Konser Dewa Budjana
Banyak "Artis"

Konser Dewa BudjanaNama gitaris handal, Dewa Budjana sudah tak asing khususnya bagi pecinta musik tanah air. Tak hanya terkenal dengan band Giginya, Budjana juga pernah bergabung dengan kelompok-kelompok musik Indonesia, di antaranya adalah Squirrell (1980-1985), Spirit (1989 -1992), Java Jazz (1993-1994). Tak cukup sampai disitu, pria yang biasa disapa bli budjana ini juga aktif berkreasi seorang diri memproduksi album intrumental solo gitarnya. Sebut saja Nusa Damai (1997), Gitarku (2000), Samsara (2003), dan Home (2006), di samping sebuah album rohani bertajuk Nyanyian Dharma (1998).

Dan kemarinKonser Dewa Budjana, entah kebetulan atau tidak bertepatan dengan hari AIDS sedunia, 1 Desember 2010, Budjana tampil dalam konser tunggalnya di Teater Salihara, Pasar Minggu. Dalam konser tunggalnya kali ini, Budjana membawakan 18 lagu yang diambil dari 4 album solonya. Malam itu ia tak tampil sendiri, sejak konser dimulai dan Budjana hadir bersama, Sandy Winarta (drum), Shadu Shah Chaidar (bass), Irsa Destiwi (piano), Dandy Lasahido (keyboards), Saat (suling), dan Jalu (perkusi).

Konser langsung dibuka tanpa banyak basa-basi dan komentar-komentar kecil dari sang bintang, begitu masuk ia langsung berkolaborasi dengan apik membawakan Dreamland, bersama timnya diatas panggung. Budjana kembali mengeluarkan suara ditengah konsernya, itu pun hanya mengucapkan terima kasih kepada penonton yang hadir dan berharap penontonnya tidak bosan dengan permainan gitarnya selama dua jam penuh kedepan. Karya-karyanya bertajuk Lalu Lintas (1987), Lost Paradise (2005), Kromatiklagi (1993) kembali mengalun dan memukau penonton. Tehnik bermain yang luar biasa dipadu dengan tim Konser Dewa Budjanapemusik lain yang juga luar biasa membuat konser malam itu terasa berbeda, karena Budjana tidak tampil menonjol seorang diri, semua pemusik pendukung konsernya memberikan performa terbaik.

Itu juga yang diamini teman saya yang kebetulan menonton malam itu, Onny Soewasono. Teman saya ini mencoba mengulas konser Budjana pada malam itu dari kacamatanya sebagai sesama musisi. Seperti inilah komentar mas Onny, sejak awal dibuka konser dengan musik gamelan bonang (Bali), barangkali akan lebih natural seandainya ditampilkan oleh musisi gamelan, karena akan menciptakan dinamika dan balance yang dapat langsung dikontrol oleh musisinya. Itulah yang dilakukan mas Jalu dengan kendang sundanya yang sudah jajah eksplorasi bahkan sampai ke musik Latin, Dancing Tears dilalapnya dengan baik.

Sipemegang perkusi mas Saat juga membuat mas Onny terkagum dengan magic flutenya yang membuat penasaran, bayangkan saja kesibukan mas Saat mengolah karya-karya Budjana, yang selalu sarat dengan modulasi-modulasi yang kapan saja dan kemana saja, ia sibuk mengganti suling untuk menyesuaikan tangga nada satu keKonser Dewa Budjana yang lain. Belum lagi adaptasi dan eksplorasi ritme perkusi pada lagu Lalu Lintas yang jelajah pitch dan scale nya diyakini mas Onny merupakan proses yang menantang ketika kencan dengan karya-karya Budjana, buat mas Saat dan mas Jalu double thumb up.

Sayang kami tidak bisa menikmati konser ini sampai selesai. Yang pasti, Budjana sebagai bintang tampil hebat dan memukau, bersama artis-artis pendampingnya. Angkat topi tinggi-tinggi untuk karya-karyanya yang tidak lupa atau bahkan dengan sadar dan bangga menampilkan instrumental tradisional yang kedepannya semoga lebih mengedepankan idiom-idiom musik etnis dalam karya-karyanya.

Tienatalia & Onny Soewasono
Foto-foto: ANTARA/Aldino Anatusa/ed/ama/10 Dokumentasi Salihara