Membaca Puisi di Tembi Rumah Budaya
Bersama Sapardi Djoko Damono

Membaca Puisi di Tembi Rumah Budaya Bersama Sapardi Djoko Damono

Bagaimana membuat puisi yang indah, yang sarat akan makna, sulit dimengerti dan menggunakan kata-kata sastra yang indah? Bukan itu yang dibagi Sapardi Djoko Damono dalam acara Bicara Santai Soal Sastra Bersama Sapardi Djoko Damono di Tembi Rumah Budaya, Gandaria Jakarta kemarin. Nama acaranya saja sudah bicara santai, jadi tidak ada pembahasan seperti yang ia lakukan didalam kelas saat mengajar sebagai dosen. Malam itu terasa hangat dan akrab, dengan sabar Sapardi menjawab satu persatu pertanyaan dari peserta yang datang dari Semarang, Jakarta dan sekitarnya.

Membaca Puisi di Tembi Rumah Budaya Bersama Sapardi Djoko Damono

Banyak orang suka puisi tapi takut membuat puisi, itu lah yang banyak terjadi pada banyak orang menurut Sapardi. Padahal saat jatuh cinta, patah hati, saat senang, saat sedih orang sangat mudah merangkai kata dan akhirnya menjadi sebuah puisi. Setiap hari, manusia sebenarnya menciptakan sastra, ada yang lisan, ada yang ditulis, ada yang diketik di komputer, ada yang diketik di handphone, dimana saja dan kapan saja, karena itu tidak perlu khawatir puisi yang dibuat tidak bagus, tidak indah dan lainnya, kata pria kelahiran 20 Maret 1940 ini. Beliau juga menambahkan, puisi sebenarnya bisa sangat sederhana, bisa dibuat dengan penuh makna, bahkan bisa dibuat tanpa makna apapun tergantung pada si pembuat.

Membaca Puisi di Tembi Rumah Budaya Bersama Sapardi Djoko Damono

Seperti contoh puisi yang terdapat dalam bukunya Bilang Begini, Maksudnya Begitu karya penyair Li Bai.

Kupegang botol arak di sela-sela bunga-bunga
Minum sendirian saja, disekitarku seorang pun tiada,
Kuangkat botolku tinggi-tinggi dan kuajak bulan minum bersama;
Kami bertiga: aku, bulan, dan baying-bayangku.
Tapi bulan tak tahu nikmatnya arak
Dan bayang-bayangku hanya bisa mengikut saja.
Kuanggap saja mereka berdua temanku.
Saat serupa ini harus dinikmati sepuas-puasnya.
Bulan sempoyongan ketika kunyanyikan beberapa lagu.
Bayang-bayangku tampak kebingungan ketika aku menari-nari,
Kami minum bersama ketika aku masih sadar,
Kalau aku sudah mabok kami pun berpisah.
Sejak kini kami bertiga selalu berpesta,
Semoga kami juga bertemu di Bima Sakti sana.

Membaca Puisi di Tembi Rumah Budaya Bersama Sapardi Djoko Damono

Menurut Sapardi, puisi bisa saja berasal tentang peristiwa sehari-hari, puisi diatas hanya mengungkapkan betapa nikmatnya mabuk-mabukan yang disampaikan dengan cara menggelikan. Puisi tidak harus menafsirkan nasihat, tetapi bisa saja dari berbagai jenis peristiwa mulai dari yang menyedihkan sampai menggelikan. Malam di Tembi semakin larut, kemudian satu persatu peserta yang hadir meskipun tidak semua membacakan puisi buatannya didepan Sapardi, ia kemudian mulai mengomentari puisi dari peserta satu persatu, tidak ada puisi yang buruk, tidak ada puisi yang jelek, semua baik, hanya saja jika ingin lebih baik lagi sebaiknya puisi diberikan bumbu, seperti metafora atau atau kesamaan bunyi pada akhir kata.

Membaca Puisi di Tembi Rumah Budaya Bersama Sapardi Djoko DamonoMembaca Puisi di Tembi Rumah Budaya Bersama Sapardi Djoko Damono

Sapardi juga mengatakan, sastra itu mengkonkritkan sesuatu yang abstrak. Baginya menulis puisi seperti orang melukis, seperti coretan-coretan bagi pelukis, ia menyusun kata demi kata sampai susunan huruf itu menjadi bermakna, selanjutnya Sapardi menyerahkan kepada pembaca untuk memaknai sendiri. Jadi teruslah membuat puisi jangan pernah menyerah dan jangan pernah takut membuat puisi. Acara malam itu di tutup dengan musikalisasi puisi oleh Reda Gaudiamo, penyanyi yang sudah sejak lama mengaktualkan sajak-sajak milik Sapardi lewat lagu.

Membaca Puisi di Tembi Rumah Budaya Bersama Sapardi Djoko Damono

Natalia