Dimana ada sela di situ jadi jalan
Kalau
anda pernah perhatikan perilaku berkendara sepeda motor terutama di
Jakarta, anda pasti setuju dengan judul di atas jika kalimat
tersebut cocok dijadikan motto bagi pengendara sepeda motor. Bukan
bermaksud mencela mereka karena saya pun sebenarnya pengendara
sepeda motor. Judul itu sengaja saya buat karena sebagai pengendara
sepeda motor, berada dalam kondisi jalan yang macet atau padat
merayap rasanya sulit untuk ikut antri. Kalaupun anda bersabar, anda
seringkali harus ikut arus karena motor dibelakang anda akan
membunyikan klakson untuk minta jalan, iya khan?
Tanpa terasa usia saya sebagai pengendara
sepeda motor ternyata sudah lebih dari 20 tahun. Sejak saya berhasil
membeli sebuah mobi l,
angan-angan saya untuk merasakan nyamannya menggunakan mobil untuk
pulang pergi ke tempat kerja ternyata tinggal angan-angan, saya
terpaksa kembali pakai motor karena waktu terjebak dalam kemacetan
saat bermobil bisa saya pakai untuk bersama keluarga walau sebentar.
Alasan yang sama mungkin juga dilakukan oleh ribuan pengendara motor
yang tinggal di pinggiran Jakarta. Dan alasan yang sama yaitu
keruwetan lalu-lintas, mungkin juga yang mengakibatkan terjadinya
perubahan perilaku bersepeda motor di Jakarta.
Saya ingat betul dim ana
20 tahun yang lalu tidak pernah saya melihat puluhan sepeda motor
bergerombol di zebra cross setiap kali lampu lalu lintas menyala
merah sambil ancang-ancang seperti mau balapan. Bahkan seringkali
diantara mereka ada saja yang berani nyolong start sebelum lampu
menyala hijau. Adanya perbedaan jumlah kendaraan dalam kurun waktu
20 tahun memang logis untuk kasus di atas. Tapi dimana logikanya
jika kita melihat pengendara sepeda motor yang melotot kepada (biasanya)
pengendara mobil tidak bisa nyalib diantara mobil-mobil yang
sama-sama terjebak dalam kemacetan? Kalau kita sebagai pengendara
mobil yang dipelototi begitu, rasanya lebih baik kita diam, meski
secara hukum kita benar tapi rasanya pepa tah
jawa lebih pas, Sing waras ngalah (yang tahu diri mengalah
daripada diri sendiri rugi).
Perilaku pengendara sepeda motor unik tapi
tidak menarik dan sulit diterangkan dengan logika yang sama.
Contohnya begini, semua pengendara motor beralasan ingin cepat
sampai makanya mereka mesti bergerak lincah diantara kemacetan,
okelah, alasan ini logis. Tapi di saat hujan deras mengguyur, mereka
berteduh dan memarkir motor seenaknya di bawah jembatan layang
sampai menutup lebih dari setengah badan jalan. Alasan mereka selalu
logis hanya untuk diri sendiri, tidak bagi orang lain yang bukan
pengendara motor. Sebagai pengendara motor saya sendiri heran, apa
susahnya sih bawa jas hujan?
Pe rilaku
seringkali dikaitkan dengan kelas sosial, tapi jika kita bicara soal
ego, mau kelas sosial apapun perilakunya akan tetap sama. Yang punya
duit bisa sewa voorijder supaya bisa melesat kencang di jalan yang
serasa milik nenek moyang. Buat yang mau hemat, cukup baris dengan
dipimpin oleh leader yang mengayun-ayunkan senter merah tanda minta
jalan. Minta jalan? Memangnya ambulans?
Perilaku egois di jalan sepertinya sudah
jadi budaya baru dimana kita yang berusaha mentaati aturan hukum
malah bisa jadi dianggap menyimpang, aneh ya?
Seorang sahabat yang super taat hukum
pernah ditegur atasannya karena tidak bisa mencapai target waktu
mengantar barang dalam waktu cepat. Alasan macet tidak bisa diterima
karena sahabat saya mengantar barang dengan motor. Tapi atasannya
malah bertanya balik,Memangnya kamu nggak lewat trotoar? Nah lo!!
Ternyata yang bukan pengendara motorpun juga berpikir bahwa pakai
motor pasti lebih cepat karena bisa sradak-sruduk. Pokoknya dimana
ada sela buat motor, itulah jalan!
YP Kris |