Museum - Layah

Koleksi Rumah Dokumentasi Tembi
LAYAH

Hampir bisa dipastikan, masyarakat Jawa terutama kaum ibu sudah tidak asing dengan peralatan yang satu ini. Peralatan dapur yang terbuat dari tanah liat atau gerabah ini sering dipakai oleh para simbok untuk nguleg �melembutkan� sambal atau bumbu-bumbu dapur lainnya, seperti bawang merah, bawang putih, mrica, tumbar, miri, cabai, jahe, kencur, kunir, dan lain sebagainya. Layah biasanya tidak pernah terpisahkan dari munthu atau uleg-uleg. Sebab keduanya memang sebenarnya sepasang. Layah berfungsi sebagai tempat bumbu yang akan dilembutkan, sementara munthu �ulegan� berfungsi sebagai alat untuk menumbuk atau melembutkan. Dalam bahasa Jawa ada istilah nguleg sambel yang artinya membuat sambal dengan cara diuleg/dilembutkan dengan ulegan.

Menurut Baoesastra Djawa �Kamus Bahasa Jawa�, layah berarti suatu alat rumah tangga yang mirip cobek tetapi bentuknya agak besar. Sementara di dalam bahasa Indonesia berarti cobek. Tidak disebutkan ukurannya kecil atau besar. Pada umumnya layah dibuat dari tanah liat atau batu. Tentu saja keawetannya berbeda. Layah yang terbuat dari gerabah tentu lebih mudah pecah jika dibandingkan dengan layah yang terbuat dari batu. Namun layah tanah liat lebih ringan dan harganya lebih murah. Sementara layah batu lebih berat dan harganya lebih mahal. Untuk tingkat kelembutan hasil ulegan, ternyata lebih lembut jika diuleg dengan layah batu. Demikian pula dengan layah batu, lebih irit waktu untuk melembutkan bumbu-bumbu yang diuleg.

Memang di zaman sekarang penggunaan layah sebagai peralatan dapur mulai surut. Sebagian wanita Jawa sekarang sudah mulai tidak mengenal layah. Peralatan modern yang telah dominan mewarnai dapur di zaman modern ini telah menyingkirkan alat dapur yang bernama layah. Bagi para ibu-ibu yang hendak membuat sambal tinggal memasukkan bumbu-bumbu tersebut ke dalam blender, lalu menekannya klik, tidak lebih dari lima menit, bumbu sudah lembut dan menjadi sambal. Begitu pula ibu-ibu yang hendak membuat sayur gulai, sayur brongkos atau sayur lainnya, tidak usah repot-repot lagi melembutkan bumbu-bumbu dengan layah, tetapi tinggal beli di supermarket atau pasar-pasar tradisional. Memang saat ini zaman serba modern, semua serba praktis. Para ibu dimanjakan dengan sajian-sajian yang siap saji.

Namun begitu, ternyata layah tetap masih ada yang memakai. Bahkan diyakini kehadiran layah tidak tergantikan oleh peralatan modern, terutama untuk urusan rasa. Banyak warung-warung tradisional yang terkenal khususnya di masyarakat Jawa tetap mempertahankan layah untuk melembutkan bumbu-bumbu masakan. Mereka yakin bahwa bumbu-bumbu yang diuleg dengan layah rasanya akan lebih nikmat dan alami jika dibandingkan dengan buatan pabrik atau diblender. Kehadiran layah sangat membantu mempopulerkan masakan mereka. Mereka tidak mau berspekulasi dengan menggantikan layah dengan alat lain.

Layah dan peralatan gerabah lainnya diyakini sudah digunakan oleh masyarakat Jawa sejak berabad-abad yang lalu. Buktinya tidak sedikit artefak yang ditemukan berasal dari zaman-zaman kerajaan Jawa, misalnya: kerajaan Majapahit, kerajaan Syailendra, kerajaan Mataram, dan lainnya. Koleksi-koleksi artefak yang ditemukan itu kemudian disimpan di berbagai museum, sepeti Museum Nasional, Museum Sonobudoyo, dan lain-lain. Begitu pula dengan perkembangan layah dan gerabah hingga saat ini juga tersimpan di museum-museum lainnya. Sebagian masyarakat Jawa pun hingga sekarang masih ada yang memproduksi layah, namun produksinya sudah berkurang. Sementara sebagian masyarakat Jawa lain membuat inovasi baru terhadap keberadaan layah ini. Pasar-pasar tradisional pun hingga sekarang masih dijumpai menjual alat layah ini. Termasuk perajin patung (arca) batu di sekitar Muntilan, Jawa Tengah, masih memproduksi layah dari batu.

Naskah : Suwandi Suryakusuma
Foto : Didit PD.