Monolog ‘Jual Ubat’ Dari Khalid Salleh

05 Jun 2014 Pertunjukannya sarat kritik sosial, dan permainannya bersahaja, tetapi terlihat dia memiliki kemampuan keaktoran. Khalid sedang melakukan penyadaran pada publik tentang hubungan Indonesia-Malaysia, juga menyangkut korupsi.

Khaled Salleh memainkan monolog ‘Jual Ubat; pada salah satu adegan jual ubat dan burung gagak di atas kepala, foto: Ons Untoro
Khalid Salleh, memainkan monolog Jual Ubat’ 
dengan properti batu ditopang botol beling

Judulnya ditulis jual ubat, bukan obat. Karena memang menggunakan bahasa Malaysia, jadi beda dengan bahasa Indonesia. Khalid Salleh, seniman dari Malaysia, melakukan pentas monolog dengan lakon ‘Jual Ubat’, Kamis malam, 29 Mei 2014 di Rumah Budaya EAN, Kadipiro, Yogyakarta.

Panggungnya sederhana. Beberapa level ditata sebagai panggung dan di sekelilingnya dilingkari kain hitam. Ada properti yang unik yaitu sebongkah batu disangga dengan sebuah botol beling. Batu tidak jatuh. Ada yang mengira kekuatan mistik menyertainya.

Properti sebongkah batu di atas sebuah botol tersebut memberi tanda bahwa monolog yang dimainkan oleh Khalid Salleh, terasa sederhana, tetapi memikat. Apalagi kostumnya juga (sangat) sederhana. Khalid Salleh hanya mengenakan kaos warna putih, dan pada perutnya dilingkari selendang warna merah. Kepalanya mengenakan topi kerpus, dan celana panjang jeans lusuh. Tanpa alas kaki.

Ia bermain sendiri, sembari bercerita mengenai kisahnya. Judul kisahnya memang ‘Jual Ubat’ dan sebongkah batu di atas botol adalah daya tarik yang ‘dimainkan’ oleh penjual ubat. Menariknya, Khalid Shalleh tidak menawarkan obat, melainkan malah melakukan kritik sosial di negaranya, mungkin juga untuk negara Indonesia. Juga hubungan antara Indonesia-Malaysia yang sering bermasalah.

Terkadang dalam pertunjukan Khalid menyusupkan bahasa Jawa, misalnya kata monggo dan sejumlah kata Jawa lainnya, setidaknya untuk membangun suasana akrab dengan penonton. Bahkan, dalam menyebut kata monggo Khalid sembari menunjukkan jempol sebagaimana orang Jawa melakukannya.

Khaled Salleh memainkan monolog ‘Jual Ubat; pada salah satu adegan jual ubat dan burung gagak di atas kepala, foto: Ons Untoro
Gaya bersahaja Khalid Salleh

Dalam kisahnya, dia bercerita bahwa sebagai orang Malaysia yang serumpun dengan orang Indonesia, mungkin juga memiliki ketururan dari orang Jawa, ia bisa menari Jawa dan kalau di Malaysia dia menarikan tarian Jawa, bukan berarti dia mencuri jenis tarian itu.

“Kalau saya menarikan tarian Jawa, bukan berarti Malingsia sedang melakukan pencurian terhadap kesenian itu,” kataya dalam monolog.

Apa yang disampaikan Khalid dalam pertunjukan monolog itu merupakan kritik yang ia lakukan atas hubungan Indonsia-Malaysia yang seringkali panas. Karena kesenian Reog misalnya, telah diaku sebagai jenis kesenian asli dari Malaysia.

Menyajikan analogi, seolah untuk membela bukan sebagai Malingsia, Khalid berkisah mengenai bahasa Inggris yang sering dipakai oleh banyak warga dunia, termasuk warga Malaysia dan Indonesia. Dia menyampaikan soal: apakah kalau kita menggunakan bahasa Inggris dengan demikian kita telah mencuri bahasa orang lain?

Begitulah Khalid, melalui pertunjukan monolog dia seperti sedang melakukan diplomasi budaya antardua bangsa bukan di meja perundingan, melainkan dalam satu pertunjukan.

Pertunjukannya sarat kritik sosial, dan permainannya bersahaja, tetapi terlihat dia memiliki kemampuan keaktoran. Khalid sedang melakukan penyadaran pada publik tentang hubungan Indonesia-Malaysia, juga menyangkut korupsi, yang di negara kita semakin meluas dan dilakukan oleh penyelenggara negara dari pusat sampai daerah.

Sebagai seniman, Khalid Salleh cukup dikenal di Malaysia. Ia dilahirkan 29 Februari 1948, di Sungai Kantan, Kajang, Selangor, Malaysia. Selain dikenal sebagai aktivis teater, Khalid Salleh dikenal juga sebagai penyair, pengarah lakon dan lainnya.

Khalid Salleh telah melahirkan puluhan lakon drama diantaranya ‘Bertam-Bertam bukan Semambu’ (1984), ‘Umbut Mayang Mengurai’ (1985), ‘Sijil Penuh’ (1988), ‘Pawang’ (1989), ‘Si Bereng-Bereng’ (1990), ‘Gong Gedombak’ (1992), ‘Ningg..’ (1992), ‘Kena Min’ (1994), ‘Pandir Si Pandir’ (2001, ‘Bangsat’ (2005), dan “Benda Sulit” (2005).

Naskah dan foto: Ons Untoro

Berita BUDAYA

Baca Juga

Artikel Terbaru

  • 13-05-16

    Muhammad Ferdan Taul

    Penampilannya cukup kalem. Namun tidak disangka saat mendalang di atas panggung, apalagi ketika sedang “suluk”, suaranya begitu mantap. Begitu juga... more »
  • 13-05-16

    Universitas PGRI Pal

    Hari Rabu, 4 Mei 2016 sore-malam sebanyak 150-an mahasiswa-mahasiswi Jurusan Seni Musik dan Seni Seni Tari Universitas PGRI Palembang berkunjung ke... more »
  • 12-05-16

    Buku Tentang Borobud

    Judul             : Korte Gids voor de Boro-Budur Penulis     ... more »
  • 12-05-16

    Museum Tembi Pamerka

    Museum Tembi Rumah Budaya berperan serta dalam acara “Pameran Bersama 40 Museum,” yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan DIY, di Jogja City Mall... more »
  • 12-05-16

    Denmas Bekel 12 Mei

    Denmas Bekel 12 Mei 2016 more »
  • 11-05-16

    Buku Pelajaran Menar

    Java Instituut adalah sebuah lembaga kebudayaan yang berdiri di zaman penjajahan Belanda. Lembaga ini tidak hanya mendirikan Museum Sonobudoyo di... more »
  • 11-05-16

    Membayangkan Yogyaka

    Komunitas Mahasiswa Teknik Perencanaan Kewilayahan Kota, Fakultas Teknik UGM. menyelenggarakan acara yang dinamakan ‘Festagama 2016 Green City Dalam... more »
  • 10-05-16

    Tegoeh Ranusastra As

    Ketika pertama kali Sastra Bulan Purnama digelar di  Tembi Rumah Budaya Oktober 2011, yang menampilkan sejumlah penyair membaca puisi, pada... more »
  • 10-05-16

    Napi LP Wirogunan Be

    Sambil duduk lesehan di tikar, para narapidana di LP Wirogunan, mendengarkan Iman Budhi Santosa, penyair senior Yogyakarta, menyampaikan workshop... more »
  • 10-05-16

    Di Jakarta Namanya K

    Wedang tahu di Yogyakarta dikenal juga dengan nama tahok di Solo. Sedangkan untuk Surabaya menamai jenis makanan ini dengan nama tahua sedangkan... more »