Pelarangan Buku
"Menutup Jendela Dunia"

Menurut sumber, Dokumen 2 Institut Sejarah Sosial Indonesia, pelarangan buku di Indonesia sudah ada sejak era kolonial antara tahun 1920-1926. Saat itu adalah masa kejayaan kaum pergerakan yang sering disebut Bacaan Liar oleh negara kolonial, tujuan kaum ini adalah mendorong pembacanya agar turut berpartisipasi bersama kaum pergerakan untuk menentang kediktatoran kolonial. Sikap pemerintahan kolonial terhadap bacaan liar adalah membebaskan bacaan liar namun mereka memenjarakan pengarangnya. Namun akhirnya bacaan liar runtuh disebabkan oleh perkembangan politik nasional sekitar tahun 1926/1927. Di tahun itu organisasi radikal dan bacaan liar diberangus habis. Lalu pada jaman kekuasaan Soekarno, di era orde lama ini buku-buku yang terbit berbanding lurus dengan maraknya pelarangan buku termasuk memberikan batasan pada insan pers. Peraturan pemerintah itu didasarkan pada, Peraturan keputusan staf angkatan darat selaku penguasa Militer No.PKM/001/9/1956 (yang melarang tulisan, gambar, klise yang mengandung ketajaman-ketajaman, prasangka, bahkan penghinaan yang ditujukan terhadap Presiden, Wapres, dan penguasa pemerintah lainnya.

Apa yang telah terjadi pada masa Orde Lama, tidak jauh berbeda pada jaman Orde Baru, pada masa ini dibentuk lembaga penting yang dikenal dengan nama Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (KOPKAMTIB) pada Oktober 1965. Lembaga ini dibuat untuk mengambil tindakan apapun dengan kedok memulihkan keamanan dan ketertiban mereka juga memberikan instruksi pelarangan buku kepada Kejaksaan Agung. Di masa ini pula terjadi diskriminasi terhadap ras Tionghoa melalui pelarangan buku, pembubaran PKI dan melarang ajaran Marxisme-Leninisme/Komunisme. Di jaman ini pula tugas Kejaksaan Agung berbeda jauh pada jaman Orde Lama, yaitu menerima pengaduan dari lembaga-lembaga tertentu (BAKIN, BAIS, POLRI, ABRI) juga menerbitkan SK pelarangan buku berdasarkan pengaduan yang ada dalam meja kerja mereka, beberapa buku yang dilarang di era ini antara lain, buku-buku karangan Pramoedya Ananta Toer, Oei Tjoe Tat, dan masih banyak lagi.

Lepas dari Orde Lama dan Orde Baru, lahirlah masa Reformasi, dimana era ini dianggap sebagai masa kebebasan demokrasi. Tak ada lagi pelarangan-pelarangan dan dibatas-batasi, padahal pada prakteknya pelarangan buku masih saja ada. Masih dengan dalih yang sama, Mengganggu Ketertiban Umum yang diambil dari penjelasan UU No.4/Pnps/1963, praktik pelarangan buku yang masih terjadi bertumpu pada tema, Subversif, yaitu buku-buku atau terbitan yang dianggap menghina atau mengkritik pemerintah yang berkuasa. Marxisme-Leninisme/Komunisme, Pornografi, dan buku-buku yang dianggap SARA atau menyesatkan. Dan baru-baru ini praktik pelarangan buku kembali terjadi, di penghujung Desember tahun 2009 lalu, Kejaksaan Agung melarang peredaran 5 judul buku. Buku tersebut adalah, Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, karya John Rosa, Suara Gereja Bagi Umat Tertindas Penderitaan, Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karya Cocratez Sofyan Yoman, Lekra Tak Membakar Buku Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhudin M Dahlan, Enam Jalan Menuju Tuhan, karya Darmawan MM, serta Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karya Drs Syahrudin Ahmad.

Pelarangan buku ini cukup mengejutkan masyarakat, ditambah lagi tidak ada asalan kuat mengapa buku-buku tersebut dianggap melanggar ketertiban umum, keakuratan dari buku tersebut bahkan bisa dipertanggung jawabkan. Banyak pihak dari berbagai kalangan sangat menyayangkan tindakan Kejaksaan Agung ini kembali terulang setelah pelarangan terhadap buku-buku pelajaran sekolah pada 2007 silam. Oleh karena itu, Seniman, aktivis HAM, dan sejarawan bersatu dalam undangan yang dirilis di situs ELSAM melihat betapa pelarangan buku telah menghancurkan kehidupan bangsa di masa lalu, sehingga tak boleh berlanjut lagi. Mereka tergerak untuk menampilkan sejarah pelarangan buku di Indonesia dalam media senirupa, dan diskusi Pelarangan buku di Indonesia yang akan diselenggarakan pada 14-17 Maret 2010 di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat.

Sudah saatnya masyarakat sipil melawan pelarangan buku, pameran yang berlangsung empat hari ini juga bertujuan membangkitkan kesadaran masyarakat untuk merespon ketika pemerintah kembali melakukan kegiatan pelarangan buku. Tak hanya menampilkan sejumlah poster yang memuat pesan melawan pelarangan buku, ada juga beberapa catatan sejarah pelarangan buku dari waktu ke waktu. Rencananya rangkaian acara pameran yang berlangsung sejak 14-17 Maret mendatang ini akan mengadakan diskusi tentang pelarangan buku dan ditutup dengan Kuliah Umum Pelarangan Buku dan Politik Kebudayaan di Indonesia oleh Dr. Robertus Robet (Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta), yang menghadirkan sejumlah pembicara baik dari penulis, akademisi, sejarawan, Jaksa Agung Muda bidang Intelijen Kejaksaan Agung RI, YLBHI, komunitas pembaca buku, dan IKAPI.

Buku adalah jendela dunia, tanpa harus keliling dunia kita bisa melihat apa yang ada di dunia dengan buku, bahkan Tantowi Yahya sebagai Duta Baca Indonesia, mengatakan, Membaca adalah salah satu syarat menjadi orang pintar, karena dengan membaca kita dapat mengetahui berbagai macam informasi. Sebaliknya, dengan tidak membaca kita akan jadi bodoh. Kebodohan sangat dekat dengan kemiskinan. Jadi tidak ada alasan melanggar hak paling dasar menusia yaitu, yaitu membaca, menulis, dan menyebarkan informasi.

Titin