DOLANAN PATHON-1
(PERMAINAN ANAK TRADISIONAL-57)

DOLANAN PATHON-1 (PERMAINAN ANAK TRADISIONAL-57)Istilah Pathon lebih menunjuk ke sebuah permainan tradisional anak-anak yang menggunakan gangsingan. Walaupun sebenarnya dolanan gangsingan tidak hanya menjadi permainan anak masyarakat Jawasaja, tetapi juga menyebar dan dikenal oleh anak-anak dari suku bangsa lainnya di nusantara ini. Suku bangsa lain itu tentu juga mempunyai nama tersendiri untuk menyebut nama gangsingan atau mungkin juga ada yang sama. Gangsingan dibuat dari berbagai bahan, seperti kayu, bambu, atau jenis lainnya.

Pathon, menurut kamus Baoesastra Djawa (WJS. Poerwadarminta, 1939: 479) berarti dolanan gangsingan. Kata jadian /pathon/, berasal dari kata dasar /pathu/ + /an/. Kata dasar /pathu/ yang mendapat awalan /di/ berarti dikenai oleh gangsingan yang sedang berputar’. Jadi dalam dolanan pathon, ada unsur saling mengenai gangsingan yang dimainkan oleh anak-anak, agar ada gangsingan anak yang kalah dan ada gangsingan anak yang menang. Dolanan pathon, yang menggunakan media dolanan gangsingan menjadi sarana kompetisi bagi anak-anak dalam permainan.

Dalam dolanan pathon, jenis gangsingan yang biasa dipakai untuk beradu biasanya jenis gangsingan yang kuat, yang dibuat dari bahan kayu, misalkan kayu sawo, kayu asam, kayu jambu, dan lainnya. Semakin kuat bahannya, biasanya akan semakin menang, misalkan dari galih atau inti kayu, yang biasanya banyak dijumpai pada kayu asam atau kayu mlandhingan (lamtoro). Kayu tersebut dibentuk silinder dengan ujung bawah lebih kecil daripada bagian atas. Biasanya cara membuat dengan cara dibubut atau ditatah. Ujung bawah kemudian diberi paku runcing atau kayu yang berujung tumpul, berfungsi sebagai pangkal putar. Gangsingan berujung paku biasanya lebih tajam yang berfungsi sebagai pemecah gangsingan lawan.

Pada zaman dulu, bahan gangsingan mudah diperoleh di sekitar lingkungan rumah, sehingga bahan tidak perlu membeli. Kemudian bahan-bahan itu dibuat sendiri sebagai karya senisekaligus untuk media bermain. Gangsingan yang terbuat dari kayu menurut bentuknya dibedakan menjadi 2, yaitu gangsingan wedok/wadon (perempuan) dan gangsingan lanang (laki-laki). Disebut gangsingan wedok, jika lebar bagian atas lebih besar daripada panjang gangsingan. Gangsingan lanang, ukuran panjang gangsingan lebih besar dibanding diameter bagian atas. Gangsingan lanang terlihat lebih ramping. Mungkin perbandingannya hampir mirip dengan gunungan lanang dan gunungan wadon, pada saat upacara grebeg. Menurut besar kecilnya, gangsingan dibedakan menjadi 3, gangsingan kecil (tingginya kurang dari 4 cm), sedang (5—6 cm), dan besar (tinggi lebih dari 7 cm).

DOLANAN PATHON-1 (PERMAINAN ANAK TRADISIONAL-57)Kemudian untuk memutar gangsingan dibutuhkan alat yang namanya uwed. Uwed bisa dibuat dari tali lawe atau sobekan kain yang dipintal. Panjang uwed sekitar 1 meter dengan ujungnya diberi simpul atau kepingan berlubang yang berguna untuk menahan gangsingan agar tidak mudah lepas saat akan diputar. Bagian ujung biasanya lebih kecil dibanding bagian pangkal.

Cara bermain gangsingan model seperti ini, biasanya uwed atau tali dililitkan melingkar ke bagian badan gangsingan hingga habis, tinggal bagian ujung yang dikaitkan pada jari. Kemudian, dengan hentakan memutar, gangsingan dilepaskan ke tanah hingga akhirnya berputar-putar di atas tanah.

Pada dolanan pathon, minimal harus dimainkan oleh 2 anak yang agak dewasa, kira-kira berumur 12—20 tahun, atau sebaya kelas V ke atas. Alasannya, karena dolanan ini termasuk dolanan yang mengandung unsur risiko bahaya tinggi, sebab, jika tidak hati-hati, pecahan gangsingan bisa mengenai kaki. Maka selain harus dimainkan oleh anak-anak yang cukup dewasa, penonton juga harus menjauh dari permainan adu pathon.

Masing-masing anak harus membawa sebuah gangsingan yang siap diadu. Biasanya dolanan pathon dimainkan di tanah lapang dengan luas sekitar 5 x 5 meter. Sedangkan untuk mengadu gangsingan, lahan tanah yang dipakai cukup berbentuk lingkaran berdiameter 20—100 cm. Anak-anak bermain pathon, biasanya mengambil hari libur atau senggang, dan dapat mengambil waktu terang, bisa pagi, siang, atau sore hari. Sangat jarang dimainkan pada malam hari, karena tidak akan kelihatan.

Dolanan pathon di wilayah DIY dan JawaTengah, setidaknya sudah dikenal sejak tahun 1939. Buktinya istilah tersebut sudah masuk dalam daftar kamus. Namun jauh sebelum tahun itu, tentunya juga sudah dikenal, hanya saja tidak diketahui dengan pasti, kapan dolanan itu muncul dan dikenal oleh anak-anak masyarakat Jawa.

bersambung

Suwandi

Sumber: Permainan Tradisional Jawa, Sukirman Dharmamulya, dkk., 2004, Yogyakarta, Kepel Press; Baoesastra Djawa, WJS. Poerwaradinta, 1939, Batavia: JB Wolters’ Uitgevers-Maatschappij NV; Suara Pembaruan Daily, 24 Agustus 2007



Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net - Rumah Sejarah dan Budaya


Baca Juga Artikel Lainnya :




Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta