Bambang Widiatmoko, Penyair Yogya Tinggal Di Jakarta
16 Jul 2016 Puisi adalah hidupnya. Karena itu dia tak bisa pisah dari puisi. Bambang Widiatmoko, demikian namanya. Dia lahir di Yogyakarta, sekarang usianya 57 tahun. Sejak usia 20-an tahun, Bambang rajin menulis puisi yang dikirimkan di media cetak di seluruh Indonesia. Pada tahun 1980-an, dia salah seorang penyair yang ‘begitu serius’ terhadap puisi, dan pada masa itu antologi puisi pertamnya ‘Pertempuran’ terbit, dan tentu saja membuat dia terus obsesi menjadi seorang penyair.Kini, Bambang tidak lagi tinggal di Yogya, melainkan di Jakarta, atau setidaknya dalam atmosfir Jakarta. Di tempat tinggalnya sekarang, dia tetap bergulat dengan puisi. Menulis puisi, atau menerbitkan antologi puisi karya penyair lainnya, dua diantaranya misalnya ‘Jejak Tak Berpasar’ dan ‘Tancep Kayon’.
Sebagai penyair, Bambang Widiatmoko memang telah menerbitkan antologi puisi tunggal dan juga puisinya dimuat dalam sejumlah antologi bersama lainnya. Beberapa antologi puisi tunggal karyanya, di antaranya; ‘Kota Tanpa Bunga (2008), Hikayat Kata (2011). Sejumlah puisinya tergabung dalam antologi puisi; Tanah Pilih (2008), Sajak Rindu Bagi Rasul (2011), Equator (2011), Akulah Musi (2011) dan sejumlah antoogi puisi lainnya yang terbit tahun 2015.
Bersama penyair lainnya, yang sebagian besar seangkatan Bambang Widiatmoko, Januari 2012 ia tampil membacakan puisi karyanya di Sastra Bulan Purnama Tembi Rumah Budaya. Teman seangkatannya yang ikut tampil di antaranya, Budi Nugroho, Marjudin Suaeb, Rina Ratih, Dhenok Kristianti dan beberapa penyair lainnya.
Penampilannya di Sastra Bulan Purnama, seperti ‘reuni’ Bambang Widiatmoko bersama penyair lainnya, yang lama tidak bertemu, atau masih saling komunikasi melalui media digital, tetapi jarang bertemu secara fisik.
Sebagai penyair dia terkesan pendiam. Tetapi puisinya terus mengalir, sepertinya Bambang tak bisa berhenti menulis puisi. Mungkin, baginya, menulis puisi seperti makan dan minum, yang tak bisa ditinggalkan.
Pada tahun, 1980-an, ketika dia masih tinggal di Yogya dan bertandang ke rumah penyair Linus Suryadi AG (alm), di Karangasem, Gejayan, bukan yang di Kadisobo, Sleman, dan rumah Linus sangat dekat dengan makam. Bahkan bisa dikatakan di belakang makam. Satu hal yang biasa bagi Linus dan warga lainnya, tetapi Bambang menafsirkannya lain.
“Pantesan inspirasi mas Linus terus mengalir, tinggalnya dekat makam,” kata Bambang Widiatmoko.
Saya menganggapnya hanya bercanda, tetapi dia kelihatan serius. Saya memahaminya betapa obsesinya Bambang Widiatmoko untuk menjadi seorang penyair.
Pada masa muda Bambang Widiatmoko dan penyair seangkatannya di Yogya, tidak gampang untuk menjadi penyair yang dikenal luas, apalagi di Yogya masih ada Linus Suryadi AG, Emha Ainun Najib, Suwarno Pragolapati, dan sejumlah penyair generasi di atasnya yang terus produktif menulis puisi.
Bambang Widiatmoko terus menulis puisi setidaknya untuk menunjukkan, bahwa sebagai penyair tidak harus berhenti menulis puisi. Maka, ketika dia tidak lagi tinggal di Yogya, dan melaju ke Jakarta, dia tidak berhenti menulis puisi. Aktivitas sastra terus dilakukan, dan terutama di bidang puisi.
Bahkan sekarang aktivitasnya sangat dinamis, tidak hanya di satu tempat, tetapi di beberapa tempat, dan Jakarta-Yogya merupakan dua kota yang tak bisa dia lepaskan dari aktivitas sastra yang dia jalani.
Bambang Widiatmoko dan puisi seperti dua pasang kekasih, yang tak bisa dipisahkan. Maka, dia dengan intens terus bergulat dengan puisi seperti dia mencumbui kekasihnya.
Ons Untoro
PROFILBaca Juga
- 19-08-16
Hardi: Sang Presiden di Antara Para Presiden
Sekitar pertengahan 2000-an, saya pernah melihat sebuah gambar yang terpampang di tangga rumah seorang sastrawan yang kebetulan saya kenal secara... more » - 18-08-16
Obituari Slamet Riyadi Sabrawi, Penyair, Dokter Hewan dan Jurnalis
Mestinya, pada Sastra Bulan Purnama edisi ke-59, yang digelar 18 Agustus 2016, pukul 19.30 di Tembi Rumah Budaya, Slamet... more » - 11-08-16
Purwadmadi, Penyair, Novelis dan Jurnalis
Nama lengkapnya Purwadmadi Admadipurwa, atau sering dipanggil Pur. Dia seorang penyair sekaligus novelis dan jurnalis. Pernah menjadi wartawan... more » - 01-08-16
Naura Sang Idola Cilik Baru
Terhitung sudah dua album yang diproduksi penyanyi cilik ini, yang bernama lengkap Adyla Rafa Naura Ayu. Di usianya yang ke-8 tahun putri pertama... more » - 20-07-16
Gus Teja Maestro Seruling Melawan Keputusasaan
Namun, di Bali, pemain seruling bukanlah sesuatu yang istimewa. “Dalam orkestra gamelan Bali, seruling hanya di tempatkan ‘di samping,’” ujar Gus... more » - 18-07-16
Duo Bajo Sinergi Idealis
Sebuah pergerakan dari dua anak muda dengan sebuah idealisme turut mewarnai berkembangnya gaya musik di kota Yogyakarta. Mereka adalah... more » - 27-06-16
Ki Faizal Noor Singgih, Doa Kakek Lebih Mujarab
Faizal Noor Singgih lahir di Yogyakarta pada Jumat Kliwon, 20 April 1979, dari pasangan Sutedjo, pegawai PJKA; dan Rochimah, ibu rumah tangga yang... more » - 13-06-16
Samidjan Pencipta Wayang Limbah
Yogyakarta kaya akan tradisi dan produk kerajinan tradisional wayang kulit, yang biasa digunakan untuk pentas wayang kulit. Selain itu, wayang kulit... more » - 08-06-16
Elisha Orcarus Allasso, Dalang Wanita Pertama Lulus Cum Laude
Pada tahun 2016 ini, untuk pertama kali, Fakultas Seni Pertunjukan jurusan Pedalangan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta meluluskan ‘dalang... more » - 13-05-16
Muhammad Ferdan Tauladan, Dalang Cilik dari Tulungagung
Penampilannya cukup kalem. Namun tidak disangka saat mendalang di atas panggung, apalagi ketika sedang “suluk”, suaranya begitu mantap. Begitu juga... more »
Artikel Terbaru
- 19-08-16
Hardi: Sang Presiden
Sekitar pertengahan 2000-an, saya pernah melihat sebuah gambar yang terpampang di tangga rumah seorang sastrawan yang kebetulan saya kenal secara... more » - 19-08-16
Wisuda MC Jawa Lanju
Para wisudawan kursus Panatacara Pamedharsabda MC Basa Jawa di Tembi Rumah Budaya angkatan IX rupanya mempunyai pandangan yang hampir sama. Kesamaan... more » - 18-08-16
Obituari Slamet Riya
Mestinya, pada Sastra Bulan Purnama edisi ke-59, yang digelar 18 Agustus 2016, pukul 19.30 di Tembi Rumah Budaya, Slamet... more » - 18-08-16
Peserta Badan Diklat
Sebanyak 80 orang SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) baik provinsi, kabupaten, dan kota dari seluruh Indonesia yang berkunjung ke Tembi Rumah... more » - 16-08-16
Karyawan Bir Bintang
Menjelang maghrib hari Kamis 11 Agustus 2016, Tembi Rumah Budaya dikunjungi oleh karyawan PT Bir Bintang Jakarta sejumlah 100 orang. Mereka datang ke... more » - 16-08-16
Suara Malam dan Peso
Sastra Bulan Purnama edisi ke-59, yang akan diselenggarakan Kamis, 18 Agsutus 2016, pukul 19.30 di Tembi Rumah Budaya, Sewon, Bantul, Yogyakarta akan... more » - 16-08-16
Kapak Batu di Pajang
Senin, 25 Juli 2016 Sunardi (43) warga Dusun Manukan, Kelurahan Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, DIY menemukan sebuah benda yang... more » - 15-08-16
Ketika Politik Prakt
Haruskah kita bersikap jujur di depan sebuah karya seni? Pertanyaan itu muncul dalam diri saya ketika hadir dalam pembukaan pameran tunggal karya-... more » - 15-08-16
Menikmati Semangkuk
Judul naskahnya ‘Semangkuk Sup Makan Siang atau Cultuurstelsel’ karya Hedi Santosa yang dimainkan oleh Whani Dproject selama dua hari 10... more » - 15-08-16
Dunia Indigo dalam E
Karya Edo Adityo sebagai penyandang disabilitas dan sekaligus indigo mungkin terkesan sangat personal, ekspresif, unik, dan sekaligus magis. Dalam... more »