Skets Pangeran Diponegoro ketika Sakit, 1830-an
Berikut ini adalah sketsa Pangeran Diponegoro yang dibuat oleh Adrianus Johannes Bik (1790-1872). Sketsa ini dibuat dengan menggunakan arang. A.J Bik sendiri adalah pemangku hukum Batavia dan pengawas Pangeran Diponegoro selama Pangeran Diponegoro tinggal di Balaikota (Satdhuis) dalam rangka pengasingannya. Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa skesta ini dibuat pada tahun 1830-an pasca penangkapannya di Magelang. Disebutkan bahwa A.J. Bik yang membuat sketsa atas dirinya adalah seniman paling terdidik di Hindia Belanda.
Dalam gambar sketsa ini tampak bahwa Pangeran Diponegoro mengenakan pakaian ulama yang dikenakannya selama Perang Jawa (1825-1830). Pakaian tersebut terdiri atas sorban, baju koko tanpa kerah, dan jubah. Sehelai kain selempang tersampir pada bahu kanannya. Ia juga tampak menyelipkan pusakanya yang berupa keris yang diberi nama Kyai Ageng Bondoyudo. Kyai Bondoyudo ini terselip pada ikat pinggang yang terbuat dari bahan sutera dengan motif bunga-bunga.
Tampak dalam sketsa ini pipi Pangeran Diponegoro demikian cekung. Hal demikian itu menonjolkan tulang pipinya yang tinggi. Pipi cekung dan tulang pipi yang menonjol ini adalah akibat sakit malaria yang dideritanya. Malaria itu ia derita sejak ia berkelana di hutan-butan Bagelen (mungkin juga hutan-hutan Menoreh/Kulon Progo) pada masa akhir Perang Jawa yang ia kobarkan.
Tidak banyak orang yang tahu tentang gambaran Pangeran Diponegoro dalam keadaannya yang sakit dan pucat seperti itu sebab banyak penggambaran sosok Pangeran Dipongeoro yang ditampilkan dengan demikian gagah atau garang ketika memimpin peperangan. Keteguhannya untuk terus bertahan sekalipun sekutu-sekutunya banyak yang menyerah dan ditangkap Belanda barangkali juga turut menggerogoti sisi psikologisnya yang pada gilirannya juga ikut memperlemah daya tahan fisik pribadinya. Sekalipun demikian, ia tetap teguh untuk tidak menyerah kepada Belanda sampai kemudian ia ditaklukkan melalui meja perundingan yang dirancang dengan segala kelicikan dan tipu muslihat Belanda yang sama sekali mengabaikan sifat-sifat kesatriaan.
Apa yang terjadi atas Pangeran Diponegoro ini mungkin sama seperti yang dialami Jenderal Soedirman yang juga memimpin perang dalam keadaan sakit. Sekalipun mereka menderita demikian mereka tetap tidak manja bahkan tetap tidak mau dirayu, dibujuk dengan iming-iming kekuasaan dan harta benda yang dapat menjamin hidup duniawi mereka.
a.sartono
Sumber: Peter Carey, 2012, Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan di Jawa, 1785-1855, Jakarta: KPG bekerja sama dengan KITLV-Jakarta, Yayasan Arsari Djojohadikusumo, Aseasuk, Fadli Zon Library, dan Gramedia Printing Group.
Artikel Lainnya :
- 22 Desember 2010, Kabar Anyar - PERANG KEMBANG: PERSEPSI DAN INTERPRETASI DALAM BUDAYA JAWA(22/12)
- Kabar Anyar - JEDA SEJENAK DARI RUTINITAS(27/04)
- Bandha Sampiran Nyawa Gadhuhan(10/07)
- Balapan Theklek(24/01)
- NASI TIWUL, SENSASI CITARASA DAERAH KERING YANG NAIK PAMOR(02/11)
- UTOPIA ANAK-ANAK MUDA DARI EDUARDO GALEANO(29/11)
- 26 Februari 2011, Kabar Anyar - ADEGAN SARESMI DALAM SERAT CENTHINI(26/02)
- PERKAMPUNGAN BATIK DI YOGYAKARTA(01/01)
- Folklor Jawa. Macam, Bentuk dan Nilainya(19/01)
- Konser SaUnine Ciptakan Sejarah(04/02)