SEJARAH PLERED IBU KOTA MATARAM (II)
(Rh. Widada)
Saya akan membangun kota di Plered (Amangkurat 1)
ERA MATARAM Plered di bawah Amangkurat I memang terasa getir dan kelam. Begitu banyak rakyat dikorbankan demi memuaskan ego sang penguasa. Jika kita bandingkan dengan era sebelumnya, masa Sultan Agung (1613-1645) yang gemilang, pemerintahan Raden Mas Jibus atau Amangkurat I itu benar-benar menjadi antiklimaks bagi keperkasaan Mataram.
Dan hal itu juga menjadi ironi bagi Sultan Agung. Raja gagah dan cerdas yang dua kali menyerang markas VOC di Batavia pada 1628 dan 1629 itu hanya menurunkan raja pengganti yang lemah dan kekanak-kanakan. Daripada menebarkan kekuasaan ke luar Mataram, Amangkurat I, putra Sultan Agung itu, malahan sibuk membangunjagang-jagang atau parit-parit pertahanan di sekeliling Kraton. Dengan begitu, dia secara pribadi merasa aman dari ancaman-ancaman luar.
Konon, karena kekhawatiran sang raja akan keselamatan dirinya itu pula, maka begitu malam tiba seluruh kompleks Kraton dibersihkan dari laki-laki. Ya, kecuali tentu saja Susuhunan Amangkurat I sendiri. Dan ribuan wanita, dari abdi dalem, gadis palara-lara, selir, istri-istri, hingga permaisuri dan prajurit pengawal, semua siap melayani dan melindunginya. Tugas pengawalan itu dilakukan oleh tiga puluh prajurit wanita yang cantik! Mereka disebut prajurit Trinisat Kenya.
Sikap kekanak-kanakan Sang Susuhunan pun terlihat dalam perilakunya yang meledak-ledak dan tanpa pikir panjang. Amangkurat I gampang sekali menjatuhkan vonis mati kepada siapa pun yang dianggap bersalah atau menghalangi kehendaknya. Tak peduli apakah itu saudaranya (Pangeran Alit), mertuanya (Pangeran Pekik), inang dan abdi dalem Keputren, apa lagi rakyat biasa (ribuan ulama pengikut Pangeran Alit, Ki Dalem yang istrinya direbut oleh Amangkurat I dsb.), semua dibunuh jika dianggap menentang sang raja. Yang menggelikan, Susuhunan pernah secara serta merta memerintahkan untuk menebang delapan belas pohon beringin di Alun-alun karena pohon-pohon itu menghalanginya bermain layang-layang! Demikian catatan yang dibuat Jonge dalam Opkomst, Jilid VI hlm.94.
Kraton Plered itu sendiri boleh dikatakan lahir karena ego seorang anak yang tak mau tinggal di tempat kediaman ayahnya. Simaklah bagaimana Babad Tanah Jawi berkisah tentang perpindahan kraton Mataram dari Karta ke Plered.
Segenap rakyatku, buatlah batu bata! Saya akan pindah dari Karta, karena saya tidak mau tinggal di bekas (kediaman) ayahanda. Saya akan membangun kota di Plered. Demikian sabda Amangkurat I tidak lama setelah naik tahta pada 1646.
Sabda pandita ratu! Titah sang raja memang harus terwujud. Bahkan jika hal itu harus mengorbankan kehidupan dan kesejahteraan rakyat. Maka tahun-tahun berikutnya, hingga berbilang belasan tahun, adalah serangkaian panjang pembangunan pusat nagari Mataram yang bernama Plered itu.
Seolah tanpa henti ribuan rakyat dikerahkan untuk membangun benteng kraton, masjid, hutan perburuan (krapyak), serta makam-makam keluarga raja. Yang paling terkenal adalah pembuatan bangunan-bangunan air dan laut buatan (Segarayasa) di sebelah tenggara Kraton. Nama Plered sendiri konon berarti tanggul.
Begitulah, Plered adalah pusat kota Mataram yang dikepung laut buatan dan batang-batang air. Gambaran itu sungguh memesona. Namun, siapa sangka begitu banyak kisah pilu terjadi di sana. Dan kelak, Plered pun runtuh secara mengenaskan.
Runtuhnya Istana Plered
Pada 28 OKTOBER 1662 Residen Jepara, Luton, menerima surat yang sebagian isinya meramalkan gonjang-ganjing Kerajaan Mataram Plered. dapatlah diperkirakan suatu saat Raja (Amangkurat Ired.) akan mengalami keguncangan besar dalam kerajaannya. (Afgand briefboeksurat Kompeni dari Batavia ke Belanda, 1662, hlm. 557). Tetapi sebelum saatnya tiba, sejarah harus menunggu lima belas tahun lagi untuk mencatat keruntuhan itu.
Ramalan itu masuk akal. Isyarat-isyarat buruk itu memang sudah tampak sejak suksesi kekuasaan. Sejak awal, konsolidasi politik Mataram di bawah Amangkurat I tidak cukup kuat. Raja banyak berkonflik dengan kerabatnya, misalnya dengan Pangeran Alit (adiknya), Pangeran Silarong dan Pangeran Purbaya (paman-pamannya).
Susuhunan pun kerap menyingkirkan punggawa yang cakap mantan orang kepercayaan Sultan Agung, yakni Tumenggung Singaranu dan Pangeran Purbaya. Sebagai gantinya, dia justru mengangkat orang yang cuma gemar menjilat seperti Wirapatra.
Menjelang tamat kekuasaannya, Amangkurat I banyak berkonflik dengan putra mahkotanya. Antara lain ialah berebut perempuan! Hal itu bertambah runyam karena keenam putra Amangkurat I pun ternyata bermusuhan, baik itu terselubung maupun terang-terangan. Celakanya lagi masing-masing pangeran memiliki pengikut yang setia!
Semua itu merapuhkan Mataram dari dalam. Politik luar negeri pun berjalan buruk. Amangkurat I banyak melakukan klaim kekuasaan sepihak ke daerah-daerah seberang seperti Palembang, Jambi, Sukadana (Kalimantan), Banten, Batavia, dan Blambangan. Tapi, semua itu hanyalah anggapan pongah Mataram, tanpa ada bukti. Nafsu besar tenaga kurang!
Kompeni di Batavia memang membayar upeti ke Mataram. Tapi itu semu belaka, bukan tanda takluk. Banten tetap aman di ketiak Batavia. Blambangan lepas dari Mataram kemudian menjadi mangsa Bali, atau menjadi kerajaan kecil. Di luar Jawa, satu-satunya yang tetap setia hingga keruntuhan Mataram hanyalah Palembang. Itu pun karena Palembang merasa takut dengan musuh Mataram, yakni Banten dan Jambi yang sedang berkembang. Setelah 1660 boleh dikata tidak ada lagi sisa kekuasaan Mataram di luar Jawa.
Maka keruntuhan Mataram Plered tinggal menunggu waktu. Apalagi di sekitar pusat Mataram sendiri telah bersiaga kekuatan-kekuatan lokal yang secara tradisional menjadi ancaman bagi wangsa Mataram. Mereka adalah klan Ki Ageng Giring (Gunung Kidul) dan klan Panembahan Kajoran (Tembayat Klaten).
Menurut mitos, Ki Ageng Giring adalah pemilik kelapa bertuah yang airnya bisa menjadikan orang yang meminumnya menurunkan raja-raja Jawa. Tetapi karena suatu kebetulan, justru Ki Ageng Pemanahansahabat Giringyang meminum air kelapa itu. Giring kecewa. Tapi apa boleh buat, air kelapa itu sudah habis! Pemanahan kemudian berjanji bahwa keturunan Giring kelak juga mendapatkan tuah air kelapa itu, meski hanya satu kali.
Adapun Panembahan Kajoran menjadi ancaman serius karena punya kekuatan spiritual dan sakti. Dialah keturunan Sunan Tembayat, tokoh spiritual yang disegani. Sultan Agung sendiri pada 1633 berziarah ke makam Sunan Tembayat untuk memperoleh semacam berkah. Apa jadinya jika Kajoran itu didukung Trunajaya, menantunya dari Madura?
Berbagai kekuatan itu, dan jebolnya tanggul kesabaran rakyat melawan tekanan penindasan, seolah bergabung untuk menjungkirkan tahta Mataram. 28 Juni 1677 Plered jatuh. Amangkurat I melarikan diri bersama sedikit pengikut dan kerabatnya serta sejumlah harta pusaka kerajaan ke arah barat. Enam belas hari rombongan raja yang kalah itu tersaruk-saruk melalui Imogiri, Jagabaya, Rawa, Bocor, Petanahan, Nampudadi, Pucang, Ambanan, Banyumas, Ajibarang, hingga akhirnya di Winduaji Susuhunan meninggal, lalu dimakamkan di Tegalwangi pada 13 Juli 1677.