SEJARAH PLERED IBU KOTA MATARAM (I)
(Rh. Widada)

SEJARAH PLERED IBU KOTA MATARAM (I)Plered bekas ibu kota Mataram pada masa Amangkurat 1 kini hanya tinggal nama. Tak banyak peninggalan sejarah yang berupa bangunan-bangunan atau benda fisik lain. Artikel singkat ini berupaya memberrikan sekelumit gambaran tentang Plered pada masa Amangkurat itu. Ini merupakan hasil sampingan dari riset saya untuk menulis novel Gadis-gadis Amangkurat (Terbit Maret, 2011, Penerbit Narasi)

Kota Indah yang Menyimpan Tragedi

PLERED, pusat Kerajaan Mataram masa Amangkurat I (1646-1677) yang terletak +12 km ke arah tenggara dari kota Yogyakarta, dalam imajinasi historis boleh jadi merupakan ibu kota Mataram yang paling cantik dibanding masa sebelum dan sesudahnya. Bayangkanlah sebuah kompleks istana dengan danau buatan yang sangat luas dan batang-batang air di sekelilingnya, juga Pegunungan Seribu sebagai latar belakangnya! Itulah gambaran yang muncul dalam babad-babad dan catatan kolonial Belanda.

Namun, di balik keindahannya, Plered adalah panggung sejarah yang pernah mementaskan banyak drama kolosal yang tragis dan membuat ngungun. Tragedi politik, sosial, kemanusiaan, dan tragedi cinta (!) dengan tumbal yang kelewat besar pernah mengharu biru Plered yang kini hanya menjadi kota kecamatan di Bantul itu.

Konon, misalnya, 5000--6000 santri, ulama, dan para pengikutnya (termasuk ibu dan anak-anak) tewas dibantai atas perintah Amangkurat I. Peristiwa itu tidak lama terjadi setelah dia naik tahta. Alasannya, mereka itu adalah pengikut Pangeran Alit, adik sang raja yang dianggap membangkang dan telah pula dibunuh. Demikianlah menurut catatan Rijklof van Goens, utusan VOC untuk Mataram pada 1648-1654.

Plered juga menyimpan kisah-kisah cinta yang tragis. Misalnya kisah Nyi Truntum (Ratu Malang), Rara Hoyi, putri Surabaya yang menjadi rebutan antara Amangkurat I dan putranya. Dapat pula ditambahkan kisah legendaris Rara Mendut dan Pranacitra.

Kini, semua hiruk pikuk sejarah itu lenyap tanpa bekas. Kraton Plered hanya menyisakan situs sumur gumuling yang terletak di Dusun Kedaton, beberapa umpak (penyangga tiang) Masjid Agung, reruntuhan benteng kraton, dan tanah-tanah tinggi bekas tanggul. Selebihnya, pusat Mataram ini hanya tinggal nama yang dimiliki dusun-dusun seperti Kedaton, Keputren (tempat para putri), Kanoman (tempat putra-putra kerajaan), Kauman (tempat ahli agama), Sampangan (tempat Pangeran Sampang Madura), Gerjen (tempat abdi dalem gerji tukang jahit), Segarayasa (laut buatan), Pungkuran (belakang kraton).

Situs yang relatif masih cukup lengkap adalah makam Ratu Malang. Situs ini terletak di Gunung Kelir. Ketinggiannya 29 m di atas permukaan laut. Makam ini merupakan bangunan terakhir yang dibuat Amangkurat I, yakni pada 1668.

Tentang Ratu Malang ini, Babad Tanah Jawi dan Serat Kandha bercerita begini. Susuhunan Amangkurat bertitah agar dicarikan wanita cantik. Pangeran Blitar mencalonkan Nyi Truntum, putri Ki Wayah. Namun ternyata Nyi Truntum sudah bersuamikan Ki Dalem, seorang dalang wayang gedok. Sang Susuhunan tak peduli, bahkan ketika diketahuinya bahwa Nyi Truntum sedang hamil dua bulan. Truntum tetap dijadikan istri dan diberi gelar Ratu Wetan. Raja benar-benar kesengsem padanya dan melupakan istri-istri lain. Inilah sebabnya Truntum dijuluki Ratu Malang (ratu yang menghalangi istri lainnya).

Setelah Ratu Malang melahirkan, Sang Susuhunan makin mencintainya. Ia bahkan menitahkan untuk membunuh bekas suami Nyi Truntum sehingga perempuan ini merana. Dia jatuh sakit dan meninggal dengan gejala-gejala mencurigakan: muntah dan berak encer. Raja mencurigai istri dan selir-selir lain bersekongkol meracuni Ratu Malang. Tak ayal lagi, mereka semua dikurung oleh Susuhunan sampai mati kelaparan.

Jenazah Ratu Malang dikuburkan di Gunung Kelir. Susuhunan melarang siapa pun menutup kuburnya. Siang malam ia menunggui lahad yang terbuka itu. Kerajaan kacau. Susuhunan baru mau kembali ke Kraton setelah bermimpi bahwa Ratu Malang telah kembali kepada bekas suaminya. Dan jenazahnya didapati sudah membusuk pada keesokan harinya.

bersambung