Membaca Puisi di Bulan Purnama
Sastra Bulan Purnama di Tembi Rumah Budaya edisi ke-20 meluncurkan antologi puisi karya tiga penyair dari tiga kota, Jakarta, Kendal, dan Yogyakarta.
Riries’
Bulan purnama penuh di atas langit, dan dalam suasana cerah, Jumat malam 26 April 2013, puisi mengalir dalam acara Sastra Bulan Purnama, yang diselenggarakan di Tembi Rumah Budaya.
Penyair yang datang dari tiga kota berbeda, Jakarta, Kendal, dan Yogyakarta me-launching antologi puisi yang mereka punya. Riries, penyair dari Jakarta, meluncurkan antologi puisinya berjudul ‘Mencintaimu Adalah Takdirku’.
Kelana dari Kendal meluncurkan antologi puisinya berjudul ‘Sogokan Kepada Tuhan’. Ouda Teda Ena, dari Yogya, melepas antologi puisi berjudul ‘Perempuan Dalam Almari’. Sedangkan penyair senior dari Yogya, membawakan antologi puisi berjudul ‘Ziarah Tanah Jawa’.
Selain penyair membacakan puisi karyanya sendiri yang terkumpul dalam antologi puisi, ada penyair lainnya yang membacakan puisi karya penyair yang antologi puisinya di-launching. Evi Idawati membacakan puisi karya Riries dan Umi Kulsum membacakan puisi karya Ouda Teda Ena.
Mengenakan pakaian serba hitam, Riries membacakan puisi karyanya dengan penuh ekspresi dan tidak menggebu. Dia menyelami puisi karyanya sendiri. Dengan suara tenang, bahkan terkadang pelan, Riries menghadirkan puisi di hadapan hadirin dalam suasana yang teduh.
Ouda Teda Ena tampil awal. Penyair sekaligus pengajar jurusan Bahasa Inggris Univeristas Sanata Dharma ini, membaca sambil duduk di kursi warna biru. Karena Ouda membacakan tiga puisinya diiringi biola, yang dimainkan oleh anak kecil, sehingga dengan duduk di kursi, bloking panggung menjadi kelihatan indah.
Ouda membaca puisi dengan santai. Tak ada suara menghentak, mungkin karena menyesuaikan dengan suara biola. Satu demi satu puisi ia bacakan. Lagi-lagi, Ouda dengan penampilan kalem menghadirkan puisi dalam intonasi yang pelan tetapi ia bacakan dengan sungguh-sungguh.
Selain pembacaan puisi, tampil pula kelompok musik yang menamakan diri ‘Sarkem’ kependekan dari Sanggar Kemanusiaan. Kelompok musik ini, dengan alat gitar, bas dan jimbe, salah satunya menggarap puisi karya Riries dan puisi lainnya karya dari penyair lain, seperti puisi karya Suminto Sayuti.
Kelompok musik Sarkem
Penampilan kelompok musik Sarkem memberikan suasana lain, setidaknya memberikan pilihan lain dari pertunjukan puisi. Bahwa puisi, sebagai pertunjukan tidak hanya dibaca, melainkan bisa dinyanyikan, dan Sarkem telah melakukannya.
Dua penyair dari Kendal, Kelana dan Bahrul Ulum membacakan puisi karyanya yang terkumpul dalam antaologi berjudul ‘Sogokan Kepada Tuhan’. Para penyair pantura, sebut saja begitu, membacakan puisinya dengan penuh ekspresif. Satu penyair dari Puwokerto, Wage Tegoeh Wiyono namanya, membacakan satu puisi karya Kelana.
Sastra Bulan Purnama sampai April 2013 telah memasuki edisi 20, ini artinya, sudah ada ratusan puisi diciptakan dan dibacakan di Tembi Rumah Budaya. Karena, dalam acara Sastra Bulan Purnama, penyair yang diminta tampil harus menulis puisi dan puisi yang ditulis itu dibacakan.
Setiap edisi, ada sekitar 40 puisi ditulis, kalau sekarang memasuki edisi 20, artinya sekitar 800 puisi sudah dihasilkan dari sejumlah penyair, bahkan bisa lebih. Karena, antologi puisi memuat puisi lebih dari 70 puisi.
Kita kutipkan satu puisi karya Iman Budhi Santosa yang terkumpul dalam antologi puisi ‘Ziarah Tanah Jawa’, yang ditulisnya sepanjang 2006-2012. Iman Budhi Santoso adalah penyair senior dari Yogya, dan menulis sejak era Persada Studi Klub asuhan Umbu Landu Paranggi masih aktif, bahkan Iman termasuk salah seorang dari beberapa orang lainnya, yang mendirikan Persada Studi Klub dan mengambil markas di Malioboro awal tahun 1970.
Ouda Teda Ena
Inilah puisi Iman Budhi Santosa yang berjudul ‘Sajak Ibu’.
Sajak Ibu
Tanpa janji, seperti bumi yang terus memberi
siang malam ia menyampaikan pesan
lewat elusan tangan, serupa buku
menjelaskan sendiri kata bakal dilupakan
tapi, kasih saying bakal terus disimpanKarena wajahmu wajahku
darahmu darahku
ketika salah datang membelah
engkau senantiasa memelukku di setiap penjuruSetelah mendaki hingga usia sama
engkau tidak di belakangku, Bunda
karena puisi yang kutulis entah untuk apa
bertebaran kisah ibu menjaga anak-anaknya
serupa batang pohon yang tersenyum
biji buahnya tumbuh di mana-mana
menghias tebing lembah sejarah
yang kita lewati bersama-sama2011
Ons Untoro
Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net/
Baca Juga Artikel Lainnya :
- Pameran Gelombang dari Utara di Bentara Budaya Yogyakarta, Menampilkan Karya 7 Seniman Pantura(23/04)
- Siswa Highfield Jakarta Belajar Gamelan, Tari, dan Membatik di Tembi Rumah Budaya(22/04)
- Anak-anak PAUD Al-Mahalli,Bantul, Menyambangi Tembi(22/04)
- Teater Gandrik Mainkan Gundala Gawat Di Taman Budaya Yogyakarta(20/04)
- Garis-Garis Warna Dalam Karya I Made Mahendra Mangku(19/04)
- Malang Film Festival ke-9, Kompetisi Sekaligus Temu Komunitas(18/04)
- Senin malam ini Jemek Ngudoroso di Tembi Rumah Budaya(15/04)
- Pagelaran Wayang Semalam Suntuk Peringati HUT ke-67 Lembaga Sandi Negara di Museum Sandi Yogyakarta(15/04)
- Bentara Budaya Yogyakarta Gelar Perdana Cong Idol(13/04)
- Selendang Merah, Persembahan Terakhir dari Trilogi Opera Jawa Karya Garin Nugroho(13/04)