Pabrik Gula Demakijo di Yogyakarta Pernah Menjadi Kamp Penahanan Orang Belanda

Oleh: A. Sartono - 10 0 Facebook - Twitter - Pinterest - WhatsApp

Dari 19 buah pabrik gula yang pernah berdiri di Yogyakarta, Pabrik Gula (PG) Demakijo (Demakidjo) merupakan salah satunya. Pabrik ini berada di Desa/Kelurahan Banyuraden, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, DIY.

PG Demakijo dibangun pada tahun 1905 oleh NV Cultuur Maatschappij der Vorstrenlanden. Biro teknik E Rombout lah yang membangun parbik itu sekaligus pemasangan mesinnya. Guna kelancaran pengangkiutan produksi gula PG Demakijo terhubung  dengan Stasiun Patukan melalui jalur kereta api milik Staatspoorwegen. Perlu diketahui bahwa Stasiun Patukan merupakan salah satu stasiun terdekat dengan Stasiun Tugu pada sisi barat.

Ketika krisis ekonomi global melanda dunia terjadi pada dekade 1930-an, PG Demakijo juga terkena dampaknya. Oleh karena itu, PG Demakmijo melakukan pengurangan karyawan. Bahkan pada tahun 1937 PG Demakijo ditutup sedangkan karyawannya dipindahkan ke Pabrik Gula Rewulu (Sidomulyo, Godean, Sleman) dan Pabrik Gula Padokan (Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul).

Pada tahun 1944-1945 PG Demakijo pernah digunakan sebagai kamp internir (tahanan) untuk orang-orang Belanda. Menjelang Agresi Militer Belanda II (1948) PG Demakijo pernah pula dijadikan sebagai pabrik senjata oleh para pejuang RI. Pada saat Agresi Militer Belanda, PG Demakijo kemudian dibumihanguskan oleh para pejuang agar bangunan ini tidak digunakan sebagai markas militer Belanda.

Setelah peristiwa-peristiwa di atas, bisa dikatakan kompleks PG Demakijo tidak meninggalkan sisa bangunan apa pun. Pada bekas lahan pabrik tersebut kemudian menjadi Markas Kompi Senapan C 403. Begitupun areal bekas rumah dinas pejabat/karyawan pabrik.

Berdasarkan data dalam buku “Suikerkultuur: Jogja yang Hilang”, yang disusun oleh Hermanu dan diterbitkan oleh Bentara Budaya Yogyakarta (2018), di kawasan PG Demakijo juga pernah didirikan rumah sakit pembantu (hulphospitaal). Rumah sakit tersebut dibuka pada tahun 1925 dengan biaya operasional yang ditanggung oleh PG Demakijo dan PG Rewulu. Rumah sakit itu ditutup akibat krisis ekonomi global, dan pada tahun 1935 diambil alih oleh Zendingziekenhuis Petronela (Rumah Sakit Bethesda).

Konten Terkait: Tradisi Tanam Padi, Seru Juga Dilombakan