Orang Jawa 1855

Orang Jawa 1855

Beginilah gambaran umum pria Jawa (rakyat biasa) pada tahun-tahun 1800-an seturut kesan dan gambaran Thomas Stamford Raffles. Pada masa itu tampaknya ikat kepala menjadi bagian dari aksesori pakaian yang umum dikenakan. Baju (surjan) yang tidak dikancingkan jugamenjadi semacam kelaziman. Demikian pun kain jarit (bebed) yang dikenakan sebagai pelapis paling luar setelah celana kolor juga menjadi kelaziman. Bahkan keris juga menjadi semacam kelaziman dalam kelengkapan berpakaian.

Apa yang ditangkap Raffles mengenai pria Jawa mungkin merupakan hasil ”tangkapan” dan kesannya pada pria Jawa yang sedang bepergian, sebab pada masa lalu pria-pria Jawa (yang tidak bepergian) biasa bertelanjang dada. Surjan atau baju menjadi semacam pakaian formal atau setengah formal. Demikan pun dengan keris. Keris tidak saelalu diselipkan di pinggang pada setiap saat.

Gambaran di atas juga menegaskan bahwa pada masa lalu orang Jawa terbiasa bertelanjang kaki (nyeker). Tradisi mengenakan alas kaki mungkin hanya lazim di kalangan para raja, adipati, bupati, atau para kyai pemimpin pondok pesantren atau pengelola masjid. Tradisi mengenakan alas kaki bagi orang Jawa kebanyakan mungkin mulai marak pada awal abad ke-20.

Pada awal abad ke-20 pula ikat kepala mulai jarang dikenakan oleh orang Jawa. Topi, peci, blangkon, dan lain-lain penutup kepala dalam bentuk jadi lebih banyak digunakan. Jadi, mereka tidak lagi repot melilitkan selembar kain berbentuk segitiga untuk menutupi kepalanya.

Surjan atau baju tradisional Jawa juga mulai terpinggirkan setelah abad ke-20. Pakaian jenis ini akhirnya hanya dikenakan pada saat acara tertentu saja.


Artikel Lainnya :


Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta