Pameran Uang Nusantara
Satu mata uang logam, yang belum pernah kita kenal dan sebagai simbol pertukaraan pada masa lalu. Pada teks tertulis ‘mata uang zaman Majapahit’ tanpa ada tahun disertakan. Mata uang logam itu, bisa dilihat di pameran ‘Uang Nusantara’ di gedung BI lama, di jalan Panembahan Senapati, tepat di titik nol Yogyakarta. Karena mata uangnya kecil dan ditaruh di lemari kaca sehingga sulit untuk diambil gambarnya melalui kamera digital.
Hal disebut di atas hanyalah salah satu dari sejumlah mata uang yang dipamerkan. Mata uang rupiah, yang kita kenal sejak Indonesia merdeka, bisa kita lihat dalam beragam bentuk dan nilai. Ada mata uang kertas senilai Rp 5 atau bahkan senilai Rp 2,5, yang dulu disebut sebagai seringgit, atau satu ringgit. Uang-uang kertas dengan gambar Bung Karno dan tokoh2 lain, termasuk gambar flora dan fauna.
Pada pintu masuk ruang pameran, kita bisa melihat uang senilai Rp 10.000 dan Rp 20.000 dalam ukuran besar dibingkai dengan pigura. Kita mengenali gambar uang ini, karena termasuk sebagai uang baru, yang sekarang masih laku untuk melakukan alat pembayaran. Yang barangkali kita belum pernah melihat, atau mungkin juga belum mendengarnya: tahun 1995 diterbitkan uang logam senilai 300 ribu, sebagai peringatan 50 tahun Indonesia merdeka. Uang logam senilai 300 ribu itu, rasanya tidak beredar dimasyarakat luas, atau mungkin hanya beredar dikalangan tertentu, artinya kelompok atas, atau mungkin juga kelompok menengah. Gambar depan dari uang logam 300 ribu ini adalah lambang negara burung garuda, Tertera tulisan Bank Indonesia. Angka 1995 ditulis terpisah di kanan kiri lambang negara burung garuda. Pada sebelah kiri angka 19 sebelah kanannya 95.
Sejarah uang di Nusantara sudah kita kenal lama, setidaknya pada jaman kerajaan sudah ada uang dengan simbol-simbol berbeda. Pada jaman penjajah Belanda, dikenal mata uang gulden. Sebelum Indonesia merdeka, mata uang dari Belanda yang menjadi alat pembayaran.
Kini, sejak Indonesia merdeka, kita mengenal mata uang rupiah dalam bermacam bentuk dan nilai. Dari Rp 1 sampai Rp 1.000, bahkan sampai Rp 100.000. Selama hampir 20 tahun, uang senilai Rp 1 masih mudah kita temukan, dalam bentuk logam maupun kertas. Nilai uang pecah, dalam arti angka berurutan bisa ditemukan pada masa lalu. Tapi, kita tidak menemuukan uang senilai Rp 3, malah Rp 2,5 bisa kita miliki. Artinya, produksi nilai uang yang paling rendah Rp 1 dan berikitnya Rp.2,5, Rp Rp. 5,- tetapi angka 7, 8, 9 tidak ada. Nilai Rp 10,- bisa kita temukan.
Pada pameran ‘Uang Nusantara’ ini, kita akan menemukan uang lama dan baru, dari nilai terendah sampai yang tertinggi. Bahkan, kita bisa melihat uang senilai Rp 50.000 dalam bentuk lembaran. Ada dua lembaran senilai Rp 50.000,- sehingga nilainya menjadi Rp. 100.000. namun ada lembaran senilai Rp 50.000 dalam jumlah yang cukup banyak.
Peredaran uang tidak bisa dilepaskan dari peran bank. Maka, dipamerkan juga ‘miniatur’ Bank Indonesia lama, yang sekarang telah menjadi bangunan heritage. Setidaknya, melalui BI inilah uang mulai beredar dan mengalir ke bank-bank lainnya yang sekarang jumlahnya sudah banyak, dan dari bank-bank inilah uang sampai pada masyarakat. Dan uang terus berputar ditengah masyarakat dan masuk lagi ke bank-bank, dan kembali lagi pada masyarakat. Salah satu tanda bahwa uang beredar, ialah bahwa uang menjadi lusuh. Karena dipegang banyak tangan, sehingga uang menjadi cepat lusuh.
Meski kita tahu, peredaran uang sekarang tidak harus berupa fisik dalam bentuk memegang selembar uang. Karena, uang bisa ‘bergerak’ hanya dalam bentuk angka dan berpindah dari satu rekening yang satu ke rekening lainnya. Mengambil uang tidak harus selalu datang ke Bank seperti dulu dilakukan, tetapi cukup datang bilik ATM dan dari sana uang bisa diambil.
Yang tidak berubah dari uang, sejak dulu hingga kini ialah, uang menjadi alat kekuasaan. Bahkan di Indonesia, hari-hari ini, uang memiliki peran politik yang besar. Tanpa uang, jangan berharap bisa memiliki kekuasaan politik. Melalui kekuasaan pula, uang bisa ‘diproduksi’, termasuk dengan cara yang tidak halal.
Hari-hari kini pula, kita mudah melihat orang diperdaya uang. Seringkali malah menjadi terbalik, uang menguasai orang.
Ons Untoro
Artikel Lainnya :
- 14 Maret 2011, Klangenan - SEJENAK MEMBUKA INGATAN: KEBUDAYAAN DAN YOGYAKARTA(14/03)
- 17 April 2010, Denmas Bekel(17/04)
- Perhitungan Arah Rumah(04/08)
- KYAI KAHYUN DAN TERJADINYA DUSUN KAYUNAN(08/09)
- 3 April 2010, Jaringan Museum - MUSYAWARAH ANGGOTA BARAHMUS 2010: MEMILIH PENGURUS BARU PERIODE 2010—2014(03/04)
- 10 Juni 2010, Primbon - Tedhak Siten(10/06)
- 22 Februari 2011, Bothekan - UNDAKING PAWARTA SUDANING KIRIMAN (22/02)
- Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta(12/08)
- 7 Juni 2010, Kabar Anyar - PENGHARAGAAN BERBASIS BUDAYA(07/06)
- 8 Januari 2011, Kabar Anyar - NASI BUNGKUS UNTUK KEISTIMEWAAN(08/01)