Merapi Ingkang Numrapi
Oleh: Haryotomo Wiryasono

Merapi Ingkang Numrapi(1) Melihat kekuatan alam, jelas manusia bukan tandingannya..

Melihat sebuah fenomena bencana akhir-akhir ini, ketika gempa bumi dan tsunami menghantam Mentawai, Banjir meluapi Wasior, Gunung Merapi memuntahkan isi perutnya, saya semakin percaya bahwa manusia bukan yang terhebat, apalagi jika berhadapan dengan kekuatan alam.

Merapi yang biasanya ramah, menjadi tanah subur dan bermanfaat bagi masyarakat di sekitarnya kini menjadi hal yang menakutkan. Aliran lahar, material vulkanik dan awan panas (wedhus gembel) yang terus-menerus dimuntahkan telah menelan ratusan korban jiwa, menghancurkan ribuan rumah penduduk, dan memaksa ratusan-ribu orang mengungsi ke tempat yang lebih aman. Erupsi kali ini merupakan yang terhebat sejak tahun 1872, membuat perhatian media massa nasional, bahkan internasional tertuju kepadanya.

.. dia mengajari manusia untuk mendaya-gunakan teknologi informasi dengan tepat..

Terkait dengan meningkatnya aktivitas merapi kali ini, banyak pemberitaan di media elektronik nasional yang cenderung berlebihan dan membuat kepanikan. Beberapa orang meninggal karena kecelakaan lalu lintas akibat pemberitaan salah satu televisi nasional yang menyebut awan panas merapi sudah sampai Jl.Kaliurang km 15. Padahal maksud sebenarnya adalah abu vulkanik merapi, bukan awan panas. Namun apa daya, masyarakat terlanjur panik dan kehilangan filter informasi yang dimiliki. Kecelakaan terjadi di seputar Jalan Kaliurang terkait pemberitaan tersebut dan menyebabkan korban jiwa melayang sia-sia.

Beberapa wartawan juga sempat dilarang untuk meliput oleh warga masyarakat sekitar karena takut menyebarkan informasi yang berlebihan. Bahkan ada yang sampai dihakimi massa karena masih memaksa untuk meliput.

Ironis? Ketika teknologi informasi berkembang begitu pesatnya, justru ia bisa jadi bumerang yang memperparah keadaan jika tidak bisa didaya-gunakan dengan bijak. Apa yang bisa saya bantu? Paling tidak, dengan mencoba membantu menyalurkan informasi valid tentang kondisi merapi dari sumber yang bisa mempertanggung-jawabkan, yaitu dari situs resmi komunitas relawan merapi dan live streaming radio amatir posko-posko pemantauan yang berada di ring 1 lereng merapi via situs jejaring sosial seperti facebook dan twitter.

(2) ..dia mengajari kita untuk bergandengan, tanpa melihat keterbatasan dan perbedaan..

Solidaritas. Simpati. Empati. Aksi. Evaluasi. Refleksi. 6 kata yang menjadi dasar semangat membantu. Kesemuanya itu tertuang penuh dalam bencana kali ini. Pun ketika kami menerima 150-an pengungsi dari 3 desa di lereng merapi, bantuan begitu derasnya mengalir. Melalui twitter, sms atau bahkan telepon, kebanyakan dari orang tidak dikenal yang dengan ikhlas mau membantu. Tidak selalu besar jumlahnya, tapi yang pasti menjadi manfaat bagi penerimanya.

Komunitas relawan merapi juga menjadi cermin bagaimana masyarakat dari berbagai lapisan masyarakat merapatkan barisan dan dengan ikhlas membantu tanpa pamrih. Sebuah sisi positif dari sebuah bencana : manusia menjadi peduli.

Itulah esensinya. Bukan masalah siapa, tapi bagaimana bisa membantu sesuai dengan kapasitas dan kemampuan kita. Setiap manusia dan golongannya memang berbeda, tapi justru dengan perbedaan itu kita bisa saling melengkapi. Dan sekali lagi, melalui peristiwa ini, sebuah benda mati mengajari kita untuk bergandengan, tanpa melihat keterbatasan dan perbedaan.

..dia menunjukkan kepadaku manusia-manusia hebat yang berharga..

Seakan-akan tenaga mereka tidak terbatas untuk menolong. Ketika ada informasi melalui telepon atau sms, selalu saja ada jari yang teracung untuk bersedia berangkat. Dari tempat yang dekat seperti samirono atau kentungan, sampai yang jauh seperti desa blabag, magelang atau sayegan, godean. Tanpa bertanya ini-itu, menunjukkan betapa ikhlas manusia-manusia hebat ini. Sesuai dengan namanya, relawan, berarti rela untuk membantu mereka yang membutuhkan. Kami yang tetap tinggal di posko hanya bisa menitipkan doa dan salam kepada semua yang berangkat.

Bukan cuma yang keluar, tapi orang-orang bagian logistik, data atau mereka yang mendampingi pengungsi di aula, semua memberi pelajaran yang berbeda kepada saya. 4 hari bukan waktu yang singkat untuk tetap siaga. Dan hal itu terjadi saat ini. Membuktikan bahwa tenaga dan pikiran tidak akan terbatas untuk sesama.

..dia mengajari kami cara memberikan keramahan..

Merapi Ingkang NumrapiBayangkan ada 150 orang tidak dikenal yang secara tiba-tiba masuk ke dalam komunitas, dan bersinggungan langsung dengan kita. Canggung, awalnya. Melihat bagaimana masyarakat yang sangat berbeda kebiasaan ada di depan mata dan hidup berdampingan dengan kita. Mau tidak peduli? Bisa saja. Tapi tentu saja tidak ada pembelajaran dibalik setiap ketidak-pedulian. Mungkin sekedar berbasa-basi, atau sekedar mengucap salam, ternyata yang bagi kita hanya sekedar bisa jauh lebih bermakna bagi mereka. Tampaknya obrolan ringan juga bisa menjadi trauma healing yang mujarab.

Hal ini yang sering dilupakan. Bahwa tanggap bencana bukan hanya membantu dengan logistik atau tenaga relawan. Ada trauma mendalam yang berdampak pada sisi psikologis mereka yang menjadi korban. Mendengar cerita teman relawan yang mendampingi sesi menggambar anak-anak di pengungsian, saya semakin trenyuh. Semua anak menggambar gunung meletus. Ada yang menggambar gunung yang indah dengan coretan pemandangan khas anak-anak, tetapi kemudian diakhiri dengan membuat garis tebal yang melambangkan wedhus gembel dan lava pijar keluar dari kawahnya.

Justru trauma psikologis seperti ini yang akan paling lama masa penyembuhannya jika dibandingkan dengan kerugian fisik yang terjadi. Setiap dari kita bisa membantu, jika peduli. Keramahan? Sebuah hal sepele yang berdampak besar, ternyata..

(3) ..dia menunjukkan senyum dari mulut yang seharusnya tidak bisa tersenyum..

Ekspresi apa yang kita harapkan dari sebuah bencana? Mungkin semua ekspresi yang melambangkan kesedihan. Tapi ternyata apa yang saya temui? Bukan tangisan, bukan keluhan, tapi senyuman. Di saat bencana melanda, mereka yang menjadi korban masih saja bisa tersenyum. Khas filosofi Jawa yang nrimo dengan ikhlas, pasrah tanpa putus asa. Sebuah kekayaan intelektual yang belum tentu dimiliki masyarakat kota yang notabene dianggap lebih beradab dan mengenyam pendidikan tinggi daripada mereka yang tinggal di desa.

Melalui mulut anak-anak kecil di pengungsian, aku melihat senyum yang menurutku tadinya tidak mungkin untuk kulihat. Mereka tersenyum, bahkan ketika melihat orang baru yang tidak dikenal, bertanya nama dan langsung mengajak bermain petak umpet. Melihat betapa bahagianya mereka meskipun sedang ditimpa musibah, sungguh sebuah realita yang sangat reflektif, mengingatkan kita yang selalu mengeluh meskipun sudah diberi begitu banyak kemudahan dan fasilitas berlebih. Mungkin ini bukan materi pelajaran yang mempengaruhi nilai raport, tapi aku merasa berharga bisa mempunyai kesempatan untuk belajar bersyukur dari mereka, dan selanjutnya mendapat nilai kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya.

dan akhirnya, dia menunjukkan sisi lain dari sebuah bencana.

Mengeluh dalam keadaan berlebih itu biasa. Tapi mensyukuri keadaan sulit, itu sesuatu yang luar biasa. Setiap peristiwa punya 2 sisi untuk dilihat. Mau melihat dari sisi bencana yang menyengsarakan ? Atau dari sisi bencana yang menjadi manfaat ? Semua kembali pada diri kita sendiri. Terpuruk dalam kesedihan, dalam kapasitasnya bisa bermanfaat. Tetapi hidup terus berjalan, dan akan lebih baik jika kita melihat sesuatu yang lebih dalam daripada hanya sekedar kesedihan itu sendiri.

Dalam keganasannya kini, Merapi masih saja menyiratkan dirinya yang dulu. Merapi ingkang numrapi. Merapi yang memberi manfaat.

Yogyakarta, 15 November 2010
Foto-foto www.ceritajogja.com dan dari berbagai sumber