Jejak Musik Indonesia Ada di Kota Malang, Bernama Museum Musik Indonesia

Galeri Malang Bernyanyi (GMB) ikut peduli pada sejarah dan perkembangan musik Indonesia karena memang terlalu banyak hal berharga dalam perjalanan musik Indonesia jika rekam jejaknya dilewatkan begitu saja.

Museum Musik Indonesia, Malang, Jawa Timur, foto: Gigih
Ruang koleksi Museum Musik Indonesia

“Perum Griya Shanta blok G no 407, ancer2 tugu pesawat Sukarno Hatta ke barat, perempatan pertama belok kanan, pojokan persis”. Demikian isi sebuah pesan singkat dari Redy Eko Prasetyo, seorang rekan yang juga merupakan salah satu pengurus Museum Musik Indonesia (MMI), Malang.

Setelah tim Forum Musik Tembi (foMbi) berkunjung ke MMI pada 18 Februari lalu guna berdiskusi dan mempresentasikan program Musik Tradisi Baru sebagai rangkaian dari Festival Musik Tembi 2013, akhirnya Tembi berkesempatan untuk berkunjung ke MMI pada Minggu pagi, 17 Maret 2013.

Sesampainya di Museum Musik Indonesia, sebuah pemandangan menarik langsung terpampang di depan mata. Di dinding-dinding ruangan, berjajar rapi rak-rak berisi piringan hitam, kaset, CD, dan berbagai majalah musik yang merupakan koleksi dari museum ini.

Tercatat, sesuai data dari website resmi MMI (www.museummusikindonesia.com), hingga Maret 2013 ada lebih dari 8.000 koleksi yang semuanya merupakan hasil hibah dari para kolektor, musisi, penikmat musik baik dari dalam maupun luar negeri.

Banyak koleksi yang sudah sangat langka di pasaran ada di museum ini. Memang di berbagai daerah di Indonesia, para kolektor piringan hitam, kaset lama, dan majalah musik banyak tersebar. Namun rata-rata koleksi tersebut adalah milik pribadi, tidak disediakan untuk bisa diakses publik.

Sedangkan di MMI, semua koleksi hasil sumbangan dari berbagai pihak tersebut disediakan secara terbuka agar bisa diakses dan dinikmati oleh masyarakat. Sehingga koleksi-koleksi ini bisa dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan positif dan edukatif.

Achmad Djauhari, yang sehari-hari merawat berbagai koleksi di MMI siap memutarkan berbagai piringan hitam, kaset maupun CD jika ada pengunjung yang meminta. Begitu pula dengan Fauzi Faisol, salah satu pengurus MMI yang akrab dipanggil mas Fauzi.

Sebuah album piringan hitam ‘Keronchong Sarinande’ tampak memikat mata. Di sampul depan, wajah manis Aida Mustafa, penyanyi perempuan yang digandrungi di era 60 sampai 70-an itu terlihat masih begitu muda dan manis. Tembi pun meminta izin supaya diputarkan piringan hitam ini. Achmad Djauhari dengan senang hati memutarkan.

Di MMI ada sebuah turn table untuk memutar piringan hitam, lengkap dengan seperangkat soundsystem. Ada pula tape player, CD, VCD maupun DVD player yang dilengkapi dengan layar monitor, terpampang rapi di dinding.

Museum Musik Indonesia, Malang, Jawa Timur, foto: Gigih
Koleksi majalah musik

Semua ini adalah fasilitas yang disediakan secara cuma-cuma bagi pengunjung. Achmad Djauhari yang sehari-hari menjadi nahkoda dari berbagai perangkat ini tampak begitu hafal dengan semua koleksi yang ada.

Piringan hitam (PH) Keronchong Sarinande sudah berada di ‘singgasananya’. PH mulai berputar, dan lagu pertama di album ini, ‘Bengawan Solo’ ciptaan Gesang mulai terdengar. Suara merdu Aida Mustafa diiringi derit jarum turn table pada piringan hitam membuat album lawas ini semakin terasa penuh kenangan saja. Sebuah sajian musik yang hangat di kota Malang yang sejuk.

Piringan hitam Keronchong Sarinande terus berputar, begitu pula aktivitas di Museum Musik Indonesia. Museum Musik Indonesia berada di bawah naungan Galeri Malang Bernyanyi (GMB), sebuah organisasi sosial yang memiliki visi memelihara musik Indonesia yang dilaksanakan melalui misi pengumpulan rekaman musik Indonesia.

Dengan kata lain, GMB ikut peduli pada sejarah dan perkembangan musik Indonesia karena memang terlalu banyak hal berharga dalam perjalanan musik Indonesia jika rekam jejaknya dilewatkan begitu saja.

Saat ini GMB diketuai oleh Hengki Herwanto, mantan wartawan majalah legendaris ‘Aktuil’ yang sangat digemari pembaca terutama kaum muda pada dekade 70-an. Saat itu, rubrik musik di majalah Aktuil juga menjadi barometer rekam jejak perkembangan musik di Tanah Air.

Hengki yang saat ini bekerja sebagai Direktur Utama PT Transmarga Jatim Pasuruan, sehari-harinya berdomisili di Surabaya dan seminggu sekali pergi ke Malang untuk ‘menengok’ Museum Musik Indonesia yang dipimpinnya.

Nah, saat Tembi asyik mendengarkan koleksi piringan hitam di MMI, Redy menyampaikan bahwa kebetulan Hengki Herwanto sedang dalam perjalanan dari Surabaya menuju MMI. Sebuah kesempatan perjumpaan yang baik. Setelah beberapa waktu, Hengki datang diiringi senyuman dari wajahnya yang tampak periang dan penuh semangat.

Suasana Museum Musik Indonesia menjadi semakin semarak dengan obrolan diantara kami semua. Banyak sekali hal yang dibicarakan sambil mendengarkan musik-musik koleksi MMI. Sungguh sebuah atmosfer yang penuh semangat untuk satu hal yang sama, yaitu musik.

Museum Musik Indonesia, Malang, Jawa Timur, foto: Gigih
Turntable, alat pemutar piringan hitam, yang masih berfungsi normal

Jikalau ke Malang, jangan lupa mampir di MMI ya!.

Gardika Gigih Pradipta



Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net/


Baca Juga Artikel Lainnya :




Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta