Penyair Malioboro Meneguhkan Hati Membaca Puisi di Tembi
Tidak terasa, Sastra Bulan Purnama yang dimulai pada bulan Oktober tahun lalu, sudah memasuki episode 7. Pada episode ini, penyair yang (di)hadir(kan) membaca puisi adalah penyair, yang pada tahun 1970-an pernah aktif dalam dinamika sastra di Yogya, khususnya di Malioboro.
Pada tahun 1970-an, di Yogya dikenal satu komunitas yang dikenal dengan nama Persada Studi Klub, yang biasa disingkat menjadi PSK. Komunitas ini diasuh oleh penyair Umbu Landu Paranggi, yang kini menetap di Bali. Umbu membina penyair-penyair muda yang memiliki semangat menggairahkan dalam berkarya. Mereka melakukan kompetisi dalam berkarya dan dikemudian melahirkan sejumlah penyair yang dikenal luas dan menghasilkan sejumlah buku puisi, seperti misalnya (alm) Linus Suryadi AG yang menghasilkan karya fenomenal prosa lirik ‘Pengakuan Pariyem’, Emha Ainun Najib, Korie Layun Rampan, Iman Budhi Santosa dan sejumlah penyair lainnya juga menghasilkan buku puisi, bahkan juga novel.
Yang tampil pada Sastra Bulan Purnama dengan tajuk ‘Membaca Puisi Meneguhkan Hati’, Sabtu (7/4) yang lalu tidak semua penyair PSK, tetapi hanya 12 penyair, seperti Soekoso DM dan Atas S.Danusubroto yang sekarang tinggal di Purworejo, Munawar Syamsudin, sekarang tinggal di Boyolali, lainnya penyair PSK yang masih tinggal di Yogya, Mustofa W.Hasyim, Adjie Sudarmaji Mukshin, Sutirman Eka Ardhana, Wadie Maarief, Boedi Ismanto, Iman Budhi Santosa, Genthong Hariono Seloali dan Landung Simatupang. Jabrohim, yang mestinya ikut membaca puisi, tetapi berhalangan hadir. Lalu muncul tiba-tiba, Fauzi Absal membacakan dua puisinya.
“Saya tidak langsung terlibat dengan PSK, karena ketika itu saya akan pergi ke negri orang, tetapi Umbu Landu Paranggi sempat bertemu dengan saya dan bercerita akan membentuk komunitas, yang kemudian disebut PSK. Menurut Umbu Landu Paranggi, penyair-penyair muda penuh gairah dalam menulis puisi, tetapi belum matang, karena itu perlu dibimbing” ujar Genthong.
Sastra Bulan Purnama edisi 7 ini, tidak seperti sastra bulan purnama tiga bulan sebelumnya, yang diguyur hujan deras. Pada edisi 7 ini, bulan bundar menghiasi langit, sehingga memberi keindahan tersendiri pada Sastra Bulan Purnama. Puisi-puisi yang dibacakan seperti disinari oleh bulan purnama, yang bulat dan terlihat jelas dari panggung terbuka Amphytheater Tembi Rumah Budaya.
Penyair-penyair PSK, bukan hanya membacakan puisinya, tetapi sekaligus bersaksi mengenai aktivitas penyair di Malioboro pada waktu itu. Bahkan Soekoso DM, setelah 30 tahun lebih tidak membacakan puisi bersama teman-teman PSM, malam itu, pada acara Sastra Bulan Purnama, seperti ‘diajak kembali’ pada masa 40 tahun yang lalu. Soekoso, dalam membaca puisinya masih penuh semangat, seperti tidak mau kalah dengan penyair muda lainnya.
Penyair PSK lainnya, yang sekarang tinggal di Purworejo, Atas S. Danusubroto, memberikan kisah masa lalu ketika dia dekat dengan Umbu Landu Paranggi. Atas mengaku, murid di PSK yang disukai Umbu Landu Paranggi adalah Iman Budhi Santosa. Karena menurut cerita Atas Danusubroto, puisi Iman Budhi Santosa bagus.
Pada Sastra Bulan Purnama Edisi 7, Iman Budhi Santosa ikut tampil. Bahkan, Iman Budhi, pertama kali mengirim puisi untuk Sastra Bulan Purnama edisi 7. Hanya selang dua dari dari sms yang dikirim, Iman Budhi Santosa segera mengirim puisi. Iman membacakan 3 puisi, satu diantaranya puisi yang tidak tercantum pada antologi ‘Membaca Puisi Meneguhkan Hati’. Gaya membaca puisi Iman Budi Santosa menakjubkan. Kata demi kata dibaca penuh penghayatan, sehingga kalimat dalam puisinya menjadi terasa ‘hidup’.
Tak kalah menarik dari Iman Budhi Santosa, adalah penampilan Landung Simatupang. Sebelum membacakan puisi karyanya, Landung membacakan puisi karya Ayu Sutarto, seorang anggota PSK yang tidak bisa hadir tetapi mengirimkan 3 puisinya, yang masing-masing berjudul ‘Ragil Suwarna Pragolapati’, ‘Umbu Landu Paranggi’ dan ‘WS. Rendra’.
“Ayu Sutarto sekarang sudah profesor dan mengajar di Universitas Jember’. Dia juga anggota PSK, selain itu dia adalah seorang redaktur budaya dari mingguan Eksponen’ kata Landung Simatupang.
Selain para penyair ‘sepuh’ membacakan puisi-puisi karya mereka sendiri. Ada karya puisi yang direspon dalam bentuk tari dan digarap dengan musik. Mila Rosita, seorang penari kotemporer, yang masih muda, mengolah puisi ‘Mendung Tak Mendung Tak Mendung’ karya Mustofa W. Hasyim. Selain itu, anggota Forum Tembi, menggarap puisi karya Landung Simatupang yang berjudul ‘Soundscape: brebeg’ menjadi sebuah lagu.
Penampilan Mila Rosita yang diiringi piano oleh Nathan dan penampilan anggota Fombi (Forum Musik Tembi) memberikan warna pada Sastra Bulan Purnama. Setidaknya, kreasi tari dan musik untuk mengolah puisi, bisa memberikan cita rasa yang lain pada puisi.
Dan, penyair Malioboro ternyata tidak lenyap. Mereka masih ( ada yang) terus berkarya.
Ons Untoro