Ki Bagas Kriswanto, Dalang Otodidak

28 Mar 2016 Ada nilai plus ketika seorang dalang berkualitas, lahir dan besar bukan dari keturunan dalang. Seperti halnya Ki Bagas Kriswanto. Selain bukan keturunan dalang, Ki Bagas tidak pernah mengenyam pendidikan formal ilmu pedalangan. Ia menamatkan studinya di SMEA Maranatha Purwokerto. Namun dikarenakan ia yang lahir pada 1 Maret 1973, hidup dan bertumbuh di lingkungan seni pewayangan dan seni karawitan, maka ia pun kemudian menyenangi wayang dan karawitan sejak sebelum sekolah.

Rasa senang terhadap wayang dan gamelan itulah yang mendorong Ki Bagas kecil untuk belajar secara otodidak. Dengan cara melihat dan kemudian menirukan, ia berhasil menyerap ilmu serta ketrampilan mendalang dari para dalang dan para pengrawit di sekitarnya. Bakat mendalang Bagas Kriswanto serta semangat yang besar, tidak luput dari pengamatan dalang senior Banyumas Ki Nasam Gunomiharjo. Maka kemudian timbul niat Ki Nasam untuk menurunkan ilmu mendalang kepada Bagas Kriswanto.

Gayung pun bersambut. Dengan senang hati, Bagas menerima pemberian ilmu pakeliran pedalangan dari Ki Nasam. Ibarat cantrik yang telaten dan tekun dalam mengangsu kawruh di sebuah padepokan, ilmu pedalangan gaya Banyumas yang diajarkan Ki Nasam dapat dikuasainya dengan baik. Ki Nasam bangga atas pencapaian ‘cantrik’nya dan mengangkatnya sebagai anak.

Sejak menjadi anak angkat Ki Nasam, Bagas remaja mulai mengarahkan keinginannya untuk dapat mendalang dengan baik. Niat itu begitu kuat mendorong dirinya, sehingga memunculkan motivasi belajar yang pantang menyerah untuk dapat mencapai apa yang diinginkannya. Dan hasilnya pun tidak mengecewakan.

Pada tahun 1991 Bagas muda, dalam usia  18 tahun, mulai mendalang. Pakeliran yang ia kembangkan adalah gaya banyumasan corak lor gunung. Perlu diketahui bahwa ada dua corak pakeliran wayang kulit purwa banyumasan, yaitu corak pakeliran kidul gunung dan corak pakeliran lor gunung. Pada corak pakeliran ‘lor gunung’ dialek khas Banyumasan hanya digunakan pada adegan tertentu saja diantaranya limbukan dan gara-gara. Sedangkan pada pakeliran corak ‘kidul gunung’ dialek banyumasan dipakai hampir di semua adegan.

Dengan pakeliran banyumasan corak lor gunug, kini anak dari pasangan Bapak Ristam Hadi Sukarto dan Ibu Darwen telah berhasil menambah panjang deretan nama-nama dalang terkenal di Banyumas. Keberhasilannya dibuktikan dengan memenangkan Festival Dalang Banyumasan sebagai penyaji terbaik satu pada 2005. Dan dilanjutkan dengan memenangkan festival dalang Jawa Tengah 2010 dengan predikat penyaji terbaik dua.

Selama 25 tahun pengalamannya menjadi dalang ayah dari Wiwit Kurniasih, Hasdian Kharisma Priani serta Satria Aji Pratama ini telah mempertunjukkan kebolehannya di berbagai tempat, diantaranya: Jawa Barat, Kebumen, Brebes, Pemalang, Kepulauan Riau, Solo, dan Yogyakarta.

Sebagai dalang muda yang sedang naik daun, beberapa kali suami Nyi Sopiyah Peni Carito ini mendapat kesempatan mendalang pada event besar, diantaranya mendalang di depan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo pada peringatan hari jadi Jawa Tengah ke-65  di Purwokerto tahun 2015. Sosialisasi Empat Pilar Negara Indonesia bertepatan dengan perayaan hari jadi kabupaten Banyumas ke-445 di Wangon, Banyumas pada tahun 2016.

Bersama keluarga, Ki Bagas Kriswanto tinggal di Jl. Gerilya Barat gang 2, Rt 5, Rw 1, Kelurahan Tanjung Kecamatan Purwokerto Selatan Kabupaten Banyumas. Sehari-hari ia berada dan bekerja di sanggar dalang cilik Kamandaka.

Ia punya harapan agar dalang-dalang muda jangan malu menggarap pakeliran banyumasan. “Teruslah  belajar sehingga mampu menampilkan pakeliran yang berkualitas, mendidik, menuntun dan sekaligus menghibur. Dengan demikian pakeliran banyumasan semakin diterima di semua kalangan,” ujar Ki Bagas Kriswanto menutup wawancara malam itu, untuk kemudian naik pentas mendalang di Tembi Rumah Budaya Bantul Yogyakarta, dengan membeberkan lakon banjaran Sumitra pada 16 Maret 2016.

Herjaka HS  

Ki Bagas Kriswanto Ki Bagas saat memainkan wayang PROFIL

Baca Juga

Artikel Terbaru

  • 11-05-16

    Buku Pelajaran Menar

    Java Instituut adalah sebuah lembaga kebudayaan yang berdiri di zaman penjajahan Belanda. Lembaga ini tidak hanya mendirikan Museum Sonobudoyo di... more »
  • 11-05-16

    Membayangkan Yogyaka

    Komunitas Mahasiswa Teknik Perencanaan Kewilayahan Kota, Fakultas Teknik UGM. menyelenggarakan acara yang dinamakan ‘Festagama 2016 Green City Dalam... more »
  • 10-05-16

    Tegoeh Ranusastra As

    Ketika pertama kali Sastra Bulan Purnama digelar di  Tembi Rumah Budaya Oktober 2011, yang menampilkan sejumlah penyair membaca puisi, pada... more »
  • 10-05-16

    Napi LP Wirogunan Be

    Sambil duduk lesehan di tikar, para narapidana di LP Wirogunan, mendengarkan Iman Budhi Santosa, penyair senior Yogyakarta, menyampaikan workshop... more »
  • 10-05-16

    Di Jakarta Namanya K

    Wedang tahu di Yogyakarta dikenal juga dengan nama tahok di Solo. Sedangkan untuk Surabaya menamai jenis makanan ini dengan nama tahua sedangkan... more »
  • 09-05-16

    Bikin Sesaji Supaya

    Judul            : Sesaji Raja Suya Penulis         ... more »
  • 09-05-16

    Wisrawa (4): Sastraj

    Usaha Batara Guru untuk menggagalkan wejangan Sastrajendra baik melalui diri Wisrawa maupun melalui pribadi Sukesi belum berhasil. Jika pun mau... more »
  • 09-05-16

    Sendang Mangunan Dip

    Sendang Mangunan berada di Dusun Mangunan, Kelurahan Mangunan, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kawasan... more »
  • 07-05-16

    Jumat Pon Jangan Per

    Pranatamangsa: Mangsa Kasebelas atau disebut Desta berakhir pada 11 Mei 2016. Selanjutnya mulai 12 Mei sampai dengan 21 Juni 2016 masuk Mangsa... more »
  • 07-05-16

    Kritik Sosial Teater

    Teater Gadjah Mada Angkatan 2015, Senin malam, 2 Mei 2016 mementaskan lakon Ndog yang merupakan adaptasi dari naskah monolog Putu Wijaya yang... more »