- Beranda
- Acara
- Berita Budaya
- Berita Tembi
- Jaringan Museum
- Karikatur
- Makan Yuk
- Temen
- Tentang Tembi
- Video Tembi
- Kontak Kami
Berita-budaya»Berbagi Rejeki
21 Jan 2012 12:08:00Hujan yang mengguyur sejak siang dan sore di wilayah Bantul dan sekitarnya menjadikan acara macapat rutin setiap selapan (35 hari) itu hanya dihadiri tidak lebih separo pencinta tembang macapat yang biasanya datang. Namun demikian acara macapatan Malem Rebo Pon di Tembi Rumah Budaya, tidaklah kurang semarak. Hal tersebut dikarenakan, kehadiran group karawitan muda ‘Laras Kawuryan’ pimpinan Angger Sukisno cukup mampu memoles suasana, yang beku menjadi cair dan yang kurang greget menjadi gumyak gembira. Group karawitan yang pada mulanya dimaksudkan untuk selingan saat jeda acara macapatan, malam itu justru tampil lebih dominan. Dengan didukung oleh pesinden muda dari Institut Seni Indonesia Jogyakarta bernama Sri Wahyuningsih lengkaplah sudah daya tarik dari karawitan Laras Kawuryan yang berpusat di Jomegatan Kasihan Bantul Jogyakarta
Angger Sukisno, pimpinan group merangkap Wiraswara (vokalis putra)
dan penabuh saron sedang mengalunkan suaranya dengan di ‘senggaki’
olehSri Wahyuningsih sebagai pesinden (vokalis putri)
dari karawitan Laras Kawuryan.
Seusai berkumandangnya gending Sri Wilujeng, Bapak Ign Wahono sebagai pemandu, mebuka acara macapatan. Tembang yang dibaca mengambil dari serat Centhini, Pupuh atau Bab 241. Satu persatu pecinta macapatan menembangkan teks yang telah disediakan, untuk kemudian diselingi dengan gending-gending Jawa. Adapun cuplikan teks yang dibaca adalah sebagai berikut:
PUPUH 241
Megatruh
1 Iyeg gumarenggeng jalma kang ndudulu
ngayun-ayun kang umijil
sineseg gegendhingipun
malahanira mranani
Rujak sentul dhenok-dhenok
2. Ki Saloka medal neng sor dilah gantung
manggul tumbu kebak isi
ron apa-apa lan tanjung
srigadhing mlathi kumuning
sinuntak mring jrambah gupoh
3. Ingideran kaping tri sawusnya kemput
ginetak sakeh ron dadi
peksi mawarna gya mabur
glathik peking manyar emprit
terik baranjangan bondhol
4. Kakalangan neng jro wisma kadi mendhung
penuh ngaleber mring jawi
angalempreh iberipun
ambyuk marang kang ningali
peksi dinekepan gupoh
5. Maratani kang anon sadaya antuk
kanang paksi warni-warni
parandene nora surut
kang aneng jro wisma maksih
kadi mendhung agumolong
6. Ki Saloka ngrogoh gagembolanipun
ron nangka ron kanthil putih
Group KarawitanLaras Kawuryan dari Jomegatan Kasihan Bantul
Kenong, salah satu Instrumen gamelan yang
bersama-sama dengan instrumen Kempul bertugas menjaga birama.
Gender Barung, instrumen gamelan Jawa yang berperan untuk memberi
nuansa keindahan pada setiap titilaras nada yang di bunyikan
ginetak kalihe mabur
dadya lap alap sawiji
kang sawiji peksi bontot
7. Alap-alap ngrampit peksi kang lir nendhung
bebas minangsa wus gusis
kantun bontot cucuk-cucuk
aneng jarambahing panti
sinaut lir swiwi bodhol
8. Alap-alap krodha nyamber malih luput
dhawah jarambah wus lalis
angganira anggalepung
samenir tan ana kari
peksi bontot colot-colot
9. Ki Saloka Nurwitri gya medal gupuh
mbekta tumbu anglo kendhil
solet silep kekep wadung
bontot cinepeng wus kenging
pinaragat wadung gacrog
10. Binubutan resik wulunya kinumpul
telih midhol-midhol isi
pari wulu kang kinarya kayu
sinuntak neng tangan kering
dadya wos pethak mancorong
11. Pinususan neng tumbu toya denetus
peksi cinuci baresih
wulu kang kinarya kayu
merngangah lir areng sambi
ulam peksi lawan uwos
12. Linebetken ing kendhil tinutup gupuh
Ki Saloka myang Nurwitri
nakir ron pisang kaluthuk
karya rege ageng alit
tan antara dangu dados
13. Latu sirep liwet tinumplak mring tumbu
kumebul angganda gurih
tumusing bras tungtum arum
tumbu bek ing kendhil maksih
ulam paksi ting perkongkong
14. Takir tusan nracak agenge saberuk
sekul satumbu winradin
naken ing takir sadarum
papak lambe dentumpangi
sisji-siji peksi bontot
15. Ki Nurwitri manembah cumadhong dhawuh
nJeng Pangran suka lingnya ris
ing kendhil bageyaningsun
dene kang wus aneng takir
bagenen mring lanang wadon
16. Wus binage kacukup sadayanipun
tirah sinungaken maring
Para pecinta macapat, salah satu diantaranya sedang mendapatkan giliran nembang.
rarya lit-alit kang ndulu
nJeng Pangran ngandika malih
lah Bismilah payo kono
17. Amangana ya iku sasuguhingsun
kamurahaning Hyang Widdhi
supangate Kangjeng Rasul
barekahdalem sang aji
saanane aywa rikoh
terjemahan bebas:
Para penonton gemrenggeng seperti bunyi kumbang, menunggu munculnya seseorang di arena pertunjukkan. Diiringi dengan bunyi gending Rajak Sentul dhenok-dhenok yang semakin cepat dan menarik hati, Ki Saloka muncul di bawah lampu gantung, memanggul tumbu (sejenis tenggok bambu) yang penuh berisi daun apa-apa, tanjung, srigading, melati dan kemuning. Dengan cekatan dedauan tersebut di tumpahkan di lantai. Sebaran daun-daun itu dikelilingi tiga kali dan selanjutnya dedaunan tersebut di halau. Keajaiban pun terjadi. Aneka daun tersebut berubah menjadi burung beraneka warna. Ada burung gelatik, peking, manyar, emprit, branjangan. Burung-burung tersebut terbang berputar-putar di dalam rumah. Saking banyaknya burung yang terbang hingga di dalam rumah gelap seperti mendung. Burung-burung tersebut saling berdesakan keluar rumah, sayapnya lemah dan pada berjatuhan. Para penonton berlomba untuk menangkap burung-burung tersebut. Walupun semua penonton sudah mendapatkan burung warna-warni, jumlah burung di dalam rumah tidak berkurang, ruangan masih gelap seperti mendung.
Ki Saloka merogoh kantongnya dan mengeluarkan daun nangka dan daun kantil putih. Kedua daun tersebut di getak terbang dan berubah menjadi burung Alap-alap dan burung Bontot. Dalam sekejap burung Alap-alap tersebut menyapu bersih semua burung warna-warni yang bagaikan mendung memenuhi ruangan, sehingga ruangan menjadi terang kembali. Tinggal burung Bontot yang sedang cucuk-cucuk di tanah. Bururng Alap-alap menyambar burung Bontot, namun luput, bahkan sayapnya terluka. Burung Alap-alap marah, ia berusaha menyambar burung Bontot untuk yang ke dua kalinya. Burung Bontot dapat meloloskan diri dari sambaran Alap-alap. Alap-alap jatuh ketanah dan mati. Tubuhnya lebur menjadi tepung.
Tinggalah Burung Bontot sendirian berjalan meloncat-loncat. Ki Saloka dan Nurwiti keluar dengan tergesa-gesa membawa serta tumbu, anglo (tungku), kendhil (tempat menanak nasi), solet (pengaduk nasi liwet), silep(penutup nasi), kekep (penutup kendil) dan wadung (pisau pemotong), burung Bontot ditangkap, disembelih dengan wadung dan kemudian dicabuti bulunya hingga bersih. Telih-nya yang penuh midol-midol berisi padi, di-suntak di tangan kiri dan jadilah beras putih bersih. Beras kemudian dicuci dan ditiriskan di tumbu. Daging burung Bontot serta beras dimasukkan ke dalam kendil dan ditutup, kemudian dimasak dengan Bulu burung Bontot sebagai kayu bakarnya.
Ki Saloka dan Nurwitri dalam waktu singkat telah membuat takir dan rege dalam ukuran besar dan kecil dari daun pisang Klutuk. Setelah api padam, nasi liwet di tumplak pada tumbu, tumbu penuh dengan nasi dan daging burung yang pada menyembul ke permukaan. Bau asap dari nasi liwet harum dan gurih.
Ratusan takir yang berukuran sama dengan tempurung kelapa diisi dengan nasi hingga penuh dan setiap takir ditumpangi daging ayam Bontot satu-satu.
Ki Nurwitri menghaturkan sembah dan memohon perintah. Kanjeng Pangeran berkenan dan berkata lembut, yang ada di kendil itu bagianku, sedangkan yang sudah berada di takir bagikanlah kepada semua penonton laki-laki dan perempuan. Ki Nurwitri segera membagikan nasi dan daging burung kepada mereka.
Setelah semua mendapat bagian, sisanya diberikan kepada anak-anak. Njeng Pangeran berkata, Bismilah ayo silakan makan, itu semua adalah berkah Sang raja, dan dari kemurahan Hyang Widdhi serta doa Kanjeng Rasul, nikmatilah seadanya, jangan sungkan-sungkan.
Cuplikan serat Centhini di atas menggambarkan cerita tentang mujijat dari Tuhan Yang Maha Esa yang telah berkenan melimpahkan serta membagikan rejeki kepada semua orang yang datang termasuk kepada anak-anak.
Tepat jam 23.00, acara macapatan malem Rabo Pon diakhiri. Pencinta macapat dan anggota Karawitan Laras Kawuryan meninggalkan pendopo Yudanegaran, komplek Tembi Rumah Budaya. Bapak Sukadi, pecinta macapat dari Piyungan, yang pada setiap malam Rabo Pon menyempatkan datang mengendarai sepeda onthel dengan jarak tempuh 17 Km mengatakan bahwa, ada banyak hal yang didapat dari macapatan ini. Selain bertemu dengan pecinta macapatan yang lain, saya dapat menikmati gending-gending Jawa, dan bahkan dapat belajar nembang diiringi gamelan.
Sebagai unthil-unthil dari macapatan malam ini, semoga mujijat melimpahnya rejeki seperti yang ditulis dalam serat Centhini, tidak hanya berhenti pada serat dan tembang semata, melainkan dapat dinikmati oleh pecinta macapat dalam kehidupan nyata. Setiap hari selalu dilimpahi nasi serta lauknya, cukup secukupnya.
tulisan dan foto: herjaka HS
Artikel Lainnya :
- Klithikan, dengan Barang Barunya(17/10)
- 2 Maret 2010, Kabar Anyar - SOULSCAPE, PAMERAN SENI ABSTRAK(02/03)
- SPANDUK-SPANDUK DI YOGYAKARTA(01/01)
- JUDUL BUKU(02/12)
Bank BNI 46 tahun 1925(17/10) - BULAN SAWAL, AJANG SILATURAHMI(05/09)
- 16 Desember 2010, Primbon - Watak Dasar Bayi(16/12)
- Artist Residence ke- 8 Dias Prabu Figur Gendut Jadi Inspirasi(01/12)
- JAGAL KUDA HANYA ADA DI JOGJA(02/09)
- TAK SEKADAR MARKISA(13/04)