Pradnya “Mita” Paramita Fotografer Spesialis Wayang Orang

28 May 2015

Pada awalnya Mita – begitu panggilan akrab dia - rajin menonton pentas WO Bharata setiap pulang kantor. Namun ketika menonton pertunjukan itu perempuan kelahiran Jakarta 21 April tersebut menyadari tidak adanya seksi dokumentasi. Akhirnya dengan bermodal kemampuan memotret secara otodidak, Mita menawarkan diri untuk membantu Wayang Orang Bharata sebagai seksi dokumentasi.

Berawal dari kesukaan Theodora Kartini Pradnya Paramita pada wayang dan karakter wayang semenjak kecil, mendorong dia dengan sukarela selama 16 tahun dari tahun 1999 mengabadikan banyak momen seni pertunjukan wayang di Indonesia, khususnya pentas kelompok Wayang Orang (WO) Bharata.

Pada awalnya Mita – begitu panggilan akrab dia - rajin menonton pentas WO Bharata setiap pulang kantor. Namun ketika menonton pertunjukan itu perempuan kelahiran Jakarta 21 April tersebut menyadari tidak adanya seksi dokumentasi. Akhirnya dengan bermodal kemampuan memotret secara otodidak, Mita menawarkan diri untuk membantu Wayang Orang Bharata sebagai seksi dokumentasi secara sukarela di luar pekerjaan dia di bidang Network Infrastructure bagian logistik.

Mengabadikan pentas WO Bharata dari tahun ke tahun membuat Mita juga mengalami kemajuan dalam kemampuan memotret. Dia mengakui bahwa pada awal memulai dokumentasi tersebut ada beberapa kendala yang dia temui, mulai dari bentuk panggung yang masih terbilang lama, tata cahaya lampu minimalis, padahal saat itu dia sangat membutuhkan cahaya yang cukup memadai guna menghasilkan foto yang bagus.

Selama 16 tahun sudah banyak sekali lakon wayang yang dia abadikan, namun yang paling berkesan buat dia adalah Lakon Wayang Kakung yakni wayang laki-laki memerankan wayang perempuan serta menggunakan teknik zaman dulu menggunakan banyak cermin untuk memantulkan serta memperbanyak bayangan orang sehingga seolah-olah yang terlihat ada seribu orang d iatas panggung. Namun, foto pementasan tersebut hilang akibat laptopnya dicuri orang, belum lagi harus kehilangan satu tas kameranya yang berisikan foto-foto serta barang penting ketika bertugas.

Sejumlah pengalaman tidak menyenangkan tersebut tetap tidak mematahkan semangat Mita apalagi sampai merasa bosan atau jenuh atas apa yang dia lakukan. Bagi dia mengabadikan momen pertunjukan wayang membawa banyak pengalaman baru serta membuka kesempatan bagi dirinya bertemu banyak orang yang selama ini hanya bisa dia lihat di televisi atau majalah saja misalnya dari maestro wayang klasik di Solo sampai kaum sosialita Jakarta.

Bagi Mita memotret wayang bukan hanya fokus mengabadikan ekspresi atau keindahan tata panggung serta kostum, tetapi juga melatih diri untuk mengetahui dan mempelajari rangkaian cerita atau lakon yang sedang dipertunjukkan. Dengan mengetahui cerita ia bisa melihat momen yang memang baik untuk diabadikan, apalagi profesi fotografer wayang di Indonesia masih sangat sedikit jumlahnya, dan hal itulah yang terus memacunya untuk berkarya dengan sebaik-baiknya

Beatrix R Imelda S 
Foto: Dokumentasi Pradya Paramita

Pradnya Paramita “Rekam Cerita Wayang Lewat Foto”, 22 Mei 2015 caption foto : Mita ketika bertugas di Gladi Wayang Jurnalis, sumber foto : Beatrix Imelda Pradnya Paramita “Rekam Cerita Wayang Lewat Foto”, 22 Mei 2015 PROFIL

Baca Juga

Artikel Terbaru

  • 19-09-15

    Merti Bakpia 2015 Me

    Grebeg Bakpia ini diawali dengan kirab gunungan bakpia lanang (lelaki) dan gunung bakpia wedok (perempuan). Keseluruhan kue bakpia yang digunakan... more »
  • 19-09-15

    Konser Reog N Roll B

    Konser musik dianggap paling efektif untuk menyampaikan pesan sosial kepada masyarakat. Atas dasar itulah Kementerian Pariwisata menggandeng grup... more »
  • 19-09-15

    Nasi Goreng Mafia, S

    Ada beragam menu yang disajikan. Semua dengan nama berbau mafia. Nama-nama sangar ini sekaligus mencitrakan kesan menyengat, pedas, atau panas yang... more »
  • 19-09-15

    Naga Dina Senin Pon

    Pada bulan Besar ini ‘naga tahun’ dan ‘naga jatingarang’ menyatu di utara. Sedangkan tempat ‘naga dina’ berubah-ubah sesuai dengan hari dan pasaran.... more »
  • 18-09-15

    Liputan Majalah Kaja

    Gedung Kesenian Sobokarti dibangun oleh Belanda pada tahun 1930 yang aslinya bernama Volkstheater Sobokarti yang berarti tempat berkarya. Gedung ini... more »
  • 18-09-15

    Terima Kasih Bu Susi

    Acara penutupan pameran ini terasa istimewa karena tidak saja dilakukan oleh menteri, namun juga karena diiringi acara yang relatif lebih banyak dari... more »
  • 18-09-15

    Yogyakarta Night at

    Komunitas anak-anak muda ini telah menunjukkan aksi konkret dalam upaya memperkenalkan dan mencintai museum kepada publik. Dengan acara yang... more »
  • 17-09-15

    Arwinto Bersorban Aw

    Dalam antologi ini terdapat 101 puisi, yang dibagi dalam dua bab. Pada bagian pertama diberi judul “Pulang Ke Tubuh Sendiri” dan bagian kedua... more »
  • 17-09-15

    Jembatan Nambangan-N

    Hal yang menarik dari Jembatan Nambangan-Nangsri ini adalah pintu plat baja yang cukup besar. Pintu ini ditempatkan di ujung jembatan di wilayah... more »
  • 17-09-15

    Kegelisahan Rence Al

    Dampak sosial orkes ini juga nyata dirasakan. Dua kampung bertetangga yang sebelumnya bertikai akhirnya malah kini berdamai karena keduanya terlibat... more »