Tembi

Bale-dokumentasi-resensi-buku»Pengetahuan, Sikap, Keyakinan, dan Perilaku di Kalangan Generasi Muda Berkenaan dengan Perkawinan Tradisional di Kota Semarang Jawa Tengah

01 Jul 2004 05:25:00

Perpustakaan

Judul : Pengetahuan, Sikap, Keyakinan, dan Perilaku di Kalangan Generasi Muda Berkenaan dengan Perkawinan Tradisional di Kota Semarang Jawa Tengah
Penulis : Drs. Moertjipto, dkk
Penerbit : Jarahnitra, 2002 , Yogyakarta
Tebal : xii + 138
Isi :

Perkawinan adalah penerimaan status baru bagi seseorang dengan segala hak dan kewajibannya yang baru serta pengakuan status baru tersebut oleh orang lain. Perkawinan adalah perjanjiian yang kokoh dan kuat lahir batin antara pria dan wanita untuk membentuk keluarga bahagia sesuai dengan tujuan dan ketentuan dari pencipta dalam rangka beribadah kepadaNya. Upacara perkawinan adat yang mempunyai nilai-nilai tertentu dalam kehidupan sosial merupakan cara untuk mengumumkan status seseorang untuk diakui sebagai keluarga. Upacara perkawinan adat juga merupakan salah satu cara untuk melegalisasikan suatu status sosial dan menciptakan hak dan kewajiban yang diakui secara hukum.

Tata upacara perkawinan adat yang sarat dengan nilai-nilai tertentu tersebut dari waktu ke waktu selalu mengalami perubahan menyesuaikan dengan keadaan. Untuk mengetahui berbagai perubahan tersebut salah satu yang dijadikan tempat penelitian adalah masyarakat kota Semarang terutama di kalangan generasi muda. Sebelum membahas tata upacara perkawinan adat menurut pendapat kalangan generasi muda , di dalam buku ini diuraikan secara jelas mengenai letak geografi kota Semarang, keadaan penduduk (jumlah, umur, jenis kelamin, agama/kepercayaan, jenis pekerjaan, dan lain-lain), keadaan pendidikan , adat dan tradisi yang masih berlaku dan lain-lain. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah tata upacara perkawinan tradisional itu sendiri. Dari perjodohan yang diatur orang tua (pada jaman dulu), lamaran sampai pelaksanaan perkawinan beserta tata laksananya, tata rias/tata busana dan alat/barang yang digunakan. Hal ini ternyata ada kaitannya dengan pendapat mereka tentang upacara perkawinan tradisional.

Upacara perkawinan tradisional setiap daerah berbeda-beda dan mempunyai ciri khas tertentu. Demikian pula dengan upacara perkawinan tradisional atau adat Semarang. Model pengantin Semarang dengan berbagai upacara yang menyertainya selalu dipadukan dengan beberapa unsur kebudayaan lain. Model pengantin Semarang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Islam dan Cina. Tata rias model pengantin Semarang ada tiga yaitu gaya pengantin kaji (haji), gaya pengantin basahan dan gaya pengantin srumpi. Yang sering digunakan adalah gaya pengantin kaji.

Suatu perkawinan yang sah (diakui masyarakat setempat dan pemerintah) biasanya akan didahului dan diikuti upacara-upacara tertentu yang berkaitan dengan perkawinan itu sendiri. Upacara-upacara tersebut biasanya dilaksanakan sesuai dengan adat budaya masyarakat yang bersangkutan. Tetapi dengan adanya perubahan/kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan ternyata pelaksanaan upacara tradisional tersebut mengalami perubahan. Ada yang berpendapat upacara perkawinan tradisional yang lengkap terlalu lama dan bertele-tele, biayanya banyak sehingga mereka cukup mengambil praktisnya saja. Uang tersebut dapat digunakan untuk hal lain yang lebih penting.

Beberapa responden berpendapat bahwa perkawinan adat merupakan ciri khas budaya setempat yang mempunyai nilai-nilai yang sesuai dengan masyarakatnya. Mereka mengetahui tata upacara perkawinanan adat dan nilai-nilai simbolik di dalamnya karena dikenalkan oleh lingkungannya, (orang tua, kakek nenek, saudara yang lain atau tetangga). Dari situ mereka kenal apa yang namanya lamaran, tukon, midodareni, sajen manten, petungan dina dan lain-lain. Juga cara bersikap dan bertindak (termasuk berdandan dan berpakaian, dilihat dari hubungan persaudaraannya dan lain-lain) apabila terlibat di dalamnya baik hanya sebagai tamu biasa, atau terlibat secara langsung (misal menjadi penerima tamu). Akan tetapi mereka hanya akan datang bila diundang oleh tuan rumah atau yang bersangkutan, karena datang tanpa diundang adalah aib. Diundang pun kalau ada hal lain yang lebih penting akan ijin tidak datang.

Walaupun tata upacara perkawinan tradisional tersebut biayanya sangat besar dan memakan waktu ternyata sebagian besar responden berpendapat hal tersebut masih perlu dilestarikan. Tentu saja dengan merubah atau menghilangkan hal-hal yang sudah tidak sesuai atau sulit dilaksanakan. Masalah kawin muda (yang dulu banyak dilakukan) sebagian besar responden berpendapat sebaiknya dihindari karena dianggap lebih banyak resikonya dibanding menikah pada usia yang sudah matang. Masalah bibit (harus sehat lahir dan batin), bobot (harus berbudi pekerti baik), bebet (harus keturunan orang baik-baik kalau bisa orang yang berpangkat), juga mengalami perubahan. Dulu orang tua kedua belah pihak sangat memperhatikan. Biasanya kedua calon mempelai belum saling mengenal dan keduanya dijodohkan dengan petimbangan-pertimbangan tertentu termasuk bibit, bobot, bebet tadi. Kalau sekarang kedua calon pengantin sudah saling kenal dan orang tua tinggal mengikuti kemauan anak. Sekalipun begitu seorang anak diharapkan mendapat jodoh yang seimbang, bisa saling mengisi dan melengkapi.

Upacara adat perkawinanan tradisional sesungguhnya bukanlah sekedar "pesta" saja karena di dalamnya banyak pesan-pesan yang disampaikan melalui lambang/simbol, yang dipakai dalam upacara tersebut. Kembang manggar (bunga kelapa) merupakan kelengkapan upacara tradisional pengantin Semarang yang sangat penting. Pohon kelapa yang lurus menjulang ke atas mengandung maksud agar mempelai hatinya tidak bercabang dan selalu menyatu. Manggar merupakan bahan pembuat gula jawa mengandung maksud agar mempelai selalu mendapatkan manisnya/kebahagiaan dunia akherat. Pada umumnya pesan-pesan simbolik itu mengandung norma-norma atau aturan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan seseorang. Oleh karena itu apa yang dipesankan biasanya menjadi pegangan hidup dan diwariskan kepada anak cucu.

Upacara perkawinan tradisional tersebut akan tetap ada sepanjang hal tersebut dianggap masih berfungsi oleh masyarakat pendukungnya. Demikian pula dengan upacara perkawinan tradisional Semarang. Agar upacara perkawinan tradisional tersebut tetap lestari perlu diadakan pembinaan-pembinaan baik formal maupun non formal, lebih-lebih pada generasi muda karena pengetahuan mereka tentang upacara perkawinan tradisional secara menyeluruh kurang.




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta