Candu di Jawa pada Awal Abad 19

24 Mar 2016 Berikut ini adalah foto tempat penjualan candu (opium) dan beberapa aktivitas menikmati candu di Jawa. Khusus untuk bangunan (rumah) penjualan candu yang ditampilkan dalam foto ini memang terasa tidak menunjukkan ciri-ciri spesifik dari sebuah rumah (tempat) penjualan candu. Barangkali tempat penjualan candu memang tidak menyolok di zaman itu. Bangunannya lebih mirip rumah hunian biasa. Bahkan difoto itu bangunan rumah penjualan candu itu terbuat dari bambu (gedhek).

Papan nama (yang mungkin menunjukkan tentang rumah penjualan candu) tidak begitu menyolok. Dinding gedhek di depan bangunan yang tampak dalam foto itu pun kelihatan telah bolong-bolong di beberapa sisi. Dinding gedhek di depan bangunan itu mungkin menjadi semacam kelir atau tabir agar orang yang pergi untuk membeli candi di rumah atau warung candu itu tidak begitu kelihatan oleh orang lain (semacam menjaga nama baik).

Untuk menjalankan praktek monopoli penjualan candu Belanda (VOC) menerapkan sistem yang disebut Amfioen Societeit. Sistem ini kemudian digantikan lagi dengan sistem Amfioen Directie kemudian berubah sistem lagi menjadi Opiumpacht. Opiumpacht diganti lagi menjadi sistem Opiumregie.

Pabrik opium pertama kali beroperasi di Kramat, Batavia pada tahun 1893. Candu produksi pemerintah kolonial Belanda ini diberi merk “opium regie”. Ukuran yang dipakai candu regie adalah mata, misalnya ½ mata, 1 mata, 5 mata, 12 ½ mata dan 25 mata serta masing-masing diberi kode A, B, C, D, E, dan F.  Selain itu pemerintah kolonial juga menjual jenis candu lain yang disebut jicing dan jicingko. Jicing adalah residu pembakaran candu yang dimasak dengan campuran daun awar-awar yang dikeringkan lebih dulu. Nama lain dari jicing ini dikenal dengan nama tike. Sedangkan jicingko atau klelet adalah residu dari jicing yang dimasak dengan air.

Tempat penjualan candu umumnya dipegang oleh Mantri Candu yang ditunjuk oleh pemerintah kolonial. Tempat penjualan candu biasanya didirikan di lokasi yang dianggap strategis dan mudah dijangkau seperti dekat pasar, dekat perkebunan, dan dekat pelabuhan. Umumnya tempat itu akan dilengkapi dengan tulisan yang berbunyi “Kantor Penjualan” dalam bahasa Belanda, Indonesia, dan daerah setempat.

Penjualan candu umumnya dilaksanakan mulai pukul 12 siang sampai 10 malam. Sementara pada hari-hari Minggu atau hari besar lain tempat penjualan ini ditutup. Pemerintah kolonial juga menunjuk tempat memakai/menikmati candu yang di Jawa dikenal dengan nama bambon peteng. Tempat ini memang tertutup rapat dan gelap (peteng). Hanya ada satu pintu masuk pada bambon peteng. Kecuali itu, tidak setiap orang boleh masuk, kecuali pemilik, konsumen candu, dan orang-orang yang telah mengantongi izin tertulis dari pemerintah setempat. Di dalam bambon peteng (warung candu) juga disediakan alat penghisapnya (semacam bong), pelita, tempat tidur, dan daun awar-awar. Alat dan benda tersebut disewakan. Penghisap candu juga dilarang berjudi atau jenis permainan lainnya. Pelanggaran terhadapnya dapat dikenai sanksi denda 100 gulden atau izinnya dicabut.

a.sartono

Dua penikmat candu dengan bedudan/alat penghisap di sebuah ruang/tempat yang khusus untuk keperluan itu, foto: a.sartono, foto diambil dari buku Woodbury & Page: photographers Java karya Steven Wachlin, terbitan KITLV Press, Leiden tahun 1994 Penikmat candu dan wanita yang melayaninya, foto: a.sartono, foto diambil dari cover buku Candu Tempo Doeloe: Pemerintah, Pengedar, dan Pecandu 1860-1930 karya James R. Rush terbitan Komunitas Bambu, Jakarta, 2012 Profil salah satu rumah tempat penjualan candu di Jawa, foto: a.sartono, foto diambil dari buku De Javaansche Vosrtenlanden in Oude Ansichten karya HJ. Graaf terbitan Europese Bibliotheek, Zaltbommel, 1970 EDUKASI

Baca Juga

Artikel Terbaru

  • 20-08-16

    Mangut Beyong di War

    Ada cukup banyak kuliner khas, unik, yang sesungguhnya berangkat dari menu-menu tradisional Jawa. Salah satunya adalah mangut ikan salem (sejenis... more »
  • 20-08-16

    Kisah Kemuliaan Hati

    Judul         : Sita. Sedjarah dan Pengorbanan serta Nilainja dalam Ramayana Penulis       : Imam Supardi... more »
  • 20-08-16

    Ada Tiga Hari Baik P

    Pranatamangsa: mulai 25 Agustus memasuki Mangsa Surya III Mangsa Katelu, usia 24 hari, sampai dengan 17 September 2016. Candrane: Suta Manut ing Bapa... more »
  • 20-08-16

    Macapatan di Museum

    Sri Sultan Hamengkubuwana II adalah salah satu raja di Yogyakarta yang disegani oleh Belanda di kala itu.  Ia mewarisi sikap ayahnya, yakni... more »
  • 19-08-16

    Hardi: Sang Presiden

    Sekitar pertengahan 2000-an, saya pernah melihat sebuah gambar yang terpampang di tangga rumah seorang sastrawan yang kebetulan saya kenal secara... more »
  • 19-08-16

    Wisuda MC Jawa Lanju

    Para wisudawan kursus Panatacara Pamedharsabda MC Basa Jawa di Tembi Rumah Budaya angkatan IX rupanya mempunyai pandangan yang hampir sama. Kesamaan... more »
  • 18-08-16

    Obituari Slamet Riya

    Mestinya, pada  Sastra Bulan Purnama edisi ke-59, yang  digelar 18 Agustus 2016, pukul 19.30  di Tembi Rumah Budaya,  Slamet... more »
  • 18-08-16

    Peserta Badan Diklat

    Sebanyak 80 orang SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) baik provinsi, kabupaten, dan kota dari seluruh Indonesia yang berkunjung ke Tembi Rumah... more »
  • 16-08-16

    Karyawan Bir Bintang

    Menjelang maghrib hari Kamis 11 Agustus 2016, Tembi Rumah Budaya dikunjungi oleh karyawan PT Bir Bintang Jakarta sejumlah 100 orang. Mereka datang ke... more »
  • 16-08-16

    Suara Malam dan Peso

    Sastra Bulan Purnama edisi ke-59, yang akan diselenggarakan Kamis, 18 Agsutus 2016, pukul 19.30 di Tembi Rumah Budaya, Sewon, Bantul, Yogyakarta akan... more »