PENGANTAR GALERI

POSTER KEMBOEL DEWI SRI

Pameran tunggal lukisan Herjaka HS kali ini mengangkat figur Dewi Sri, dewi kesuburan dalam masyarakat Jawa, yang juga dikenal dalam masyarakat Sunda dan Bali. Sesuai dengan gaya khas lukisan Herjaka, Dewi Sri tampil dalam format fisik wayang. Dengan demikian semakin kentallah elemen tradisional pada pamerannya ini. Namun ketradisionalan ini tidaklah mengungkung proses bertutur dan daya ungkapnya, justru Herjaka cukup leluasa bermain dan menjadikannya representasi yang luwes.

Demikianlah misalnya dengan ringan Herjaka mengenakan kostum bikini pada Dewi Sri, yang menjadikannya sebagai perempuan seksi menggoda. Yang satu adalah Dewi Sri mancanegara yang dengan gaya sensualnya menggenggam sebatang padi. Yang lain adalah Dewi Sri yang duduk di punggung orang yang sedang merangkak. Yang pertama, Sri Import, menjadi ancaman petani lokal melalui para raksasa yang mengelilinginya. Yang kedua, Sri Gendhong, menjadi dambaan dan penghambaan orang yang hanya berorientasi perut.

Namun sejatinya Dewi Sri tetaplah ibu yang menjadikan padi beranak pinak dan berlimpah ruah. Mungkin karena itulah dalam Sri Import Herjaka tidak menampilkan dua Dewi Sri, mancanegara dan lokal, yang saling berkonfrontasi, karena Dewi Sri tetaplah Dewi Sri yang dengan kasih sayangnya melimpahkan produksi alam demi kesejahteraan makhluk ciptaan Tuhan. Barangkali pula lantaran itulah dalam Sri Gendhong posisi Dewi Sri menghadap ke belakang, tidak seperti laiknya kusir yang mengendalikan kuda. Sikap menghamba manusia adalah hasil kendali nafsu manusia itu sendiri.

Dalam karya-karya Herjaka, Dewi Sri karenanya senantiasa tampil cantik, anggun dan lembut serta memancarkan ekspresi kesabaran dan kasih sayang, juga semangat memberi dan melayani. Pada Sri Wiji yang klasik dan floratik, ia terbang menyebarkan butiran padi ke bumi. Pada Sri Jamu yang natural, ia memberikan jamu kepada petani yang tetap setia bertani di tengah arus urbanisasi.

Gugatan Herjaka agaknya lebih pada cara manusia memperlakukan kekayaan alam. Mungkin senada dengan pernyataan Mahatma Gandhi bahwa bumi ini menyediakan kebutuhan cukup bagi semua manusia namun tidak pernah cukup bagi seorang manusia yang serakah. Anugerah Tuhan melalui metafora Dewi Sri seharusnya disikapi dengan rasa dan perilaku bersyukur, yang untungnya masih banyak diterapkan masyarakat. Dalam lukisan Herjaka, kita dapat melihat dua sisi fenomena ini, kesewenang-wenangan dan keserakahan di satu sisi, serta penghargaan dan rasa syukur di sisi lain.

Di satu sisi, kita melihat perayaan apresiasi dan rasa syukur dalam paduan warna-warna yang cerah dan suasana yang hidup. Pada Rame ing Gawe, usai panen padi orang-orang bekerja menindaklanjutinya dengan riang gembira. Bocah bajang berjalan melintas yang menyimbolkan kerja keras untuk mencapai kesejahteraan lahir batin. Pada Berat Sama Dipikul, orang-orang memikul Gunungan Lanang dan Gunungan Wadon sebagai tanda rasa bersyukur mereka. Semua kebersamaan ini agaknya juga menyiratkan pesan lain agar manusia mengutamakan kepentingan bersama, bukan kepentingan sendiri yang mengorbankan lainnya.

Di sisi lain, pada Dewi Kesuburan, Dewi Sri dalam warna coklat tanah yang lembut, yang berbaring tenang dalam ekspresi wajah dan posisi tangan yang mengesankan kedamaian dan kesabaran, dikontraskan sapuan tinta hitam figur keseraman yang mengelilinginya, yang dengan keangkaraannya seperti siap menghabisi sebuah hidangan yang tersaji.

Dalam konteks ini, unsur moral menjadi penting. Tak heran, Semar pun hadir dalam pengadeganan mencari Dewi Sri, dan duduk berhadapan dengan Dewi Sri. Demikian pula unsur cinta, yang selain terkandung pada hampir semua lukisan, juga khusus disimbolkan pada Purnama Sidhi.

Meneruskan dan mengembangkan simbolisasi tradisional melalui Dewi Sri, ternyata Herjaka memiliki ruang eksplorasi dan imajinasi yang lebih lapang. Meski visualisasi padi tetap padi dan sawah tetap sawah namun dengan mengantropomorfiskannya sebagai Dewi Sri, visualisasinya tidak dibatasi pada bangunan gedung yang mengangkangi sawah atau tikus berdasi yang menyerbu sawah misalnya. Namun justru lebih leluasa mengkreasi metafora-metafora yang berangkat dari kode budaya yang ada dan kenyataan-kenyataan yang ada.

Dalam penjelajahan karakter, ciri dan gaya melukisnya selama ini agaknya Herjaka telah berada di jalur yang tepat. Kepada Herjaka, kami menyampaikan salut dan teruslah berkarya. Selamat berpameran.

A. Barata
Tembi Rumah Budaya