketika semuanya itu dipanggungkan, seluruh teks yang beku bisa hidup.
Whani mengambil pilihan pertunjukan yang menarik, meski dia ‘mengikuti’ naskah, namun pertunjukannya tidak dalam bentuk ‘diskusi’ yang nyinyir dan membuat orang jenuh, lekas bosan dan mungkin ngantuk. Whani mengolah teks menjadi pertunjukan yang hidup, dan saya membayangkan dia seperti Charlie Chaplin yang penuh gerak, dan bedanya pada Whani penuh kata.
Dalam kata lain, hal yang serius seperti dia komedikan, seolah seperti menertawakan dirinya, dan ini saya kira bentuk operasionalisasi dari apa yang dikatakan St. Sunardi yang memberi tulisan pada katalog, ‘kekuasaan yang menertawakan dirinya sendiri’. Seluruh gerakannya mengarah ke komedi, sehingga teks yang beku menjadi terasa hidup.
Naskahnya sendiri memang merupakan perbincangan yang ‘tidak ada ujung’ dan juga ‘tidak ada pangkal’. Serta masing-masing berdialog dalam satu momentum yang sama, dan narasi persoalan yang sama, tetapi masing-masing sedang tidak berdialog, melainkan berbicara sendiri-sendiri.
Kisahnya tidak ada konflik, tetapi memiliki persoalan. Saya kira ini kisah pertunjukan yang menarik. Karena biasanya setiap pertunjukan selalu dibebani konflik, seolah tanpa konflik pertunjukan tidak menarik. Padahal dalam kehidupan, tidak selalu ada konflik, tapi mesti ada masalah, dan masalah bukan sumber konflik, hanya berbeda dalam cara menyikapi. Perbedaan bukan suatu konflik. Ya beda saja, seperti barat berbeda dengan timur. Merah berbeda dengan hijau, manis berbeda dengan pedas dan seterusnya.
Perbedaan itu dikemas dalam pertunjukan, hanya saja, meski tak ada konflik, pasti ada dominasi. Dalam pertunjukan ini dominasi itu ditandai sebagai tokoh, yang diperankan oleh Whani Darmawan, dan diluar tokoh adalah liyan, atau yang dikenali sebagaithe ohter. Pertunjukan ini memang mencoba menyajikan kisah cara berpikir yang tidak lagiCartesian, yang selalu berpijak pada sebab akibat.
Namun alur berpikirnya masih sering terjebak pada pola sebab akibat, sehingga selalu kembali menunjuk sebabnya, misalnya acara tv yang sama sekali tidak mutu dan sejenisnya. Pola berpikir seperti ini diolah menjadi petunjukan yang menarik, dan untuk menghindari tv, yang dominan, Whani, sang tokoh melempar remote dan ditangkap sang liyan, orang yang dianggap sebagai korban, atau sesuatu yang lain.
Peristiwa semangkuk sup ini berlangsung selama 6 jam. Dumulai dari bangun tidur sampai terhidang semangkuk sup untuk makan siang. Dalam rutinitas keseharian dan sudah berlangsung lama, semangkuk sup dihidangkan karena ada kepentingan kekuasaan yang akan menikmati. Inilah pola berpikir sebab akibat itu, yang dikelola dan dimainkan oleh Whani Dproject dengan cukup bagus.
Dan Hedi Santosa, selaku penulis naskah dan sutradara mencoba mencari jalan keluar dari pola berpikir sebab akibat: ‘Aku berpikir karena aku ada’, yang terus menghantui manusia, sementara pijakan filsafatnya dijaman serba digital sudah mulai melompat: ‘Aku berpikir di tempat di mana aku tidak berada’
Ons Untoro
SENI PERTUNJUKANBaca Juga
- 16-08-16
Suara Malam dan Pesona Bulan di Malioboro Mengisi Sastra Bulan Purnama
Sastra Bulan Purnama edisi ke-59, yang akan diselenggarakan Kamis, 18 Agsutus 2016, pukul 19.30 di Tembi Rumah Budaya, Sewon, Bantul, Yogyakarta akan... more » - 13-08-16
‘Membelah Bulan’ Karya Resmiyati di Sastra Bulan Purnama
‘Membelah Bulan’ merupakan judul antologi puisi karya Resmiyati, seorang penyair perempuan dari Klaten, akan dilaunching di Sastra Bulan Purnama,... more » - 12-08-16
Gatotkaca Membagi Kesucian kepada Musuhnya
Adakah yang lebih luhur serta mulia, dari seseorang yang mendoakan musuhnya agar terlepas dari rantai derita, bahkan ia rela menjalani laku berat... more » - 06-08-16
Brisz Akustik, Group Band yang Unik dan Fleksibel
Brisz Akustik merupakan salah satu kelompok musik akustik di Yogyakarta yang digawangi oleh Bran (gitar), Radit (gitar), Indra (cajon), dan Ninis (... more » - 05-08-16
Yogyakarta Berpesta Gamelan
Selama tiga hari berturut-turut, 22-24 Juli 2016, penonton dimanjakan dengan alunan gamelan yang bernilai tradisi hingga kreasi, dalam acara... more » - 01-08-16
Macapat ke-148, Penguasa Tergila-gila dengan Ronggeng
Mengikuti macapat malem Rebo Pon di Tembi Rumah Budaya ibarat mengikuti pengembaraan Mas Cebolang yang penuh dengan pengalaman kehidupan baik lahir... more » - 29-07-16
Ki Suparman Menurunkan Kalimasada di Srandakan Bantul
Sosok raja yang rendah hati, mencintai rakyatnya dan tidak mempunyai musuh seperti Prabu Puntadewa layak mendapat anugerah Kalimasada dari Batara... more » - 27-07-16
Lagi, Untung Basuki Di Sastra Bulan Purnama
Untung Basuki dikenal sebagai seniman legendaris Yogya spesialisasi lagu puisi, yang digelutinya sejak tahun 1970-an. Selain sebagai anggota Bengkel... more » - 26-07-16
Sorak Bogowonto Semangat Pantang Menyerah
Bogowonto adalah nama sungai yang melintasi Bagelen Kabupaten Purworejo, letaknya di sebelah barat Sungai Progo, Kabupaten Kulon Progo, Daerah... more » - 25-07-16
Ujug-ujug Musik Di Sastra Bulan Purnama
Namanya ‘Ujug-Ujug Musik’, karena memang semua personilnya bermain musik. Bukan kali pertama kelompok ini tampil di Sastra Bulan Purnama.... more »
Artikel Terbaru
- 19-08-16
Hardi: Sang Presiden
Sekitar pertengahan 2000-an, saya pernah melihat sebuah gambar yang terpampang di tangga rumah seorang sastrawan yang kebetulan saya kenal secara... more » - 19-08-16
Wisuda MC Jawa Lanju
Para wisudawan kursus Panatacara Pamedharsabda MC Basa Jawa di Tembi Rumah Budaya angkatan IX rupanya mempunyai pandangan yang hampir sama. Kesamaan... more » - 18-08-16
Obituari Slamet Riya
Mestinya, pada Sastra Bulan Purnama edisi ke-59, yang digelar 18 Agustus 2016, pukul 19.30 di Tembi Rumah Budaya, Slamet... more » - 18-08-16
Peserta Badan Diklat
Sebanyak 80 orang SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) baik provinsi, kabupaten, dan kota dari seluruh Indonesia yang berkunjung ke Tembi Rumah... more » - 16-08-16
Karyawan Bir Bintang
Menjelang maghrib hari Kamis 11 Agustus 2016, Tembi Rumah Budaya dikunjungi oleh karyawan PT Bir Bintang Jakarta sejumlah 100 orang. Mereka datang ke... more » - 16-08-16
Suara Malam dan Peso
Sastra Bulan Purnama edisi ke-59, yang akan diselenggarakan Kamis, 18 Agsutus 2016, pukul 19.30 di Tembi Rumah Budaya, Sewon, Bantul, Yogyakarta akan... more » - 16-08-16
Kapak Batu di Pajang
Senin, 25 Juli 2016 Sunardi (43) warga Dusun Manukan, Kelurahan Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, DIY menemukan sebuah benda yang... more » - 15-08-16
Ketika Politik Prakt
Haruskah kita bersikap jujur di depan sebuah karya seni? Pertanyaan itu muncul dalam diri saya ketika hadir dalam pembukaan pameran tunggal karya-... more » - 15-08-16
Menikmati Semangkuk
Judul naskahnya ‘Semangkuk Sup Makan Siang atau Cultuurstelsel’ karya Hedi Santosa yang dimainkan oleh Whani Dproject selama dua hari 10... more » - 15-08-16
Dunia Indigo dalam E
Karya Edo Adityo sebagai penyandang disabilitas dan sekaligus indigo mungkin terkesan sangat personal, ekspresif, unik, dan sekaligus magis. Dalam... more »