Membentuk Tata Ruang Kota Yogyakarta nan Humanis
Kesenian bukan hanya mengabdi pada keindahan semata, namun juga menjadi alat komunikasi. Kegelisahan masyarakat bisa tersalurkan atau terkanalisasi melalui kesenian. Seni dapat menjadi media kririk sosial yang konstruktif.
Dari kiri ke kanan: Sani Roychansah, Agung Kurniawan, Sumbo Tinarbuko,
Haryadi Suyuti, dan Hari Dendi
Keberhasilan pembangunan tidak hanya dilihat dari sisi ekonomi dan pembangunan fisik. Tempat-tempat hebat di dunia yang tidak pernah lekang dikunjungi orang hampir semuanya tidak cuma karena keindahannya, tetapi karena keberhasilan adabnya, karena nilai-nilainya.
Sebaliknya tidak peduli seberapa pun meriah pembangunan dijalankan, jika tidak mendedikasikan untuk nilai, tetapi sekadar proyek, ia akan menjauhi kita. Tidak ada rasa atau ruh di dalamnya. Jadi, daya tarik itu tidak terletak pada benda semata.
Penempatan benda-benda, entah itu berupa bangunan, atau apa pun selalu menempati ruang. Kota adalah ruang. Di dalamnya perlu pengaturan yang jelas. Demikian pun dengan Kota Yogyakarta. Tata ruang tidak hanya bisa diisi benda-benda ansich. Ia haruslah diisi dengan tata laku manusia yang hidup dan beraktivitas di ruang itu.
Peserta diskusi Yogya Semesta di Pendapa Kepatihan Danurejan
Ruang kota haruslah memanusiakan manusia dan tidak hanya mengagungkan profit, fungsi, dan efisiensi yang menjadikannya sebagai ruang atau kora ekonomi belaka, lepas dari humanisasi. Yogyakarta, seperti kota-kota besar lain, juga menghadapi permasalahan dalam pengelolaan atau penataan ruang kota.
Hal inilah yang kemudian diangkat dalam Dialog Yogya Semesta Seri ke-62. Dialog tersebut dilangsungkan di Pendapa Wiyatapraja, Kompleks Kepatihan Danurejan, Yogyakarta, Selasa malam, 26 November 2013. Dialog dan gelar seni menghadirkan tiga narasumber yakni, H Haryadi Suyuti (walikota Yogyakarta), Sani Roychansah (Dosen Arsitektur UGM), Agung Kurniawan (Seniman), Sumbo Tinarbuko (Dosen Seni Grafis ISI), dan moderator Hari Dendi (Pengasuh Yogya Semesta). Sementara kesenian yang ditampilkan adalah Tari Pudyastuti dan Karawitan dari SMKI Bugisan asuhan Sunardi.
Agung Kurniawan menyampaikan bahwa kesenian bukan hanya mengabdi pada keindahan semata, namun juga menjadi alat komunikasi. Kegelisahan masyarakat bisa tersalurkan atau terkanalisasi melalui kesenian. Seni dapat menjadi media kririk sosial yang konstruktif. Aspirasai masyarakat dapat tersalurkan dengan indah, mudah, meriah, sederhana, dan menyenangkan. Pada sisi ini pula semua orang bisa terlibat, sementara seniman menjadi fasilitatornya. Demikian pula dalam kaitannya dengan penataan ruang publik.
Tari Pudyastuti persembahan siswi SMK Bugisan Yogyakarta
Sementara Sumbo Tinarbuko menekankan bahwa ruang publik hendaknya memang menjadi milik publik. Privatisasi ruang publik yang terjadi di Yogyakarta sudah cukup memprihatinkan. Orang tidak lagi mengerti makna tentang ruang publik. Seandainya mengerti pun mereka sering abai. Keistimewaan Yogyakarta mestinya juga bisa terlihat dari berkurangnya sampah visual yang menyita ruang-ruang publik Yogyakarta.
Sani Roychansyah mengungkapkan bahwa Kota Yogyakarta mampu muncul sebagai kota yang penuh daya kreativitas dalam mengkritisi dirinya. Masyarakat Yogyakarta sudah mulai gerah dengan kondisi kota yang berkembang dalam tata laku dan tata bangunan yang tidak lagi memberi ruang kepada manusia penghuninya. Sekaranglah saatnya Pemkot Yogyakarta bertindak untuk mengatasi hal-hal yang demikian itu.
Haryadi Suyuti menerima semua kritik dari pembicara dan penanya sebagai bentuk kecintaan dan kepedulian mereka terhadap Kota Yogyakarta. Pemkot terus berupaya untuk menata tata ruang kotanya. Juga menata tata laku penghuninya. Kerja sama dan kepedulian semua pihak sangat dibutuhkan dalam hal ini. Pemkot tentu saja tidak bisa berjalan sendirian. Hakikat keberlangsungan hidup sebuah kota yang nyaman dan humanis adalah tanggung jawab pemerintah dan warga penghuninya.
Karawitan persembahan siswi-siswi SMKI Bugisan Yogyakarta
Naskah & foto:A. Sartono
Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net - Rumah Sejarah dan Budaya
Baca Juga Artikel Lainnya :
- Menjelang 100 Tahun Ismail Marzuki, Gelar karya Monumental Sang Komponis(09/12)
- Bima Dimasak Jadi Bothok(06/12)
- Pameran Seni Grafis Etiket Batik dan Tenun 1930-1990 di Bentara Budaya Yogyakarta(06/12)
- Sri Kresna Marah Karena Dilecehkan Kurawa(04/12)
- Siswa-siswi SDN I Terong Dlingo Menjajal Gamelan Nada Pelog(03/12)
- Pemerintah Banyumas Lakukan Studi Banding di Tembi(02/12)
- Perpisahan Itu(02/12)
- Psychodiva Tari Tradisi ala Aming(02/12)
- Festival Ketoprak DIY 2013 Menyasar Kaum Muda(30/11)
- Tim Penilai Benda Cagar Budaya di Kabupaten Bantul Terbentuk(29/11)
Radio Kombi [ ON AIR ] Sign Up| Lost Password
What is Kombi?