Perubahan Paradigma Tata Kelola Museum
Paradigma pengelolaan museum saat ini sudah harus berubah dari museum tradisional menuju museum baru, jika ingin museum tetap di hati masyarakat. Tanpa adanya perubahan, jelas museum akan ditinggalkan oleh masyarakatnya. Sebab saat ini, museum banyak saingannya, seperti kafe, mal, bioskop, televisi, musik, dan sebagainya. Paradigma museum baru sudah harus memiliki konsep yang lebih jelas dengan orientasi kepada pungunjung. Museum sudah tidak bisa lagi hanya berorientasi pada penampilan koleksi yang penyajiannya sangat sederhana.
Banyak hal yang harus dibenahi dari pengelolaan museum, mulai dari layout yang artistik, pemakaian iptek, sarana prasarana, pemandu yang ramah, pemasaran dan sebagainya. Apalagi saat ini, pengunjung yang ke museum semakin singkat waktunya, di sisi lain pengunjung ingin banyak mengetahui informasi museum. Untuk itu museum harus sudah saatnya dihubungkan dengan orientasi kebutuhan masyarakat. Untuk menuju ke sana, maka salah satunya adalah dengan disusunnya Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Museum. RPP Museum ini berusaha mendekatkan pada prinsip-prinsip komunikasi dengan masyarakat atau pengunjung.
Demikian tadi antara lain paparan Kresno Yulianto (dosen Arkeologi UI) dalam Sosialisasi RPP Museum yang diselenggarakan oleh Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Dirjen Kebudayaan Kemendikbud pada Senin (16/4) lalu di Inn Garuda Hotel. Even ini dihadiri oleh seluruh museum di Yogyakarta, pengurus Barahmus DIY, Dinas-dinas terkait, kepolisian, kejaksaan, kehakiman, perguruan tinggi, dan unsur lainnya.
Pembicara lain, Prof. Dr. Endang Sumiarni (Praktisi Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta), mengatakan bahwa pengelolaan museum dengan paradigma lama lambat laun dari tahun ke tahun akan semakin menghabiskan koleksi, karena hilang, rusak, dicuri, dan sebagainya. Maka harus diubah ke dalam paradigma baru dalam pengelolaan museum sesuai dengan tuntutan masyarakat dan perkembangan iptek. Pengelolaan museum sudah tidak bisa lagi mengandalkan nunggu bola, tetapi harus jemput bola. Ia juga menambahkan dalam struktur RPP ini sudah cukup lengkap, mulai dari ketentuan umum, kelembagaan museum, pendirian pemeringkatan museum, penggabungan, SDM, pengelolaan koleksi, pengamanan, pengembangan, pemanfaatan, pembinaan, pendanaan, peran serta masyarakat, dan insentif. Dalam sosialisasi RPP Museum ini memang masih diharapkan penyempurnaan, terutama dari insan permuseuman.
Sementara itu, Sri Pudyatmoko (dosen FH UAJY) lebih menyoroti pada unsur kompensasi dan insentif yang sudah termaktup dalam RPP Museum ini. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah sudah mulai memperhatikan institusi museum. Ia jelaskan bahwa pendanaan bisa bersifat tetap dan tidak tetap. Dana itu bisa bersumber pada APBN, APBD, atau sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pada kesempatan itu, moderator diampu oleh Sri Ediningsih (Kepala Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta).
Pada sambutan pembukaan, Surya Helmi, Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman menyampaikan bahwa RPP Museum ini disusun dalam rangka perubahan paradigma pengelolaan museum, perubahan sentralistik ke daerah, serta agar pemerintah daerah lebih berperan dalam pemanfaatan museum. Dalam RPP Museum mencoba membuat penghargaan terhadap masyarakat yang mengelola dan melestarikan museum, serta mencoba memberikan manfaat yang lebih besar untuk kemakmuran rakyat.
Untuk menyerap aspirasi masyarakat, dalam acara tersebut dilakukan diskusi panel menjadi 4 kelompok, kemudian dipresentasikan ke forum. Pada tahap selanjutnya, tim penyusun kembali memformat ulang atas masukan-masukan peserta.
Suwandi