Dicuri Upin & Ipin Beberapa waktu sebelumnya, Negeri Jiran ini berulah dengan mengakui kesenian Reog sebagai kebudayaan asli mereka. Bahkan tidak hanya itu, angklung, lagu Rasa Sayange, motif batik parang, naskah kuno Riau dan berbagai menu khas tradisional juga diakui sebagai budaya asli mereka, bukan Indonesia. Sebagai warga Negara saya akui sebal juga
dengan ulah mereka yang dengan seenaknya mengakui kekayaan bangsa
lain apalagi kekayaan itu dijual untuk menarik wisatawan berkunjung
ke negeri mereka.
Saya merasa bersyukur karena saya tidak pernah bereaksi keras dan menunjukkan protes apalagi sampai berdemo dan membenci semua produk asal negeri Jiran. Karena jika hal itu saya lakukan, saya pasti akan dimusuhi oleh anak-anak saya sendiri yang sedang keranjingan serial kartun Upin dan Ipin sampai-sampai mereka suka memanggil istri saya dengan sebutan Cik Gu yang kebetulan memang berprofesi sebagai guru. Serial kartun Upin dan Ipin telah berhasil merebut hati banyak anak Indonesia. Karakternya yang usil, polos namun cerdik terlihat dari dialog serta tingkahnya yang lucu. Cerita keseharian yang ditampilkan terasa
dekat dengan anak-anak Indonesia yang serumpun dengan
Tidak hanya digambarkan pentingnya nilai persahabatan dan kejujuran. Cerita Upin dan Ipin juga sarat dengan muatan pengetahuan, seperti misalnya adegan berkebun yang dengan menarik bisa memberitahukan kepada penonton anak tentang pentingnya cacing yang dapat menggemburkan tanah dan bekicot yang bisa menghabisi hasil kebun jika tidak disingkirkan. Pengkarakteran tokoh-tokoh dalam serial ini
mudah diingat dan terasa nyata karena dekat dengan anak-anak. Tokoh
kak Ros yang sering melarang Upin dan Ipin adiknya bisa jadi dialami
oleh banyak anak yang memiliki kakak yang cenderung tidak mudah
mengalah pada adiknya. Tokoh Opah (nenek) yang sabar dan sayang
kepada cucu-cucunya tidak ada yang dibuat-buat. Bahkan serial ini
juga menampilkan negeri Jiran yang
Bahasa Melayu yang digunakan ternyata banyak disukai anak-anak kita karena terdengar lucu. Bagi saya membiarkan anak-anak saya bercakap Melayu tidak akan membuat rasa kebangsaan mereka luntur, karena hal itu hanyalah proses identifikasi biasa yang sering dilakukan oleh setiap orang jika mengidolakan tokoh. Bagi saya, kehadiran serial Upin dan Ipin seperti menjadi obat penenang dari kegelisahan saya akan minimnya tayangan yang menghibur sekaligus mendidik bagi anak-anak karena jumlah programnya masih bisa dihitung dengan jari. Sebenarnya, dari anak-anaklah kita perlu belajar. Mereka tidak mempermasalahkan serial kegemarannya berasal dari Malaysia atau Indonesia. Seandainya saja serial Si Unyil yang ditampilkan dengan konsep cerita masih hidup, bukan tidak mungkin Si Unyil jadi duta yang memperkenalkan kebudayaan Indonesia bagi anak-anak Malaysia jika Si Unyil ditayangkan di Negara Malaysia. Harus diakui kali ini serial Upin dan Ipin telah berhasil mencuri perhatian anak-anak Indonesia. Tapi itu semua masih jauh lebih baik daripada perhatian anak-anak kita dicuri oleh tayangan-tayangan lokal yang banyak mengumbar emosi berlebihan yang sebenarnya tidak baik bagi perkembangan imajinasi anak-anak kita. YPKris |