Tembi

Berita-budaya»Pameran Tunggal Lukisan Herjaka HS Kemboel Dewi Sri

18 Dec 2010 09:34:00

Pameran Tunggal Lukisan

Herjaka HS

’Kemboel Dewi Sri’

18 - 31 Desember 2010

di Tembi Rumah Budaya

Jl. Parangtritis Km 8,4 Sewon Bantul

Pembukaan:

Sabtu, 18 Desember 2010, pukul 19.00

Opening act:

Wayang teatrikal ’Ani-Ani’ oleh HMJ Pedalangan ISI Yogyakarta

Closing act:

Pagelaran Wayang Kulit Semalam Suntuk

Lakon: Sri Mulih

Dalang: Restu Wijayadi

Pukul 20.30

***

BIODATA

Petrus Agus Herjaka atau Herjaka HS, lahir di Yogyakarta, 4 Agustus 1957.

Herjaka dikenal sebagai pelukis bertema wayang. Lulusan Sekolah Seni Rupa Indonesia dan Jurusan Seni Rupa IKIP Yogyakarta ini rutin berpameran sejak 1985. Hingga tahun ini sekitar 30 lebih pameran yang diikutinya, baik pameran bersama maupun tunggal.

Pameran bersamanya antara lain diselenggarakan di Galeri Tembi Yogyakarta, Museum Affandi, Taman Budaya Yogyakarta, Bentara Budaya Yogyakarta, serta di Jakarta, Solo dan Bali. Sedangkan pameran tunggalnya antara lain diadakan di Galeri Tembi Yogyakarta dan Jakarta, Taman Budaya Surakarta, Benteng Vredeburg Yogyakarta, Lembaga Indonesia Prancis Yogyakarta, dan terakhir di Phnom Penh Kamboja. Ia juga membuat ilustrasi wayang dalam sejumlah kalender majalah berbahasa Jawa Djaka Lodang dan Jaya Baya.

Dalam dunia seni ia sempat meraih sejumlah penghargaan, yakni Juara Harapan Lomba Lukis Wayang Tingkat Nasional di Jakarta (1988), Penata Iringan Terbaik Lomba Pertunjukan Rakyat se-Daerah Istimewa Yogyakarta (1990), Nominasi Lomba Logo Bank Tabungan Negara di Jakarta (1991), Nominasi Lomba Cipta Lagu Anak-Anak Bank Central Asia di Jakarta (1994), Juara III Lomba Komik Perdamaian Nasional di Semarang (1999), dan Juara I Lomba Komik Sepak Bola di Goethe Institut Jakarta (2006).

Kini ayah empat orang anak ini bekerja di Tembi Rumah Budaya (sejak 1995), selain mengajar seni lukis di SMA Stella Duce II dan seni rupa di SMA Kolese de Britto.

***

PENGANTAR PERUPA

Dewi Sri bagi masyarakat agraris tradisional Jawa dijadikan symbol Dewi Padi. Dewi yang berhubungan erat dengan kesuburan, rejeki dan kesejahteraan. Dengan kepercayaan tersebut, pada rumah-rumah masyarakat tradisional Jawa disediakan ruang khusus untuk bersemayamnya Dewi Sri yang dinamakan Senthong.

Senthong adalah ruangan paling belakang yang terdiri dari tiga bagian yaitu : 1. Senthong kanan (patunggon) digunakan untuk kamar tidur bapak dan ibu pemilik rumah 2. Senthong kiri (lumbung) digunakan untuk menempatkan hasil bumi berupa padi dan palawija. 3. Senthong tengah atau Krobongan. Di senthong tengah ini diletakkan pasren atau pedaringan, yaitu tempat tidur lengkap yang ditata indah, dengan bahan kain bermotif cindhe. Pemilik rumah menggunakan ruangan ini untuk melakukan ritual doa, memohon kepada Tuhan agar Dewi Sri berkenan tinggal dan berbaring di pedaringan yang telah disediakan. Karena dengan bersemayamnya Dewi Sri atau Dewi Padi dipercaya bahwa keluarga yang bersangkutan senantiasa dilimpahi berkah rejeki sehingga hidupnya makmur sejahtera lahir batin.

Walaupun jaman sekarang Dewi Sri tidak lagi ditempatkan di Pedaringan Senthong Tengah, rejeki tetap menjadi tujuan utama orang hidup. Oleh karenanya orang berlomba-lomba mengejar Dewi Sri dan menempatkan diri sebagai hamba dari Dewi Sri, baik secara fisik ngawula wadhuk ataupun non fisik keserakahan.

Kemboel Dewi Sri adalah upacara menikmati anugerah Tuhan yang berupa Dewi rejeki dalam kebersamaan, penuh syukur dan sukacita. Ada kehangatan untuk saling bertegur sapa, ada cinta untuk saling merasakan. Kemboel Dewi Sri adalah upaya membangun sikap optimis untuk menikmati rejeki yang dianugerahkan pada hari ini dan secukupnya, tidak perlu disimpan dan diawetkan untuk hari esok, karena hari esok ada rejekinya sendiri. Kemboel Dewi Sri adalah sarana untuk saling membagi kelimpahan rejeki kepada sesama yang membutuhkan dan juga untuk mendapatkan energy untuk bekerja dan berkarya di dalam hidup dan kehidupan.

Pameran lukisan Dewi Sri adalah upaya untuk merefleksi perilaku manusia dalam nenyikapi keberadaan Dewi Sri sebagai dewi padi, dewi rejeki, dewi kesuburan, dan dewi kesejahteraan di jaman globalisasi.

***

PENGANTAR Tembi RUMAH BUDAYA

Pameran tunggal lukisan Herjaka HS kali ini mengangkat figur Dewi Sri, dewi kesuburan dalam masyarakat Jawa, yang juga dikenal dalam masyarakat Sunda dan Bali. Sesuai dengan gaya khas lukisan Herjaka, Dewi Sri tampil dalam format fisik wayang. Dengan demikian semakin kentallah elemen tradisional pada pamerannya ini. Namun ketradisionalan ini tidaklah mengungkung proses bertutur dan daya ungkapnya, justru Herjaka cukup leluasa bermain dan menjadikannya representasi yang luwes.

Demikianlah misalnya dengan ringan Herjaka mengenakan kostum bikini pada Dewi Sri, yang menjadikannya sebagai perempuan seksi menggoda. Yang satu adalah Dewi Sri mancanegara yang dengan gaya sensualnya menggenggam sebatang padi. Yang lain adalah Dewi Sri yang duduk di punggung orang yang sedang merangkak. Yang pertama, ‘Sri Import’, menjadi ancaman petani lokal melalui para raksasa yang mengelilinginya. Yang kedua, ‘Sri Gendhong’, menjadi dambaan dan penghambaan orang yang hanya berorientasi perut.

Namun sejatinya Dewi Sri tetaplah ibu yang menjadikan padi beranak pinak dan berlimpah ruah. Mungkin karena itulah dalam ‘Sri Import’ Herjaka tidak menampilkan dua Dewi Sri, mancanegara dan lokal, yang saling berkonfrontasi, karena Dewi Sri tetaplah Dewi Sri yang dengan kasih sayangnya melimpahkan produksi alam demi kesejahteraan makhluk ciptaan Tuhan. Barangkali pula lantaran itulah dalam ‘Sri Gendhong’ posisi Dewi Sri menghadap ke belakang, tidak seperti laiknya kusir yang mengendalikan kuda. Sikap menghamba manusia adalah hasil kendali nafsu manusia itu sendiri.

Dalam karya-karya Herjaka, Dewi Sri karenanya senantiasa tampil cantik, anggun dan lembut serta memancarkan ekspresi kesabaran dan kasih sayang, juga semangat memberi dan melayani. Pada ‘Sri Wiji’ yang klasik dan floratik, ia terbang menyebarkan butiran padi ke bumi. Pada ‘Sri Jamu’ yang natural, ia memberikan jamu kepada petani yang tetap setia bertani di tengah arus urbanisasi.

Gugatan Herjaka agaknya lebih pada cara manusia memperlakukan kekayaan alam. Mungkin senada dengan pernyataan Mahatma Gandhi bahwa bumi ini menyediakan kebutuhan cukup bagi semua manusia namun tidak pernah cukup bagi seorang manusia yang serakah. Anugerah Tuhan melalui metafora Dewi Sri seharusnya disikapi dengan rasa dan perilaku bersyukur, yang untungnya masih banyak diterapkan masyarakat. Dalam lukisan Herjaka, kita dapat melihat dua sisi fenomena ini, kesewenang-wenangan dan keserakahan di satu sisi, serta penghargaan dan rasa syukur di sisi lain.

Di satu sisi, kita melihat perayaan apresiasi dan rasa syukur dalam paduan warna-warna yang cerah dan suasana yang hidup. Pada ‘Rame ing Gawe’, usai panen padi orang-orang bekerja menindaklanjutinya dengan riang gembira. Bocah bajang berjalan melintas yang menyimbolkan kerja keras untuk mencapai kesejahteraan lahir batin. Pada ‘Berat Sama Dipikul’, orang-orang memikul Gunungan Lanang dan Gunungan Wadon sebagai tanda rasa bersyukur mereka. Semua kebersamaan ini agaknya juga menyiratkan pesan lain agar manusia mengutamakan kepentingan bersama, bukan kepentingan sendiri yang mengorbankan lainnya.

Di sisi lain, pada ‘Dewi Kesuburan’, Dewi Sri dalam warna coklat tanah yang lembut, yang berbaring tenang dalam ekspresi wajah dan posisi tangan yang mengesankan kedamaian dan kesabaran, dikontraskan sapuan tinta hitam figur keseraman yang mengelilinginya, yang dengan keangkaraannya seperti siap menghabisi sebuah hidangan yang tersaji.

Dalam konteks ini, unsur moral menjadi penting. Tak heran, Semar pun hadir dalam pengadeganan mencari Dewi Sri, dan duduk berhadapan dengan Dewi Sri. Demikian pula unsur cinta, yang selain terkandung pada hampir semua lukisan, juga khusus disimbolkan pada ‘Purnama Sidhi’.

Meneruskan dan mengembangkan simbolisasi tradisional melalui Dewi Sri, ternyata Herjaka memiliki ruang eksplorasi dan imajinasi yang lebih lapang. Meski visualisasi padi tetap padi dan sawah tetap sawah namun dengan mengantropomorfiskannya sebagai Dewi Sri, visualisasinya tidak dibatasi pada bangunan gedung yang mengangkangi sawah atau tikus berdasi yang menyerbu sawah misalnya. Namun justru lebih leluasa mengkreasi metafora-metafora yang berangkat dari kode budaya yang ada dan kenyataan-kenyataan yang ada.

Dalam penjelajahan karakter, ciri dan gaya melukisnya selama ini agaknya Herjaka telah berada di jalur yang tepat. Kepada Herjaka, kami menyampaikan salut dan teruslah berkarya. Selamat berpameran.

***



Artikel Lainnya :


Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta